In Memorial : Bang Fatwan Tanjung
Di berbagai kota di Indonesia terdapat kecenderungan bahwa tuntutan pemenuhan kebutuhan air bersih semakin meningkat sejalan dengan aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang semakin meningkat pula. Fenomena ini sebagai konsekuensi logis dari ketergantungan kehidupan manusia dari kebutuhan akan air dimana keeratan hubungan antara air dan manusia terlihat pada kegiatan dalam industri, pertanian dan rumah tangga (Djariswati, 1990).
Dengan sifatnya air sebagai barang publik (public goods) dan memiliki sifat bersaing dan tidak dapat dikecualikan (Partowidagdo, 2004), seringkali dalam pemanfaatannya menimbulkan potensi permasalahan biaya sosial yang besar bagi masyarakat. Hal ini disebabkan dari sifat air sebagai barang publik tidak dapat mencegah penggunaannya secara bersama-sama dan konsumsi air berlebihan (overuse). Hal ini dapat menimbulkan dampak negatip (social cost), dimana terjadi tingkat konsumsi positip di atas tingkat konsumsi tertentu.
Potensi masalah pemanfaatan air yang lain adalah adanya kecenderungan masyarakat memanfaatkan badan air sebagai tempat pembuangan limbah/sampah yang murah sehingga menimbulkan pencemaran air dan menyebabkan penyediaan air baku berkualitas rendah, sementara kerusakan hutan pada daerah aliran sungai juga semakin meningkat. Kedua potensi permasalahan tersebut secara bersamaan dapat merusak alam dan siklus hidrologi yang berperan dalam mempengaruhi penurunan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas sumber-sumber air yang layak untuk dijadikan sebagai air baku dalam penyediaan air bersih dan sekaligus dapat menimbulkan ekternalitas negatip yang harus ditanggung masyarakat.
Keberadaan lembaga pemerintah di bidang industri pengolahan air seperti dibentuknya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di seluruh Indonesia berdasarkan PP No 14 tahun 1987 yang mengatur penyediaan air bersih menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, tak lain untuk memberikan pelayanan penyediaan air bersih kepada masyarakat secara kuantitas dan kualitas baik dan secara operasional efisien serta berkelanjutan (sustainable). Sebagai catatan jumlah PDAM di Indonesia hingga sekarang mencapai sekitar 365 perusahaan ( Departemen PU, 2004).
Intervensi pemerintah melalui PDAM sebagai institusi pemerintah yang bersifat monopoli dalam penyediaan air bersih bagi masyarakat sebenarnya dapat diterima secara logis mengingat air sebagai barang publik penggunaannya oleh masyarakat harus dikendalikan agar tidak menimbulkan ekternalitas negatip atau menurut Fauzi (2004) menimbulkan eksternalitas publik yaitu manakala barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat.
Akan tetapi eksistensi institusi PDAM yang memiliki wewenang operasional dalam pengelolaan dan pendistribusian air bersih pada masyarakat hingga sekarang belum sesuai dengan kriteria kualitas pelayanan publik yang diharapan masyarakat yaitu responsip, tepat waktu, dan adil. Bahkan ada kencenderungan muncul konflik kepentingan antara penyedia layanan air bersih (PDAM) dengan penerima layanan air bersih (masyarakat). Hal ini penyebabnya tidak dapat dilepaskan dari temuan penelitian sejak lama yang dilakukan oleh Sofian Effendi (1986) yaitu dalam kebijakan pelayanan air minum terdapat bias harga, bias sasaran, bias kualitas dan bias investasi.
Berkaitan dengan adanya beberapa bias dalam implementasi kebijakan manajemen PDAM dalam pendistribusian air bersih pada masyarakat, maka memunculkan isu baru yang perlu mendapatkan solusi pemecahan yaitu adanya ketidak seimbangan (gap) penawaran dan permintaan air bersih . Realitas ini terlihat dari adanya kecenderungan implementasi kebijakan manajemen PDAM menyediakan kebutuhan air bersih yang cakupan pelayanannya lebih besar pada yang kemampuan membayarnya lebih tinggi seperti daripada yang kemampuan membayarnya lebih rendah. Daerah pelayanan yang mempunyai kemampuan membayar yang lebih tinggi dicirikan sebagai non-domestik, seperti daerah industri dan area komersial, sedangkan kemampuan membayar yang lebih rendah dicirikan sebagai domestik yang pada umumnya rumah tangga.
