Custom Search

Sabtu, 07 Maret 2009

GERAKAN KAUM MUDA SEBAGAI OTOKRITIK TERHADAP SISTEM EKONOMI-POLITIK DI INDONESIA. Kasus Pra Orde Baru dan Pasca Orde Baru

PENDAHULUAN 
Pergantian sebuah rejim membawa konsekuensi logis, yaitu perubahan sistem. Ketika Orde Lama jatuh, maka perubahan sistem sangat terasa. Perubahan yang dimaksud antara lain sistem politik, perubahan cara pandang dan strategi politik luar negeri dari poros Peking menjadi poros Amerika, perubahan sistem ekonomi dari sistem ekonomi yang terpimpin menjadi sistem ekonomi yang bergantung. Perubahan juga terjadi ketika Presiden Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998. 




Sistem politik dan ekonomi yang mulanya sangat bergantung ke Amerika, perlahan mulai bergeser ke Jerman (Ini merupakan konsekuensi dari terpilihnya Habibie seorang teknolog yang dibesarkan di Jerman). Satu hal yang menjadi kebanggaan di kalangan mahasiswa, bahwa jatuhnya kedua orang kuat tersebut (Bung Karno dan Soeharto) mau tidak mau terdapat peran mahasiswa dan pelajar. Tahun 1966 ketika Bung Karno jatuh peran elemen gerakan mahasiswa dan pelajar seperti KAMI/KAPPI sangat kuat. Sedangkan tahun 1998 peran tersebut dilakukan oleh elemen gerakan seperti KAMMI, PII, Forkot, Jarkot, BEM dan lain-lain. Untuk suksesnya sebuah revolusi diperlukan beberapa faktor, seperti gerakan kaum muda, kelas menengah, peran militer (banyak atau sedikit), pemimpin informal dan pemimpin spiritual. Kasus jatuhnya Marcos di Filipina misalnya, peran militer yang diwakili oleh Jenderal Fidel Ramos, peran kelas menengah, semangat Aquino sebagai Martir yang dibunuh oleh rejim Marcos dan peran Gereja Jesuit oleh Kardinal Sinh sangat kuat. 


Terlepas dari teori revolusi itu, maka tulisan ini mencoba mengkaji hubungan antara perubahan sistem dan peran kaum muda terhadap strategi politik dan ekonomi bangsa Indonesia, dengan melihat dua fenomena yaitu jatuhnya Orde Lama dan jatuhnya Orde Baru. Negara Birokratik Otoriter Demi stabilitas politik dan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama, Orde Baru dengan segala kekuatannya melakukan penguasaan terhadap semua sektor, dari ekonomi, politik, lebih utama lagi keamanan. Dengan demikian terjadi superioritas negara terhadap rakyat. Beragam keinginan politik diredam dan paradigma pembangunan lebih berorientasi pada ekonomi. 

Kondisi ini mirip dengan analisis O’Donnel. Menurut O’Donnel krisis ekonomi akan menjalar menjadi krisis politik. Meningginya suhu politik ini akan menjadi ancaman bagi pemerintah dan negara. Semakin tinggi ancaman ini maka akan menjadi semakin jelasnya polarisasi konflik antar kelas sosial. Sehingga akan menimbulkan semakin dalamnya rasa kebersamaan yang dimiliki oleh negara dan kelas sosial yang dominan. Kondisi krisis ekonomi dan politik inilah yang akan menimbulkan Negara Birokratik Otoriter (NBO). Model Mochtar Mas’oed Timbulnya NBO di Indonesia pada tahun 1966 – 1971 tidak terlepas dari ketakutan negara terhadap timbulnya embrio masyarakat sipil. Beberapa fakta seperti rehabilitasi Masyumi, Pendirian PDII oleh Bung Hatta, dan beragam keinginan masyarakat akan membawa dampak terhadap penjatuhan kredibilitas pemerintahan orde baru di mata rakyat. Sehingga Mocthar Mas’oed melihat bahwa timbulnya NBO dipengaruhi oleh beberapa faktor ; 

