Custom Search

Kamis, 30 Juli 2009

Alokasi Sumberdaya Air

Selain masalah ekstraksi optimal (khusunya untuk air bawah tanah), permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air adalah alokasi dan distribusi air. Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana suplai air yang tersedia harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna. Penggunaan air sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua kelompok: Kelompok konsumtif, yakni mereka yang memanfaatkan suplai air untuk konsumsi, dan kelompok non-konsumtif. Kelompok konsumtif antara lain rumah tangga, industri, pertanian, kehutanan. Kelompok ini memanfaatkan air melalui proses yang disebut diversi (diversion), baik melalui transformasi, penguapan, penyerapan ke tanah, maupun pendegradasian kualitas air secara langsung (pencemaran). Kelompok pengguna ini mem-perlakukan sumber daya air sebagai sumber daya tidak terbarukan.
Di sisi lain, pengguna non-konsumtif memanfaatkan air hanya sebagai media seperti: • Medium pertumbuhan ikan pada kasus perikanan. • Sumber energi listrik pada pembangkit listrik tenaga air. • Rekreasi (berenang, kayaking, dan sebagainya).
Kelompok pengguna ini memperlakukan sumber daya air sebagai sumber daya terbarukan, dan pengelolaan sumber daya air tidak terlalu menimbulkan masalah ekonomi mengingat suplai air tidak banyak dipengaruhi oleh pemanfaatannya. Namun, jika tidak dikelola, pemanfaatan non-konsumtif ini pun akan menimbulkan eksternalitas air itu kemudian dijadikan sebagai barang publik. Karena itu, analisis ekonomi sumber daya air untuk pemanfaatan non-konsumtif ini kemudian didekati dengan teknik non-market valuation yang akan dibahas secara terperinci pada bab berikutnya. Khusus yang menyangkut penggunaan konsumtif, alokasi sumber daya air diarahkan dengan tujuan suplai air yang terbatas tersebut dapat dialokasikan kepada pengguna, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan biaya yang rendah. Dengan kata lain, alokasi sumber daya air harus memenuhi kriteria efisiensi, equity dan sustainability (keberlanjutan). Berikut disajikan ketiga kriteria tersebut beserta tujuan pengelolaannya. Kriteria Alokasi Sumber Daya Air Efisiensi • Biaya penyediaan air yang rendah • Penerimaan per unit sumber daya yang tinggi . • Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan Equity • Biaya penyediaan air yang rendah Sustainability • Penerimaan per unit sumber daya yang tinggi . • Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan • Akses Terhadap air bersih untuk semua masyarakat • Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah (groundwater depletion) • Menyediakan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem • Meminimalkan pencemaran air Selain kriteria di atas, Howe et al., (1986) menambahkan kriteria alokasi sumber daya air antara lain: • Fleksibilitas dalam penyediaan air sehingga sumber daya air dapat digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan. • Keterjaminan (security) bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga mereka dapat memanfaatkan air seefisien mungkin. • Akseptabilitas politik dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa diterima oleh masyarakat.
Dengan beberapa kriteria di atas, pengelolaan sumber daya air,khususnya yang menyangkut alokasi, memang menjadi sangat kompleks. Namun, secara umum ada beberapa mekanisme alokasi yang umum digunakan, yakni Queuing System, water pricing, alokasi publik, dan user-based allocation. ini dapat dilakukan dengan pendekatan pengeluaran prevent!f, yaitu mengukur biaya yang dikeluarkan untuk membersihkan air dari beban pencemar (Dixon et al., 1986). Komponen yang membentuk biaya pengolahan air antara lain adalah : (1) Pemakaian bahan kimia; (2) tanaga kerja; (3) perawatan peralatan; (4) bahan bakar; dan (5) tenaga listrik. Biaya pengolahan bahan baku menjadi air minum dapat dibedakan menjadi dua, sebagaimana biaya untuk memproduksi suatu produk, yaitu biaya tetap dan biaya variabel (Soedarsono, 1988). Biaya tetap merupakan biaya yang harus dikeluarkan meskipun tidak mengolah air. Contoh biaya tetap adalah : gaji tenaga kerja dan penyusutan peralatan. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang harus dikeluarkan sesuai dengan keluaran yang dihasilkan. Besar kecilnya biaya variabel tergantung pada besar kecilnya produksi air minum. Konsep biaya lain yang berkaitan dengan produksi air minum adalah biaya marginal. Biaya marginal merupakan biaya tambahan total biaya sebagai akibat tambahan hasil produksi air minum (Sudarman, 1989). Biaya marginal mempunyai hubungan fungsional dengan jumlah air minum yang dihasilkan. Pada kurva biaya marginal dapat ditentukan titik-titik optimal bagi perusahaan air minum. Oleh karena itu setiap titik pada kurva biaya marginal akan menunjukkan koordinasi antara beban biaya yang bersedia ditanggung oleh perusahaan air minum dengan kuantitas air minum yang ditawarkan.