Ketidakadilan implementasi kebijakan pelayanan air bersih pada masyarakat akan terus berlangsung mengingat dalam mempertahankan keberlanjutan pelayanan telah disepakati pelayanan air minum sebaiknya mengikuti salah satu prinsip Dublin-Rio yaitu air tidak hanya memiliki nilai sosial, tetapi yang lebih penting adalah memiliki nilai ekonomi. (Departemen Kimpraswil, 2003). Adanya arah kebijakan penawaran dan permintaan air bersih berdasar prinsip Dublin-Rio ini, maka dalam rangka mencapai ekonomis dalam kebijakan manajemen PDAM lebih memilih pada sasaran pada pihak yang menguntungkan yaitu pelayanan air bersih pada non domestik (industri).
Demikian pula adanya pengaruh reformasi di bidang sosial, ekonomi dan politik yang bergulir semenjak tahun 1998 telah mewarnai dan mempengaruhi manajemen pengelolaan air besih yaitu diperlukannya PDAM bermitra kerja dengan swasta. Hal ini perlu ditempuh karena ada kegagalan pemerintah dalam implementasi kebijakan manajemen penawaran dan penerimaan air bersih. Namun demikian pelibatan swasta dalam pengelolaan air bersih belum mampu turut memperbaiki kegagalan pemerintah dalam penawaran dan permintaan air bersih.
Sewaktu pengelolaan air bersih dikelola PDAM muncul inefisiensi akibat intervensi pemerintah daerah salah satunya adalah dalam penetapan tarif yang tidak dapat menutup beaya investasi dan beaya operasional. Hal ini juga terjadi ketika swasta dilibatkan dalam investasi dalam membangun dan pengelolaan prasarana air bersih ternyata menimbulkan beaya sosial yang besar bagi masyarakat. Kondisi ini muncul karena dalam rangka menciptakan good corporate dan efficiency serta memaksimalkan profit sasaran pelayanan air besih lebih ditujukan pada industri dan hanya sebagian kecil untuk rumah tangga.
Dalam tinjauan yang lebih konprehensip permasalahan implementasi kebijakan manajemen penawaran dan permintaaan air bersih yang dilakukan oleh PDAM banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. PDAM sebagai institusi pemerintah bersama swasta sebagai mitranya dalam penyediaan prasarana air bersih tidak terlepas dari tiga faktor yang mempengaruhi pembangunan sektor air bersih yaitu menurut Dirjen Cipta Karya seperti dikutip Nugroho (2002) adalah sebagai berikut :
(a) karakteristik air baku, yang memperhatikan jenis sumber air, kuantitas, serta debit andalan;
(b) kebijakan pemerintah, yang memfokuskan kepada penataan ruang, pertumbuhan ekonomi dan investasi, dan demografi; dan
(c) teknologi produksi, yang mempertimbangkan efisiensi ekonomi, distribusi dan cakupan pelayanan.
PDAM di Kabupaten Serang sebagai salah satu dari 365 PDAM di Indonesia memiliki permasalahan yang sama dalam pengelolaan air bersih yaitu kesulitan keuangan, campur tangan dari pemilik (pemerintah daerah) yang terlalu besar dalam pengelolaan, dan manajemen yang lemah meskipun derajat permasalahannya berbeda dari satu PDAM ke PDAM yang lainnya. Semua ini tidak dapat dilepaskan dari ketiga faktor di atas dalam pembangunan air bersih yaitu karakteristik air baku, kebijakan pemerintah dan teknologi produksi.
1. Permintaan dan Penawaran Air
Konsepsi ekonomi mikro dapat digunakan untuk menelaah permintaan dan penawaran air. Untuk melihat tingkat kepuasan individu akibat mengkonsumsi air, maka model matematisnya secara sederhana dapat dirumuskan :
U=f(QA,QU)
Dimana adalah tingkat kepuasan, satuan air, adalah satuan komoditi lain yang dikonsumsi.
Dari sini kemudian dapat diturunkan fungsi permintaannya sebagai berikut:
dimana adalah harga air, adalah harga air dari alternatif sumber lain, indeks harga komoditi lainnya, adalah tingkat pendapatan masyarakat (konsumen), dan T adalah vektor yang mewakili kondisi iklim atau preferensi masyarakat (Young 1966).
Fungsi permintaan air dapat pula disajikan sebagagai perubahan perilaku permintaan yang dinyatakan sebagai elastisitas, Elastisitas permintaan akibat perubahan harga digambarkan Randall (1987) sebagai elastik, dengan rincian bahwa permintaan air untuk perkotaan-kepentingan rumah tangga dan industri lebih tinggi dibanding permintaan untuk kepentingan pertanian.