Pertama, disebabkan oleh warisan krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an. Struktur politik yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya memiliki kecenderungan untuk memberikan kekuasaan yang berlebihan pada pemerintah. Lebih dari itu, pada masa tersebut Orde Baru hendak berusaha secara cepat memperoleh legitimasi politiknya, karena menurutnya, Soekarno masih memiliki pengaruh yang tidak kecil dan pendukung yang tidak sedikit. Ini di desak lagi oleh kenyataan adanya ekonomi negara yang sudah hampir runtuh. 
Kedua, Mas’oed menyebutkan bahwa koalisi intern Orde Baru yang memaksa untuk segera melakukan restrukturisasi ekonomi secara radikal juga menyebabkan lahirnya NBO (Negara Birokratik-Otoriter) di Indonesia. Orde Baru memilih segera melakukan kebijakasanaan stabilisasi ekonomi yang memberikan peluang yang besar kepada modal domestik dan modal international untuk terlibat, sekalipun kebijaksanaa ini dibayar dengan harga mahal, dengan adanya keterpaksaan untuk meninggalkan sebagian pendukung lainnya. 
Ketiga, orientasi ekonomi ke luar yang dirumuskan oleh Orde Baru pada akhir tahun 1960-an dan berlanjut pada tahun 1970-an, disebut oleh Mas’oed juga sebagai faktor yang mendesak pemerintah untuk memilih bentuk NBO. 

Dengan adanya ketiga faktor tersebut, Mas’oed menyimpulkan bahwa mengharapkan adanya bangunan politik demokratis pada awal Orde Baru merupakan harapan yang tidak realistis, kalau bukan khayalan. Ketiga faktor ini sepenuhnya disadari oleh Mas’oed telah menyebabkan lahirnya sistem politik di Indonesia yang berbeda dengan faktor yang diajukan oleh O’Donnell. Ketika itu pendalaman industrialisasi, kebijakan integrasi vertikal, belum terjadi di Indonesia, bahkan situasi ekonomi Indonesia masih dalam tahap awal pemulihan kehancuran. Dengan kalimat yang lebih jelas (kasus Indonesia), Mas’oed melihat faktor krisis politik lebih bertanggung jawab terhadap pemerintahan yang otoriter dari Orde Baru dibanding variabel ekonomi. Kesadaran Ekonomi 

Pada dasarnya ekonomi sosial dicirikan tiga hal, dua pertama ciri ideal dan yang ketiga ciri struktural. Tiga ciri tersebut adalah demokrasi ekonomi, solidaritas dan sosialisasi ekonomi. Demokrasi ekonomi adalah upaya untuk menghapuskan hak-hak istimewa dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan ekonomi. Ini berarti entitas yang terlibat dalam relasi ekonomi berhak secara materiil untuk memnentukan nasibnya sendiri berkaitan dengan posisinya dalam relasi ekonomi. Secara tidak langsung ini mengandaikan kesejajaran dan perimbangan dalam kekuatan ekonomi secara objektif, karena tanpanya entitas-entitas yang kuat dapat memaksakan kehendaknya dan ini berakibat dalam pembatasan secara tidak sejajar dan berimbang pada entitas yang lain. Solidaritas dipahami dalam dua makna. 
Pertama, solidaritas adalah perasaan senasib dari entitas-entitas yang lemah dalam relasi-relasi ekonomi, yang dengannya mereka mengubah keunggulan dalam jumlah dan sifat yang tidak mementingkan dirinya sendiri. Solidaritas ini menjadi dasar pengelompokan bagi perjuangan hak yang bersifat ke dalam atau berorientasi pada diri sendiri. 
Kedua, solidaritas mesti bersifat ke luar dalam upaya mengubah secara mendasar mesyarakat sebagai keseluruhan dan memberikan padanya tata aturan yang memungkinkan solidaritas terobjektivikasi dalam sistem politik-ekonomi. 