Kamis, 11 Juni 2009

Industri Pasca Krisis

Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat te¬lah berkembang menjadi masalah serius. Gejolak terse¬but mulai mempengaruhi stabilitas ekonomi global di beberapa kawasan. Menurut perspektif ekonomi, per¬dagangan antar satu negara dengan negara lain saling berkaitan, misalnya melalui aliran barang dan jasa. Im¬por suatu negara merupakan ekspor bagi negara lain. Dalam hubungan yang sedemikian, dimungkinkan re¬sesi di satu negara akan menular dan mempengaruhi secara global, karena penurunan impor di satu tempat menyebabkan tertekannya ekspor di tempat lain.
Penanganan dampak krisis membutuhkan regulasi yang cepat dan tepat. Di setiap negara cara penan¬ganannya dapat dipastikan akan berbeda, sebagaima¬na dampak krisis ekonomi yang juga berbeda. Secara umum, negara yang paling rentan terhadap dampak krisis adalah negara yang fundamental ekonomi do¬mestiknya tidak kuat. Lemahnya fundamental ekonomi sebuah negara salah satunya dapat disebabkan oleh kebijakan yang tidak tepat. Salah satunya berkaitan dengan posisi bank sentral yang memiliki kewajiban mengatur kebijakan moneter. Bank sentral tentu akan memiliki kekuatan intervensi dalam mengatasi berbagai permasalahan ekonomi, misalnya kredit macet ataupun gelembung subprime.
Pemerintah optimistis akan mampu men¬gatasi dampak krisis keuangan dunia kali ini. Dalam mengatasinya memang dibutuhkan ketenangan se¬mua pihak agar dapat senantiasa berpikir rasional un-tuk mencarikan jalan dan solusi. Meskipun tidak seluruh masalah berada di jangkauan wilayah kebijakan dan wewenang pemerintah, partisipasi dan peran serta se¬mua pihak dalam mengatasi dampak krisis keuangan global mutlak dibutuhkan.
Dari tatanan perekonomian dunia yang tidak aman dan tidak adil menyebabkan bumi kita dalam keadaan bahaya. Jika tatanan perkonomian seperti ini terus berjalan tanpa ada upaya untuk mengubah atau memperbaikinya, maka dapat dipastikan krisis setiap saat dapat terjadi. Oleh karena itu tatanan perekonomian dunia harus diperbaiki dan ditata kembali agar lebih mencari aman dan stabil, agar lebih adil dan memberikan manfaat secara merata pada semua bangsa.
Kita semua perlu mencari dan mengetahui penyebab utama dari tidak stabil, tidak aman, dan tidak adilnya perekonomian dunia saat ini. Ada 3 (tiga) faktor penyebabnya yaitu: Pertama, Di dunia ini banyak berlangsung atau terjadi yang disebut dengan imbalances, ketimpangan yang mendasar. Ketimpangan antara negara kuat, negara maju dan negara kaya dengan negara lemah, negara terbelakang dan negara miskin. Mismatch atau ketimpangan antara supply dengan demand, antara global production dengan global consumption. Ketimpangan atau ketidakmerataan bagi yang memiliki sumber daya alam dari negara-negara di dunia ini, teknologi maupun capital termasuk financial capital. Kemudian power arrangement yang juga menyiratkan sesuatu yang tidak simetris, tidak membangun level playing field misalnya negara maju, negara belum maju, termasuk betapa besar dan kuatnya peran multinational corporations.
Penyebab kedua, terjadinya ekonomi gelembung yaitu ekonomi yang ada itu hanya di permukaan ternyata bukan real economy tapi lebih bersifat money economy. Terjadi spekulasi yang berlebihan, yang melebihi batas kepatutan sehingga sering kali kita melihat sebuah ekonomi negara tertentu, daerah tertentu yang bergerak itu tidak mencerminkan kekuatan ekonomi yang riil.

Penyebab ketiga, adalah yang berkaitan dengan rules, governance dan institution dari perekonomian global. Ada yang mengatakan rules, governance itu dianggap hanya menguntungkan negara-negara pemilik kapital, negara-negara yang powernya kuat dan menguntungkan multinational corporation. Ada juga rules dan governance itu tidak dijalankan oleh lembaga yang dianggap membawakan, menyuarakan semua kepentingan bangsabangsa. Ada juga yang mengatakan lembaga-lembaga internasional yang diciptakan pasca perang dunia kedua, Brighton Woods, seperti IMF, World Bank, WTO itu dinilai tidak berhasil untuk mengatasi berbagai permasalahan di dunia ini.
Untuk mengantisipasi dampak krisis keuangan glob¬al Presiden Susilo Bam¬bang Yudhoyono telah memberikan 10 (sepuluh) arahan yang di¬maksudkan untuk mempertahankan kestabilan pertum¬buhan ekonomi Indonesia sebagai berikut:

1. Semua kalangan harus tetap optimis, dan bersinergi untuk memelihara momentum pertum¬buhan ekonomi dan mengelola serta mengatasi dampak krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, kita semua tidak boleh panik dan harus tetap menjaga kepercayaan masyarakat.
2. Dengan kebijakan dan tindakan yang te¬pat, serta dengan kerja keras dan upaya maksimal, nilai pertumbuhan ekonomi tetap dipertahankan sebesar 6 persen. Komponen yang perlu dijaga antara lain: konsumsi, belanja pemerintah, investa-si, ekspor, dan impor. Tindakan yang perlu dilaku¬kan adalah pemanfaatan perekonomian domestik dan mengambil pelajaran dari krisis 1998, di mana sabuk pengaman perekonomian domestik adalah sektor UMKM, pertanian, dan sektor informal.
3. Optimasi APBN 2009 untuk memacu per¬tumbuhan dan membangun social safety net. Hal- hal yang harus diperhatikan yaitu:
- penyediaan infrastruktur dan stimulasi per¬tumbuhan
- alokasi anggaran penanggulangan kemiski¬nan tetap menjadi prioritas
- defisit anggaran harus “tepat” dan “rasional” atau tidak mengganggu pencapaian sasaran “kembar” (growth with equity)
4. Dunia usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak, agar penerimaan negara tetap ter¬jaga dan pengangguran tidak bertambah.
5. Semua pihak agar cerdas menangkap pe¬luang untuk melakukan perdagangan dan kerjasa¬ma ekonomi dengan negara sahabat.
6. Galakkan kembali penggunaan produk da¬lam negeri sehingga pasar domestik akan bertam¬bah kuat.
7. Memperkokoh sinergi dan kemitraan (part¬nership) pemerintah dengan perbankan dan dunia usaha.
8. Semua kalangan diminta menghindari sikap egosektoral dan memandang remeh masalah. Presiden menegaskan pentingnya kerjasama yang terkoordinir antar instansi terkait.
9. Mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan golongan dan pribadi.
10. Semua pihak diminta melakukan komu¬nikasi dengan tepat dan bijak kepada rakyat.


Sebagai implementasi Sepuluh Arahan Presiden tersebut di atas, beberapa langkah kebijakan telah diambil untuk men¬gatasi dan mengantisipasi dampak krisis keuangan global. Rangkuman langkah tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut (Depkominfo, 2008):

1. Kepastian Hukum dan Jaminan Investasi
Mengacu pada krisis ekonomi tahun 1998 langkah-langkah prioritas yang dilakukan pemerintah antara lain: mengutamakan proteksi rakyat kecil, memastikan ketersediaan kebutuhan sehari-hari, biaya kesehatan, pendidikan dan layanan publik lainnya agar tidak men¬galami gangguan.
Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan bebera¬pa insentif untuk memastikan sektor riil terus berger¬ak. Sekalipun gejolak pasar saham dan fiskal banyak dipengaruhi oleh hal-hal di luar jangkauan pemerintah, karena harus tunduk pada hukum global.



2. Perkuat dan Jaga Ketahanan Sektor Riil
Langkah kebijakan pemerintah untuk menjaga agar perekonomian tetap stabil di tengah krisis antara lain dengan mendorong kinerja melalui pemberian insentif dan disinsentif.
Pemerintah akan menerapkan insentif ekspor beru¬pa perbaikan iklim dan pengurangan biaya transaksi ekspor. Kebijakan itu dibuat untuk mencegah imbas krisis keuangan global. Selain itu pemerintah juga akan merestitusi pajak penjualan dan bea masuk termasuk strategi ekspansi ke pasar baru dan mengamankan dari produk ilegal. PP No 1/2007 tentang insentif pajak bagi usaha dan daerah tertentu akan diimplementasikan. Paket kebijakan ekonomi melalui Inpres 5/2008 juga terus dijalankan.
Pemerintah terus berupaya menarik penanam modal luar negeri maupun domestik untuk tetap menanamkan modalnya di sektor riil. Beberapa langkah yang dilaku¬kan diantaranmya perbaikan masalah yang dikeluhkan investor, dan pengendalian impor barang yang bersifat konsumtif melalui peningkatan pengadaan dalam neg¬eri. Untuk dapat meningkatkan ketahanan ekonomi In¬donesia di sektor riil, Pemerintah mendorong sektor swasta untuk meningkatkan pertumbuhan usaha ber¬basis industri manufaktur sehingga dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.