Sementara itu fungsi penawaran air disajikan sebagai berikut :
dimana adalah kuantitas air, adalah harga air, adalah harga air dari alternatif sumber lain, adalah vektor harga input misalnya modal, tenaga kerja, atau material, X adalah produksi komoditi (yang menggunakan sumberdaya air) yang dihasilkan, S adalah vektor yang mewakili faktor-faktor lainnya, misalnya iklim dan teknologi.
Kurva penawaran air digambarkan sebagai sangat tidak elastik. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jumlah air yang tersedia dipengaruhi oleh resultan dari ciri-ciri hidrolis yang meliputi curah hujan, sistem daerah aliran sungai, evaporasi, runoff, infiltrasi dan perkembangan teknologi operasional yang mempengaruhi pemanenan air dan penyimpanan air. Sistem dan teknologi penyediaan air dalam banyak studi diasumsikan tidak berubah dalam jangka waktu pendek atau akibat kenaikan harga air.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Iwan Nugroho (2002) menemukan bahwa harga air dan pendapatan menjadi faktor penting yang mempengaruhi permintaan air bersih. Pendugaan permintaan air PDAM menghasilkan elastisitas harga dan pedapatan sebesar -0.611 dan 0.45, serta berhubungan positif dengan luas dan status hunian, dan profesi bukan pegawai negeri sipil. Pendugaan pilihan sumber air bersih menghasilkan elastisitas pendapatan dan luas lahan hunian sebesar 1.02 dan -1.24. Artinya kenaikan pendapatan dan luas tanah sebesar 10 persen akan menaikkan peluang pilihan air PDAM terhadap sumur sebesar 10.2 persen dan menurunkan peluang sumber air yang sama sebesar 12.4 persen. Kecenderungan pilihan sumber air PDAM berkorelasi positif dengan pendidikan dan fasilitas telepon.
2 Willingness to Pay (WTP) terhadap Air Bersih
Penilaian terhadap sektor air bersih umumnya bertujuan untuk membangun alternative-alternatif dalam metode penyediaan air, sumber air, atau perbaikan kualitas. Upaya perbaikan kualitas air bersih melalui metode kontingensi (contingent valuation) dilakukan Jordan dan Elnagheeb (1993). Hasilnya memperlihatkan WTP untuk perbaikan kualitas air berkorelasi dengan kenaikan pendapatan, tingkat pendidikan, dan keraguan terhadap kualitas air. Sementara itu peubah-peubah (dummy) responden wanita, kelompok umur muda, berkulit hitam, berdomisili di pedesaan memberikan WTP yang lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Iwan Nugroho (2002), surplus konsumen atau WTP bagi penyambungan saluran PDAM di Jombang dan Tulungagung mencapai 1650 dan 1902 milliar rupiah. Nilai surplus konsumen berhubungan positip dengan pendapatan (dengan elastisitas 0.68), kedalaman muka air sumur dan persepsi kendala penyambungan. Sementara itu, nilai surplus konsumen bagi perbaikan kualitas air diwilayah yang sama mencapai 2086 dan 2646 juta rupiah. Nilai surplus konsumen tersebut berhubungan positip dengan pendapatan (dengan elastisitas 0,442), pendidikan, kualitas air PDAM dan adanya sumber air sumur.
3 Air Minum
Salah satu faktor yang menjadi bahan pertimbangan penggunaan air untuk rumah tangga adalah derajat kebersihan air dari kotoran, bakteri dan bahan pencemar lainnya. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 digunakan istilah air minum yang pengertian adalah air yang melaui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Syarat-syarat kesehatan mencakup persyaratan bakteriologis, kimia, radioaktif dan fisik.
Air minum digunakan untuk keperluan rumah tangga dan untuk produksi bahan makanan dan minumam yang langsung disajikan kepada masyarakat. Air minum dapat didistribusikan melalui jaringan perpipaan, tangki air maupun kemasan.
Syarat kualitas yang ditentukan untuk air minum sangat ketat, karena penggunaan air minum berkenaan langsung dengan kehidupan manusia, khususnya kesehatan. Namum demikian dalam kriteria baku mutu air minum terdapat ketentuan kadar maksimum yang diperbolehkan. Hal ini memperlihatkan toleransi penggunaan air yang masih aman terhadap kesehatan.