Sosialisasi ekonomi dalam definisinya yang paling ortodoks berarti transformasi kepemilikan pribadi alat-alat produksi ke dalam bentuk-bentuk kepemilikan sosial. Koperasi merupakan salah satu bentuk yang patut dipertimbangkan secara lebih serius. Demokrasi Politik-Ekonomi Ala Orba Dasar dari demokrasi ekonomi ini yang menjadi otokritik dari kebijakan politik-ekonomi orde baru. Gagasan ini dibalut dalam sebuah kerangka besar integrasi ekonomi dunia ketiga dalam tatanan ekonomi internasional. Maka yang terjadi adalah masuknyta dominasi politik-ekonomi negara maju ke dalam negara dunia ketiga. Salah satu gagasan ini bersuber pada teori Harrord-Domar yang mengatakan bahwa kunci pertumbuhan terletak pada investasi. Dengan demikian ekspektasi terhadap kenaikan pendapatan masyarakat dan kapasitas produktif selalu terkait dengan besarnya laju kenaikan investasi. Kombinasi Harrord-Domar dengan model Rostowian merupakan kebijakan politik-ekonomi orde baru, dengan menitikberatkan pada Trickle Down Effect (TDE). Untuk mendongkrak investasi, maka pemerintah melakukan utang luar negeri dari IMF atau pun Bank Dunia. Kepatuhan itu diaplikasikan oleh pemerintah Indonesia untuk menerapkan tiga langkah pembangunan, Pertama, menjadwalkan kembali pelunasan utang luar negeri sebagai langkah awal mengembalikan kepercayaan pihak luar negeri. Kedua, mengendalikan inflasi yang terkontrol melalui program impor besar-besaran yang dibiayai oleh pinjaman hasil renegoisasi tadi. Ketiga, mengundang investasi sebesar-besarnya terutama investasi asing untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Pada tahap ini negara melakukan kontrol sangat kuat di masyarakat yang mewujud dalam hubungan negara-masyarakat. Kemampuan negara dalam memobilisir potensi ekonomi dan militer sangat besar. Kekuasaan negara dilaksanakan melalui patronase dan penindasan. Modal asing - dari utang plus konglomerat – dibagi-bagi di antara birokrat dan militer. Modal itu juga digunakan untuk membeli kesetiaan para pembangkang potensial seperti kelompok muslim. Pemerintah melakukan politik belah bamboo pada kelompok muslim, kelompok yang satu diberikan fasilitas seperti pembangunan masjid dan pesantren, sedangkan kelompok lainnya ditekan dan seringkali menggunakan kekerasan. Orde baru telah menetapkan sebuah sistem korparatis yang disambungkan dengan wahana pemilunya, Golkar. Kelompok-kelompok kepentingan korparatis disatukan di bawah jaringan Golkar, seperti organisasi pegawai negeri sipil dengan Korpri, serikat buruh dengan SPSI, komunitas bisnis dengan KADIN, wartawan dengan PWI, wanita dengan KOWANI dan pemuda dengan KNPI. Kebijakan lainnya untuk mengontrol kemampuan oposisi adalah kombinasi ideologi dengan politik. 1974, pemerintah orba memaksakan Undang-undang perkawinan. 1978 pemerintah memaksakan pelaksanaan program doktrin ideologi negara yang dikenal dengan Pedoman Pelaksanaan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan dimasukkannya aliran kepercayaan untuk diakui sebagai salah satu agama di Indonesia. 1985 pemerintah membuat UU politik yang diklaimnya sebagai upaya meminimalisir potensi aliran. Konsep yang terkenal adalah UU tentang asas tunggal. Di bidang pendidikan sendiri pemerintah orde baru mencoba membungkam potensi oposisi dari kalangan mahasiswa. Konsep itu dimulai dengan dideklarasikannya KNPI sebagai wahana pemersatu pemuda. 1974, ketika mahasiswa melakukan protes terhadap proses perdagangan Indonesia dengan Jepang, pemerintah melakukan rekayasa sehingga meletus peristiwa 15 Januari yang dikenal dengan peristiwa Malari. 1978, ketika mahasiswa memprotes terpilihnya kembali Jenderal Soeharto sebagai presiden, maka gerakan mahasiswa dibungkam oleh pemerintah. Pembungkaman itu berlanjut dengan kebijakan SKS dalam sistem pendidikan nasional. Organisasi intelejen Indonesia pun memiliki ambisi menguasai, tetapi kompleksitas masyarakat Indonesia dan kelemahan internal negara membuat banyak praktik totaliter tidak efektif. Nyaris tidak mungkin mengontrol masyarakat yang amat besar dan beragam seperti Indonesia dengan jumlah penduduk 200 juta yang terdiri dari sekitar 300 etnis di berbagai pulau. Inefisiensi Indonesia, seperti halnya negara-negara dunia ketiga mendapat dukungan penuh dari lembaga donor berupa dana-dana pinjaman. 