Adapun basis industri manufaktur yang didorong pertumbuhannya oleh pemerintah adalah:
1. Tekstil dan Produk Tekstil
2. Alas Kaki
3. Keramik
4. Elektronika Konsumsi
5. Pulp dan Kertas
6. Petrokimia
7. Semen
8. Baja
9. Mesin Listrik & Alat Listrik
10. Alat Pertanian
11. Peralatan Pabrik
Pemerintah juga melindungi industri dalam negeri dari membanjirnya produk luar dengan membatasi laju impor serta meningkatkan pengamanan pasar domestik dari produk impor ilegal atau politik dumping.
Pemerintah juga akan melakukan penutupan pelabuhan-pelabuhan gelap, yang sering digunakan se¬bagai sarana penyelundupan barang ilegal, serta mem¬perketat pengawasan bongkar muat barang di pelabu¬han dan sepanjang pantai Indonesia.
Dalam menghadapi krisis keuangan global ini, pe¬merintah juga memberikan perhatian khusus kepada In¬dustri Kecil dan Menengah (IKM), untuk menjaga tetap tersedia lapangan kerja bagi masyarakat pedesaan.
Dalam sektor UKM, pemerintah terus memastikan kelangsungan progran kredit untuk rakyat dan berba¬gai program fasilitasi UKM lainnya. KUKM perlu diting¬katkan karena, sektor KUKM Indonesia ditunjang oleh 48,9 juta unit usaha yang tersebar hamper merata di seluruh wilayah Indonesia.
Kontribusi bagi Kontribusi KUKM terhadap PDB sebesar Rp 1.778 triliun (53,3 persen) dan menyerap tenaga kerja 96 persen. Pemerintah juga mendukung usaha peningkatan hasil komoditi di beberapa sektor usaha. Di sektor pertanian yang mendapat perhatian khusus terhadap pengembangan budidaya udang, kerang, kopi, coklat, ikan segar, dan daging. Semen¬tara, dalam sektor industri terdapat minyak nabati, ge¬tah karet alam, kertas dan kertas koran, serta barang tembaga.
3. Stabilisasi Moneter
Pemerintah melalui Bank Indonesia akan menem¬puh beberapa langkah, yaitu memperkuat likuiditas sektor perbankan, menjaga pertumbuhan kredit pada tingkat yang sesuai untuk mendukung target pertumbu¬han ekonomi, dan mengambil kebijakan neraca pemba¬yaran.
Upaya tersebut diantaranya adalah :
— Antisipasi pengeringan likuiditas global dengan memperkuat sektor perbankan, pertumbuhan kredit dijaga pada level yang tetap mampu mendukung pertumbuhan ekonomi.
— Pencarian pembiayaan defisit anggaran pendapa¬tan dan belanja negara dari sumber nonpasar dan sumber-sumber pembiayaan lainnya, karena pem¬biayaan melalui penerbitan surat utang makin sulit dilakukan.
— Pemantauan neraca pembayaran dengan menjaga momentum arus modal ke dalam negeri.
— Pemantauan penggunaan anggaran kementerian dan lembaga negara.

4. Kebijakan Moneter yang Dikeluarkan
Untuk menjaga stabilisitas keuangan pemerintah menambahkan kreteria menyangkut perubahan nilai simpanan yang dijamin pemerintah melalui UU No. 24/2004 tentang LPS.
Melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pemer¬intah menaikkan nilai penjaminan nasabah dalam satu bank, dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar. Kenaikan ini mencapai 20 kali lipat dari nilai penjaminan sebelum¬nya.
Dengan kebijakan ini persentase nasabah yang dija¬min bertambah dari 95 persen menjadi 97 persen, atau 78,6 juta dari total nasabah yang kini berjumlah 81 juta orang. Melalui kenaikan jaminan pinjaman ini, pemerin¬tah menegasakan agar masyarakat tidak tidak khawatir dananya akan hilang.