Kenyataan bahwa air dapat dijadikan sebagai media penularan penyakit, misalnya : minamata, tipus, kolera, desentri, dan lain-lain, maka air minum harus dibersihkan dari kontaminasi. Winarno et al., (1973) mengatakan bahwa air untuk minum harus bebas dari kontaminasi organisme patogenik dan organisme yang dapat hidup di dalam usus manusia.
Secara fisik syarat air minum tidak boleh berwarna, berbau dan berasa serta tidak keruh. Secara kimia air minum tidak boleh mengandung unsur kimia yang berbahaya, seperti air raksa (Hg) yang dapat menimbulkan penyakit minamata. Dari segi kuantitas mengutip standar penggunaan air bersih WHO, bahwa kebutuhan air minum yang harus dipenuhi agar dapat mencapai syarat kesehatan adalah sebesar 86,4 liter per hari per kapita.
Secara teoritis penggunaan air minum yang disediakan oleh perusahaan air minum lebih terjamin kebersihan atau kesehatannya, karena telah melalui proses pengolahan. Di samping itu kualitas air minum secara berkala diperiksa oleh Dinas Kesehatan baik pada proses pengolahan maupun kualitas air yang sampai pada rumah penduduk.
4 Bahan Baku Air Minum
Air Baku merupakan bahan baku bagi perusahan air minum untuk diproses menjadi air minum. Bahan baku ini merupakan masukan utama dan sekaligus sebagai keluaran utama. Perbedaan air sebagai bahan baku dan air minum terletak pada kandungan unsur-unsur fisik, kimia, radioaktivitas dan bakteriologi .
Menurut Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air ada persyaratan yang dituangkan dalam Standar Kualitas Di Perairan Umum. Penggolongan kualitas air pada perairan umum dibagi menjadi empat bagian yaitu : pertama golongan A yaitu air yang dapat digunakan untuk air minum tanpa pengolahan terlebih dahulu; golongan B yaitu air yang dapat digunakan sebagai bahan baku air minum melalui suatu pengolahan; golongan C yaitu air yang dapat dipergunakan untuk perikanan dan peternakan; golongan D yaitu air yang dapat digunakan untuk pertanian dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, dan pembangkit listrik tenaga air.
Air merupakan sumberdaya yang unik, yaitu selalu berada pada daur hidrologi. Ketersedian air berada pada sirkulasi yang berlangsung terus menerus (Hadioetomo, 1981) dan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbarui karena secara terus menerus dipulihkan melalui daur hi¬drologi (Salim, 1987). Air yang dapat digunakan untuk bahan baku adalah air yang berada pada tahap kembali ke bumi sebagai air permukaan, air tanah dan air hujan.
Mutu air sungai di kota-kota besar di Indonesia pada umumya tidak memenuhi persyaratan air bersih dari segi fisik, kimia maupun bakteriologi Sungai sebagai sumber air bahan baku juga menghadapi problem kualitas air yang rendah. Hal ini mengakibatkan biaya untuk mengolah air baku menjadi air minum bertambah menjadi dua kali lipat (Perusahaan Daerah Air Minum kotamadya Surabaya, 2004).
Sedangkan air tanah, termasuk air dari mata air dan sumur artesis, pada umumnya cukup baik untuk digunakan sebagai sumber air bahan baku. Kualitas air tanah relatif konstan dan kualitasnya sering sudah memenuhi syarat baku mutu air bersih. Namun demikian, kadang-kadang air tanah mengandung gas-gas terlarut seperti CO2 agresif, CH4 dan H2S serta Fe, Mn dan kesadahannya tinggi.
5 Proses dan Biaya Penqolahan Air
5.1 Proses Pengolahan Air
Tidak semua sumber daya air yang tersedia di alam secara langsung memenuhi syarat untuk digunakan sebagai air minum. Oleh karena itu untuk menghasilkan air yang memenuhi syarat air minum perlu dilakukan pengolahan atau penjernihan air.
Penjernihan air lebih ditekankan pada proses pembersihan air dari pencemaran berupa : perubahan warna, kandungan mineral, mikroba, dan kekeruhan. Penjernihan air merupakan proses kombinasi secara fisik, kimia, dan biologi (Winarno, 1986). Sedangkan pengolahan air lebih dite¬kankan pada pembersihan air dari kandungan zat pencemar bahan organik, radio aktif dan kontaminasi.