Telah dikemukakan di atas bahwa pemerintah melakukan kebijakan TDE sesuai dengan ‘keinginan’ IMF dan upaya mendapatkan investasi. Namun Rachbini (2001) melihat bahwa liberalisasi pasar secara berlebihan dan arogansi kebijakan yang dipuji menghasilkan pertumbuhan rata-rata 7-8% ternyata tidak lebih dari tumpukan utang luar negeri pemerintah, utang luar negeri swasta, utang domestik swasta serta sampah-sampah sisa eksploitasi sumber daya alam yang boros. Kebijakan ekonomi dengan memuj liberalisasi pasar untuk menemukan efesiensi dan harga yang tepat, tetapi basis institusinya tidak betul. Setelah kendali institusi atas pasar melewati ambang batasnya, maka krisis muncul seketika dan meluluhlantakkan bangunan ekonomi yang telah disusun dengan basis institusi yang lemah tadi. Satu analisis lagi, bahwa instrumen teori dalam ilmu sosial politik hanya menitikberatkan pada analisa kekuasaan, tetapi tidak mampu menjelaskan persoalan krisis dengan muatan pengaruh sistem internasional yang begitu besar. Teori dasar kekuasaan dalam ilmu politik tidak cukup kuat memberikan penjelasan terhadap runtuhnya kekuasaan orba yang kuat secara politik dan sosial ekonomi. Karena itu, teori tentang ekonomi-politik adalah alternatif yang dapat diajukan sebagai basis untukmemberikan penjelasan pada krisis multi dimensi, yang ditandai oleh kelemahan dan kerusakan fungsi-fungsi kelembagaan di berbagai bidang kehidupan. Inti persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia sebelum krisis adalah kelemahan fungsi institusi dan bahkan kesalahan implementasi dari kelembagaan yang ada. Sedangkan pada masa setelah krisis perssoalan mendasar yang juga dihadapi tidak lain adalah kerusakan dan berhentinya fungsi-fungsi kelembagaan di berbagai bidang kehidupan masyarakat.. Zaman Orba dan Gus Dur Persoalan paling mendasar dalam era orba adalah campur aduknya institusi negara dan swasta, yang slaing mengotori satu sama lain. Jabatan publik, perusahaan dan yayasan dicampur aduk satu sama lin sehingga pemegang keuasaan dan orang-orang – yangmenjadi pemburu rente ekonomi di sekitarnya – menjadi pemenang dan mengambil kesempatan dan potensi keuntungan ekonomi dan sosial secara tidak adil. Akses publik yang lebih luas terhadap sumber-sumber ekonomi menjadi tertutup sehingga proses pemerataan pendapatan dikorbankan. Kesenjangan antar golongan menjadi hal yang biasa, yang mencerminkan parahnya keadilan publik. Perasaan kolektif seperti ini potensial memicu masalah baru. Institusi kepresidenan merupakan faktor pokok dan mendasar, yang paling rusak dan mempengaruhi seluruh segmen institusi negara di bawahnya, termasuk di daerah-daerah. Institusi kepresidenan adalah the ruler yang mengatur segalanya. Fungsi check and balance tidak bekerja, sehingga parlemen hanya menjadi stempel permen karet. Sistem digerakkan dari institusi ini, yang dipengaruhi secara kuat oleh karakter individu. Dengan demikian institusi yang obyektif berdasarkan aspirasi kolektif tidak berkembang, yang sekaligus menjadi penyebab macetnya demokratisasi ekonomi-politik. Fenomena korupsi dan kolusi terjadi dimana-mana, dan ini menyebabkan kerusakan institusi negara makin menguat. Pada zaman Gus Dur perbaikan sistematis tidak terjadi. Bahkan kesalahan-kesalahan baru terjadi kembali, yang menambah lebih parahnya keadaan yang sudah begitu buruk. Beberapa kasus yang merusak institusi diciptakan dengan sengaja, sehingga basis institusi pada masa ini tidak jelas. Lemahnya kinerja kepresidenan ‘plus’ pembantu-pembantunya, KKN model baru sampai kepada anarkisme sosial politik yang menjalar ke seluruh pulau di nusantara ini, adalah indikator “keberhasilan” pemerintahan Gus Dur. Solidaritas Komunitas kaum muda melihat, bahwa sejak dari pemerintahan orde lama, orde baru, Gus Dur sampai hari ini Megawati kebijakan politik-ekonomi belum menyentuh kepada persoalan yang mendasar. Ketika akhir 1965, kaum muda yang telah sukses mengganyang habis komunisme, kehabisan energi untuk mengisi dan mengkonstruksi pembangunan. Sehingga ide-ide pembangunan lebih condong membela kepentingan kelas elit. Perjuangan kaum muda (baik kelompok mahasiswa atau pun kelompok muslim) mempunyai kesamaan moment gerakan dengan agenda yang berbeda. Tahun-tahun 1974, 1978, 1985 dan 1998 adalah moment-moment kelompok mahasiswa dan kelompok muslim untuk bersinergis dalam menghancurkan pemerintahan orde baru. Faktanya, gerakan kaum muda pada masa-masa itu hanyalah menjadi sejarah masa lalu bangsa (kecuali suksesnya kaum muda mendongkel Suharto pada tahun 1998, yang tidak diimbangi oleh konsep kaum muda untuk mengisi negara ini. Hasilnya, negara ini kembali menjadi NBO yang berbasiskan ‘demokrasi’ pada masa Gus Dur dan Megawati. Otoritarian yang dimaksud, bukanlah oleh elemen kenegaraan dan militer secara terpusat (karena TNI sudah mencoba profesional dan kembali ke barak). Namun, otoritarian yang dimaksud terjadi di daerah-daerah dengan memanfaatkan potensi SARA yang menjadi api dalam sekam pada masa pemerintahan orba. Birokrat-birokrat orba yang ‘selamat’ pada masa-masa awal reformasi muncul kembali di daerah-daerah untuk menjadi pimpinan dan tokoh berpengaruh, sembari mengumpulkan kekuatan untuk merebut Jakarta kembali. 