Sabtu, 07 Maret 2009

Analisa Kebijakan Ekonomi : Post Orde Lama vs Post Orde Baru

Pendahuluan
Selama tiga dasawarsa lebih, masyarakat menyaksikan pelaksanaan dan menonton hiruk-pikuk serta larut dalam gemuruh gelombang pembangunan. Namun bila dirasakan dan dicermati secara seksama apa yang telah dihasilkan, maka muncul kesan bahwa pembangunan tampaknya hanya sebuah utopia belaka. Janji-janji dan harapan yang digantungkan pada pembangunan banyak yang tidak menjadi kenyataan. Semua orang dibuai bahwa dengan pembangunan akan dicapai peningkatan penghasilan, perbaikan taraf kehidupan, perluasan peluang kerja, peningkatan kualitas SDM, hilangnya kebodohan, keterbelakangn dan kemiskinan. Setelah sekian lama pembangunan berlangsung, ternyata semua itu tidak menjadi kenyataan seperti yang di harapkan. Tanpa disadari, pembangunan telah membawa akibat dan memunculkan berbagai macam masalah di hampir setiap sendi kehidupan.
Hampir kurang lebih setengah abad Indonesia merdeka, tetapi apa yang dinamakan dengan pembangunan belum menyentuh titik temu dengan prinsip keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan yang tercantum dalam UUD 1945 dan Pancasila. Anehnya dari beberapa Orde yang pernah di enyam dan dirasakan oleh masyarakat Indonesia, cita-cita yang selalu di junjung tinggi oleh UUD 1945 dan Pancasila mengenai egaliterian pembangunan, tidak pernah terwujud secara merata. Justeru sebaliknya, memunculkan otorotarian negara dalam pembangunan sehingga menimbulkan kepincangan-kepincangan sosial antara “the have and the have not”.
Dari sejarah Orde-Orde pemerintahan yang sempat berkuasa di Indonesia, konsep pertumbuhan ekonomi telah di unggulkan dari konsep-konsep lainnya dalam membangun bangsa. Padahal pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu instrumen untuk mencapai tujuan pembangunan tampaknya hanya menghasilkan kesenjangan. Industrialisasi, modernisasi dan intensifikasi pertanian, perbaikan dan peningkatan kualitas prasarana dan sarana yang telah di laksanakan dengan berbagai macam daya upaya tidak dapat di nikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Penguasa dan pengusaha dengan berbagai cara dan daya berusaha sedapat mungkin untuk merasakan dan menikmati seluruh fasilitas yang tersedia. Ketidakmerataan akses dalam ke ikut sertaan untuk meraih buah pembangunan telah melebarkan kesenjangan ekonomi dan sosial. Kelompok masyarakat mampu dengan mudah mendapatkan akses berbagai fasilitas sehingga dapat menikmati buah pembangunan. Sedangkan masyarakat kurang mampu belum atau kurang dalam menikmati fasilitas, karenanya belum dapat mencicipi pembangunan. Bahkan dalam beberapa kasus, demi pembangunan, masyarakat kurang mampu (lapisan bawah) acap kali di pinggirkan seakan di jadikan tumbal pembangunan.
Di Indonesia pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum, kata ini di artikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang di maksud adalah terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan sering di artikan sebagai kemajuan yang di capai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi . Bagi rakyat kecil, seringkali pembangunan memiliki arti lain, seperti apa yang telah di kisahkan oleh Bapak Selo Sumardjan . Dia pernah terdampar di sebuah kota kecil di luar Jakarta, dan sempat berbicara dengan penduduk miskin di sana. Dia bertanya, dari mana orang itu datang. Jawab si penduduk : “Saya dulu tinggal di Jakarta, tetapi karena ada pembangunan, saya terpaksa mengungsi kemari”. Bagi orang ini, dan bagi banyak orang kecil yang senasib dengannya, pembangunan merupakan sebuah malapetaka, yang mendamparkan hidup mereka. Barangkali hal inilah yang memunculkan benih-benih ketidakpuasan yang kemudian sebagai salah satu pemicu munculnya konflik, kekerasan dan krisis sosial. Dan mengakibatkan lengsernya dua rezim Soekarno dan Soeharto dari kursi kepresidenan oleh gerakan mahasiswa dan rakyat yang menuntut perbaikan ekonomi.