Kualitas air bahan baku akan menentukan jenis atau cara pengolaan air yang akan dilakukan. Perbedaan dalam derajat kandungan bahan pencemar dari unsur fisik, kimia, dan bakteri menyebabkan perbedaan cara pengolahan. Mahbub (1986) mengutarakan bahwa tingkat pengolahan air tergan-tung pada karakteristik perairan yaitu jumlah dan kualitas air serta pemanfaatannya. Air bahan baku yang berasal dari sungai pada umumnya lebih banyak mengandung bahan pencemar dari pada air bahan baku dari mata air dan sumur artesis.
Cara-cara utama yang digunakan di dalam pabrik pengolahan air, khususnya di kota, untuk menghasilkan air dengan kualitas yang aman untuk konsumsi manusia adalah : sedimentasi, filtrasi, dan klorinasi (Hadioetomo, 1981).
Sementara itu Winarno (1986) menjelaskan, bergantung pada kualitas air, cara pengolahan dan penjernihan air dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu : pengendapan, penggumpalan, penyaringan, aerasi, klorinasi, dan pelunakan air.
Pengolahan air yang berasal dari sungai dapat dilakukan dengan cara koagulasi, flokulasi, pengendapan, penyaringan, dan disinfeksi.
Koagolasi bertujuan membubuhkan koagulan dan mengaduknya dengan cepat sehingga tersebar ke dalam air dan terjadi penggumpalan partikel-partikel menjadi gumpalan-gumpalan yang besar sehingga mudah diendapkan atau disa-ring pada proses pengendapan. Sedangkan disinfeksi bertu¬juan mematikan mikroorganisme yang terdapat dalam air.
Pengolahan air mata air dan sumur artesis berbeda dengan pengolahan air sungai, karena perbedaan kualitas air. Pengolahan air dari mata air dilakukan dengan proses utama yaitu pengkondisian dan disinfeksi Pengolahan air sumur artesis dilakukan dengan aerasi, saringan pasir, dan disinfeksi.
Proses pengkondisian dimaksudkan untuk mereduksi CO2 agresif dan untuk menaikkan pH air. Demikian pula aerasi, pada proses pengolahan sumur artesis bertujuan untuk mereduksi CO2, H2S menaikkan kandungan oksigen serta memperbaiki pH. Saringan pasir cepat, untuk menyaring gumpalan-gumpalan besi dan mangan.
5.2 Biaya Pengolahan Air
Sumber daya air yang dapat digunakan untuk bahan baku air minum adalah merupakan komponen lingkungan.
Kualitas air dipengaruhi oleh komponen yang lain dan hal ini berkaitan langsung maupun tidak, dengan aktivitas manusia baik sektor industri, pertanian maupun kegiatan rumah tangga.
Kualitas air merupakan unsur pokok yang menentukan cara-cara pengolahan, konstruksi bangunan pengolahan, bahan kimia dan lain-lain (Perusahaan Daerah Air Minum Kotamadya Semarang, 1991a), pada akhirnya kualitas bahan baku akan mempengaruhi biaya pengolahan. Seperti yang diungkapkan oleh Mahbub (1986), rendahnya debit air Banjir Kanal Jakarta pada tahun 1982 dan tingginya beban pencemaran air menyebabkan instalasi PDAM tidak sepenuhnya mampu membersihkan air bahan baku. Tingginya kadar pencemar yang harus dihilangkan memerlukan bahan kimia, tenaga listrik, bahan bakar yang tinggi, yang pada akhirnya meningkatkan biaya pengolahan.
Kadar kandungan bahan pencemar berhubungan secara positip dengan biaya pengolahan. Artinya makin besar kadar pencemar yang harus dihilangkan makin tinggi biaya pengolahan yang harus dikeluarkan. Baumol (1979) menjelaskan tambahan biaya pengurangan kadar BOD, makin meningkat bersamaan dengan makin besarnya persentase kadar BOD yang dihilangkan..
Biaya yang digunakan untuk mengolah air bahan baku menjadi air minum merupakan manfaat ekonomi air yang dikorbankan, karena kehilangan kesempatan untuk penggunaan yang lain (Lipsey et al., 1992). Pengukuran biaya pengo¬lahan air
6. Ekonomi Sumber Daya Air
Air merupakan barang ”ultra essential” bagi kelangsungan hidup manusia, tanpa air manusia tidak mungkin bisa bertahan hidup .