PENUTUP
Demokratisasi di Indonesia masih menjadi proses sejarah yang tidak berujung. Kaki-kaki kecil melangkah, menuju gelegah rahmah demi membentuk masyarakat Indonesia baru. Kaum muda adalah pewaris negeri ini, namun kaum muda hanyalah menjadi martir dalam sejarah demokrasi di negeri ini. Negara Indonesia pada awal orba telah menjadi Negara Birokratik dan Otoriter. Proses reformasi menghancurkan NBO tersebut, dan sekarang gelombang kerusuhan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat makin melebar, seiring dengan aspirasi warga setempat. Demi menjaga kestabilan negara, mau tidak mau pemerintah kembali menggunakan NBO dengan baju yang lain. Kekuatan otoritarian bukan lagi milik milter, namun telah menjadi milik partai yang mempunyai massa yang kuat. Reformasi telah kebablasan. Para birokrat yang dulu pernah mengaduk-aduk negeri ini, tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan-kebijakan yang dibuat pada masa lalu. Sehingga, mereka dapat kembali bermain di panggung kekuasaan dari pinggir lapangan menuju ke pusat lapangan. (Seperti halnya gerakan Mao, yaitu Desa Mengepung Kota. Dari daerah-daerah menuju pusat kekuasaan). Kebijakan ekonomi politik, masih seperti model orba dengan pendekatan yang berbeda. Seharusnya kebijakan ekonomi politik lebih memprioritaskan pada kebijakan ekonomi yang populis, yang lebih memprioritaskan pemerataan dari pada pertumbuhan, atau kombinasi pemerataan dan pertumbuhan. Jika proses kesadaran bangsa dan kaum muda tidak dimanfaatkan, dan bahkan hanya menjadi alat eksploitasi kekuasaan, maka sudah jelas reformasi Indonesia sudah gagal. Seperti yang Alloh SWT katakan dalam QS. Ar-Ra’d ayat 13. “Alloh tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak merubahnya sendiri”.

Tidak ada komentar:

MENGENAL CRITICAL RAW MATERIAL (CRM) – 10: MINERAL PEMBAWA LTJ (RARE EARTH)

Denny Noviansyah Logam Tanah Jarang (LTJ) atau Rare Earth Element (REE) adalah 17 unsur dalam kelompok lantanida yang terdapat dalam tabel u...