Pola Kebijakan Ekonomi Orde lama
Pada awal kemerdekaan tahun 1945-1949, ekonomi nasional mengalami kemandegan karena rakyat Indonesia sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Seluruh potensi yang ada di kerahkan untuk mendukung pejuangan agar kemerdekaan yang telah di proklamirkan dapat dipertahankan. Baru setelah indonesia benar-benar memperoleh kemerdekaaan secara de fakto dan de jure dari penjajah Belanda dan Jepang, pemerintahan Indonesia yang terbentuk mulai memfokuskan kinerjanya pada masalah-masalah perekonomian. Namun pada waktu itu, Indonesia yang baru saja merdeka dari tangan penjajah terjebak di antara dua kutub ideologis, yaitu Kapitalisme dan Komunisme. Dua kutub tersebut menjadi suatu keniscayaan dari pengutuban ideologi politik pasca perang, Amerika serikat di kubu Kapitalis, dan Uni Soviet di kubu Komunis. Bisanya negara-negara bekas jajahan termasuk Indonesia, secara ideologi politik sangat berdekatan dengan nilai-nilai sosialisme, karena sifat-sifat anti-imperialismenya. Pada waktu itu di Indonesia sendiri, terjadi perbedaan pandangan dan polemik mengenai pembangunan ekonomi pasca kemerdekaan. Perbedaan pandangan ini berkisar antara aliran “revolusi belum selesai” dan “revolusi telah selesai”. Saat itu, ada pendapat yang di pelopori oleh Bung Karno, “bahwa revolusi Indonesia belum selesai, yaitu dengan mengusir imperialisme dan menghapuskan feodalisme. Selama dua fenomena ini belum diselesaikan, maka Indonesia belum siap membangun”. Pendapat lain yang di pelopori oleh bung Hatta, lebih berpendapat, “bahwa semua kegiatan revolusi hendaknya di hentikan segera agar pemerintah bisa melakukan konsolidasi untuk memulai pembangunan ekonomi” . Tampaknya dari kedua pendapat yang di pelopori oleh para fonding father tersebut, mungkin pendapat yang dapat di terima pada saat itu oleh pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia secara rasional adalah pendapat dari Bung Hatta. Karena yang patut disadari adalah bahwa setelah Indonesia merdeka dari bangsa-bangsa imperialis, negara Indonesia bisa dikatakan sangat minim Sumber Daya Modal yang akan digunakan untuk membangun kembali perekonomian Indonesia yang hancur di sebabkan oleh penjajahan tiga setengah abad lamanya. Untuk itulah, pendapat dari Bung Hatta sangat besar sekali pengaruhnya bagi kebijakan ekonomi Indonesia, sehingga pendapat tersebut diimplementasikan secara pragmatis dalam periode Demokrasi Parlementer 1950-1957 . Pada periode ini, pemerintahan di pimpin oleh seorang Perdana Menteri M. Natsir yang berasal dari Partai Masyumi. Kebijaksanaan ekonomi pada periode kabinet Natsir beranggapan bahwa, pertama : modal asing diperlukan oleh perekonomian Indonesia, kedua : modal asing dapat di awasi dengan melalui peraturan pemerintah, ketiga : nasionalisasi perusahaan asing tidak ada gunanya apabila modal asing belum bisa di gantikan oleh perusahaan-perusahaan pribumi yang mampu mempertahankan tingkat produktivitas dan efisiensi tehnik serta manajemen yang setara. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, sebagai Menteri Perdagangan dan Industri pada peiode demokrasi parlementer juga berpendapat, bahwa “negara harus memainkan peran yang menentukan, terutama pada tahap awal pembangunannya dan bahwa pengusaha-pengusaha asing mutlak harus di awasi karena belum terdapat kelompok-kelompok pengusaha yang kreatif dari kalangan bangsa Indonesia sendiri” .
Dari Kebijakan ekonomi yang telah di keluarkan oleh pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan, terlihat sangat jelas sekali nilai-nilai nasionalisme yang terkandung dalam kebijakan “ekonomi nasional” Indonesia. Dalam hal ini banyak pengamat ekonomi di Indonesia menyebutkan bahwa periode tersebut adalah periode “nasionalisme ekonomi” yang berarti mencakup tiga dimensi pembangunan ekonomi Indonesia. Pertama, suatu perekonomian yang beragam dan stabil, yang berarti di tiadakannya ketergantungan yang besar kepada ekspor bahan mentah. Kedua, suatu perekonomian yang sudah berkembang dan makmur atau pembangunan ekonomi. Ketiga, suatu perekonomian dimana satu bagian yang penting dari pemilikan, pengawasan dan pengelolaan di bidang ekonomi berada di tangan golongan pribumi atau negara Indonesia, yang berarti pengalihan penguasaan dan pengelolaan atas kegiatan-kegiatan ekonomi dari tangan orang-orang barat dan Cina ke tangan orang-orang Indonesia. Untuk melaksanakan kebijakan nasionalisme ekonomi, pemerintahan pasca kemerdekaan melaksanakan proteksi, satu di antara beberapa keputusan yang di ambil oleh pemerintah Indonesia adalah menentukan dan memilih importir-importir yang layak di beri bantuan pemerintah. Para pengusaha yang dapat melalui penyaringan itu dan berhak atas bantuan pemerintah, biasanya dinamakan importir-importir “Benteng”. Secara garis besar, kebijakan yang telah di ambil oleh pemerintahan pasca kemerdekaan sebenarnya banyak memberikan perubahan-perubahan mendasar dalam kegiatan pembangunan ekonomi, hal ini terbukti dengan munculnya kegiatan sektor informal yang menjadi soku guru perekonomian Indonesia saat itu. Di sektor perdagangan, pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Perusahaan di ambil oleh pemerintah, dan seluruh kegiatan ekspor dan impor di tangani perusahaan negara. Kebijakan ini memberikan kemudahan bagi industri kecil untuk mendapatkan bahan baku. Industri kecil, terutama tekstil berkembang pesat. Namun akibat perbedaan pandangan mengenai perananan perusahaan swasta dan asing dalam mendongkrak perekonomian di Indonesia, muncul polemik antara kelompok moderat dan konservatif yang di wakili oleh Partai Masyumi dan PSI, yang saat itu berada pada posisi pucuk pememerintahan, dengan kerlompok radikal yang di wakili oleh partai ultra nasionalis radikal, yang menghendaki perubahan struktural yang mendasar dalam perekonomian . Akibat polemik yang berkelanjutan mengenai model pembangunan ekonomi yang sesuai di Indonesia pada awal kemerdekaan menimbulkan konsekwensi langsung dengan tidak adanya kontinuitas, karena pemerintahan atau kabinet seringkali mengalami pergantian dan tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengimplementasikan program-programnya dan jatuh sebelum bekerja. Sistem pemerintahan parlementer di Indonesia waktu itu sesungguhnya tidak sejalan dengan subtansi demokrasi . Yang lebih parah lagi adalah pembangunan ekonomi di Indonesia pasca kemerdekaan selalu gagal di karenakan konflik yang berlangsung antara dua kelompok yang