Disisi lain kita sering bersikap take it for garanted terhadap air. Bahkan dalam ilmu ekonomi dikenal adanya istilah water-diamond paradox atau paradoks air dan berlian dimana air yang begitu esensial dinilai begitu murah, sementara mutiara yang hanya sebatas perhiasan dinilai begitu mahal. Kontribusi air terhadap pembangunan ekonomi dan social juga sangat vital. Awal peradaban manusia dan lahirnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi juga dimulai dari sumber-sumber air seperti sungai dan mata air. Dengan seiring bertambahnya penduduk dan eskalasi pembangunan akonomi, maka fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air, sementara permintaan terus meningkat. Bahkan dilihat dari segi geopolitik, para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di abad 21 ini. Hal ini disebabkan meski secara geofisik, sumberdaya air dikatakan melimpah, namun hanya sebagian kecil saja yang bisa dimanfaatkan secara langsung.
6.1 Alokasi Sumber Daya Air
Sebagaimana dikemukakan di atas, selain masalah ekstraksi optimal (khusunya untuk air bawah tanah), permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air adalah alokasi dan distribusi air. Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana suplai air yang tersedia harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna. Penggunaan air sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua kelompok: Kelompok konsumtif, yakni mereka yang memanfaatkan suplai air untuk konsumsi, dan kelompok non-konsumtif. Kelompok konsumtif antara lain rumah tangga, industri, pertanian, kehutanan. Kelompok ini memanfaatkan air melalui proses yang disebut diversi (diversion), baik melalui transformasi, penguapan, penyerapan ke tanah, maupun pendegradasian kualitas air secara langsung (pencemaran). Kelompok pengguna ini mem-perlakukan sumber daya air sebagai sumber daya tidak terbarukan.
Di sisi lain, pengguna non-konsumtif memanfaatkan air hanya sebagai media seperti:
• Medium pertumbuhan ikan pada kasus perikanan.
• Sumber energi listrik pada pembangkit listrik tenaga air.
• Rekreasi (berenang, kayaking, dan sebagainya).
Kelompok pengguna ini memperlakukan sumber daya air sebagai sumber daya terbarukan, dan pengelolaan sumber daya air tidak terlalu menimbulkan masalah ekonomi mengingat suplai air tidak banyak dipengaruhi oleh pemanfaatannya. Namun, jika tidak dikelola, pemanfaatan non-konsumtif ini pun akan menimbulkan eksternalitas air itu kemudian dijadikan sebagai barang publik. Karena itu, analisis ekonomi sumber daya air untuk pemanfaatan non-konsumtif ini kemudian didekati dengan teknik non-market valuation yang akan dibahas secara terperinci pada bab berikutnya.
Khusus yang menyangkut penggunaan konsumtif, alokasi sumber daya air diarahkan dengan tujuan suplai air yang terbatas tersebut dapat dialokasikan kepada pengguna, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan biaya yang rendah. Dengan kata lain, alokasi sumber daya air harus memenuhi kriteria efisiensi, equity dan sustainability (keberlanjutan). Tabel berikut menyajikan ketiga kriteria tersebut beserta tujuan pengelolaannya.
Komponen yang membentuk biaya pengolahan air antara lain adalah : (1) Pemakaian bahan kimia; (2) tanaga kerja; (3) perawatan peralatan; (4) bahan bakar; dan (5) tenaga listrik. Biaya pengolahan bahan baku menjadi air minum dapat dibedakan menjadi dua, sebagaimana biaya untuk memproduksi suatu produk, yaitu biaya tetap dan biaya variabel (Soedarsono, 1988).
Biaya tetap merupakan biaya yang harus dikeluarkan meskipun tidak mengolah air. Contoh biaya tetap adalah : gaji tenaga kerja dan penyusutan peralatan. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang harus dikeluarkan sesuai dengan keluaran yang dihasilkan. Besar kecilnya biaya variabel tergantung pada besar kecilnya produksi air minum.
Konsep biaya lain yang berkaitan dengan produksi air minum adalah biaya marginal. Biaya marginal merupakan biaya tambahan total biaya sebagai akibat tambahan hasil produksi air minum (Sudarman, 1989). Biaya marginal mempunyai hubungan fungsional dengan jumlah air minum yang dihasilkan.
Pada kurva biaya marginal dapat ditentukan titik-titik optimal bagi perusahaan air minum. Oleh karena itu setiap titik pada kurva biaya marginal akan menunjukkan koordinasi antara beban biaya yang bersedia ditanggung oleh perusahaan air minum dengan kuantitas air minum yang ditawarkan.