menganut dua pandangan yang saling bertentangan mengenai kebijakan ekonomi, pimpinan politik yang konservatif pragmatis lawan pimpinan politik ultra-nasionalis radikal . Konflik ini hampir-hampir tak pernah menghasilkan konsensus nasional. Malahan yang terjadi, seperti yang secara ekstrem di kemukakan oleh Sutter, adalah bahwa kedua kelompok itu seringkali “saling menjegal dan pemerintah (seringkali) tetap mandeg dan tidak mampu menangani masalah (ekonomi) tertentu” . Adanya konflik tersebut (paling tidak untuk sebagian) menyebabkan patronase politik tersebar luas di antara ke-27 partai politik selama berlangsungnya periode ini, yang sekitar 20 di antaranya memegang kekuasaan yang besar pada tingkat nasional dengan menggunakan cara-cara yang sangat mengagumkan di dalam kabinet dan birokrasi . Dalam lingkungan seperti inilah klik-klik, dalam hal ini partai-partai politik, yang merupakan saluran yang jelas, merupakan satuan-satuan utama dalam proses politik dan menggalakan fungsi patronase dalam masyarakat . Puncak dari permasalahan tersebut akibat konflik yang berkepanjangan mengenai pembangunan ekonomi, telah mencapai klimaks-nya ketika pada tahun 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli i959, yang mengakhiri sistem demokrasi parlementer dan menggantinya dengan Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Pada periode demokrasi terpimpin terkenal suatu istilah MANIPOL-USDEK yang dirinci oleh Dr. Roeslan Abdulgani, yang memilik arti, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Bangsa Indonesia, sebagai suatu kebijakan baru mengenai pembangunan ekonomi di negara Indonesia. Dalam fase pertama Demokrasi Terpimpin (1960-1963) peran elit Angkatan Darat Indonesia yang di pengaruhi oleh paham neo-Keynesian tampak jelas, dalam fase kedua (1963-1965) di tandai oleh peran sentral yang di mainkan oleh PKI dalam kehidupan politik. Inisiatif bergeser dari Angkatan Darat, yang terutama sibuk dengan usaha mengkonsolidasikan apa yang telah di capainya dan untuk mempertahankan posisinya, kepada Presiden Soekarno dan PKI yang mendorong kebijaksanaan-kebijaksanaan yang radikal dan militan di dalam negeri maupun gelanggang internasional. Situasi ini pada akhirnya mengakibatkan ambruknya hubungan segitiga dan keseimbangan kekuasaan antara Presiden Soekarno, Angkatan Darat dan PKI, ketika enam Jenderal Angkatan darat dibunuh secara keji dalam suatu percobaan “kup” yang dilancarkan oleh Gerakan 30 September (G.30/S), peristiwa yang paling berdarah dalam sejarah Indonesia .
Sementara saat demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno tampil menjadi penguasa yang otoriter, angkatan darat secara mantap meluaskan dan memperkukuh kekuasaan politiknya dan partai-partai politik praktis tidak berdaya dan semakin lemah, kecuali PKI yang memperluas pengaruh politiknya di bawah perlindungan Presiden Soekarno . Tampak jelas sekali, bahwa pada periode demokrasi terpimpin ini politik telah menjadi sedemikian rupa, sehingga politik menjadi panglima, dan jalan sosialisme lebih dikembangkan dengan cara manasionalisasi hampir seluruh perusahaan swasta dan asing yang berada di seluruh Indonesia. Kiranya apa yang menjadi polemik awal antara Soekarno dan Hatta mengenai “revolusi belum selesai” dan “revolusi sudah selesai” semakin menjadi-jadi pada periode ini. Soekarno yang mengangkat dirinya sebagi presiden seumur hidup, kian memantapkan slogan-slogannya tentang revolusi yang abadi. Kekuasaannya semakin tersentralistik, semua surat kabar di beri keleluasaan untuk menyediakan kolom penyebarluasan ajaran revolusi Soekarno. Setiap orang, kelompok ataupun partai politik yang tidak menyetujui ataran-aturannya di anggap “kontra-revolusioner”, lalu di tangkap dan di berangus, dan beliau memenuhi penjara-penjara dengan lawan-lawan politiknya. Namun di balik itu semua, tanpa di sadari akibat kebijakan politik “revolusioner” yang di jalankan dalam demokrasi terpimpin ini, bencana ekonomi sedang menghadang negara Indonesia. Sikap masa bodoh pemerintahan Soekarno terhadap soal-soal ekonomi, tidak konsistennya rencana-rencana ekonomi yang silih berganti dan buruknya implementasi kebijaksanaa ekonomi merupakan penyebab kekacauan di bidang ekonomi. Indeks biaya hidup di negara Indonesia membumbung tinggi dari basis 100 dalam tahun 1957 menjadi 36.000 pada tahun 1965. Jumlah uang dalam peredaran naik dari 30 miliar hingga hampir 1 triliun rupiah dalam periode yang sama itu. Pada akhir tahun 1965, defisit anggaran membengkak menjadi jumlah yang amat besar, 1,5 triliun rupiah, dan Indonesia mulai mengabaikan pembayaran hutang luar negerinya. Bagian terberat dari dislokasi ekonomi disebabkan oleh para pekerja di lingkungan white collar (kertas putih) dan blue collar (kertas biru) wliayah perkotaan. Di banyak bagian daerah pedalaman, para petani menimbun hasil panen mereka, menukar produk mereka kepada pengusaha-pengusaha kecil. Dan di mana dan kapan mereka dapat membayar hutang mereka dengan mata uang yang rendah nilainya. Tetapi petani juga harus membayar banyak karena sangat kurangnya pupuk dan pestisida yang membuat berkurangnya hasil pertanian, selain itu juga karena situasi dan lingkungan pedesaan yang semakin terancam dan kurang aman yang di sebabkan oleh iklim politik yang di warnai dengan gelombang pembunuhan . Pada malam peristiwa G.30/S, rupiah tidak lebih bernilai daripada kertas yang dicetak, memang biaya mencetak uang rupiah melampaui nilai uang yang tercetak . Tak dapat di sangkal, sebagaimana diamati oleh seorang agronomis, “Indonesia, terpuruk di karenakan terjadinya mis-manajemen selama lebih dari satu dekade” . Bung Hatta yang ikut menandatangani proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dengan Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945, dan kemudian pecah jalan dengan Soekarno, memberikan tanggapan, “Nasib Indonesia kini lebih suram dibanding dengan waktu rezim kolonial Belanda” . Akhirnya pasca kejadian G.30/S, di tingkatan bawah, rakyat dan mahasiswa dengan slogan “Tiga Tuntutan Rakyat” (Tritura) meminta Presiden Soekarno mundur dari jabatannya, karena dinilai telah gagal dalam membangun perekonomian Indonesia, dan di tingkat elit terjadi “kup” yang mengakibatkan di sisihkannya Soekarno dari kehidupan politik, penghancuran total PKI beserta semua organisasinya, dan tampilnya militer secara dominan dalam kehidupan politik. Maka berakhirlah masa Orde Lama dengan membawa “drama revolusinya yang belum selesai”.

Pola Kebijakan Ekonomi Orde Baru
Periode Oktober 1965 sampai Maret 1966 adalah periode yang penuh dengan ketidak pastian. Di satu pihak Soekarno masih enggan menggusur PKI, di lain pihak mahasiswa dan kekuatan politik lainnya semakin gencar menuntut pembubaran PKI yang kemudian meluas menjadi penggantian Presiden Soekarno . Dengan berakhirnya Demokrasi Terpimpin yang begitu cepat pada periode kritis dari akhir akhir tahun 1965 hingga tahun 1967, mulailah Angkatan Bersenjata Indonesia yang di pimpin oleh Jenderal Soeharto, berkuasa. Elit Angkatan darat dengan cepat mendefenisikan kembali situasi itu sebagai suatu tindakan politik untuk mencegah berlanjutnya disintegrasi di bidang-bidang sosial, politik dan ekonomi. Pada bulan Maret 1967 Jenderal soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden oleh MPRS. Pemerintah di bawah Soeharto mewarisi keadaan ekonomi yang sudah yang sudah hampir ambruk. Hutang luar negeri berjumlah $ 24.00 juta, laju inflasi mencapai 20-30% sebulan, infrasrtuktur berantakan, kapasitas produksi sektor-sektor industri dan ekspor sangat merosot dan pengawasan atas anggaran serta penarikan pajak sudah tidak berfungsi lagi . Menghadapi kekacauan ekonomi itu, pemerintah baru bertekad untuk membenahi keuangan negara. Dengan menggunakan pendekatan yang sangat pragmatis sebagai konsep utamanya, yang berlawanan sepenuhnya dengan kebijakan Demokrasi Terpimpin, pemerintah Orde Baru pada tanggal 1 Januari 1967 memberlakukan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tanggal 3 Juli 1968 sebagai UU. No. 6 tahun 1968. Kedua Undang-Undang itu dimaksudkan untuk membuka perekonomian dan menggiatkan kembali dunia usaha swasta. Kebijaksanaan itu di rumuskan dengan bantuan dan nasihat ahli-ahli ekonomi dan tenaga-tenaga profesional selama itu mempunyai hubungan dengan Angkata Darat . Pemerintahan Orde Baru memutuskan untuk menerapkan tiga langkah pembangunan ekonomi berikut pada masa awal pemerintahannya. Pertama, menjadwalkan kembali pelunasan utang luar negeri sebagai langkah awal untuk mengembalikan kepercayaan pihak luar negeri. Kedua, mengendalikan inflasi yang tak terkontrol melalui program impor komoditi besar-besaran yang di biayai oleh pinjaman-pinjaman hasil re-negoisasi. Ketiga, mengundang investasi sebesar-besarnya, terutama investasi asing, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi . Pemerintah yakin bahwa pertumbuhan karena suntikan modal dan teknologi akan meluber secara spontan ke seluruh lapisan masyarakat. Rencana ini diumumkan pada tanggal 5 Juli 1966 dalam Ketetapan MPRS No. XXIII tentang “Pembaruan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan”, yang merinci tiga tahap pembangunan. Pertama, tahap penyelamatan, yakni mencegah kemerosotan ekonomi agar tidak menjadi lebih buruk lagi. Kedua, tahap stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, yang mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur ekonomi. Ketiga, tahap pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi . Suatu pendekatan yang sepenuhnya a-politik atau non politik atau sebagai suatu versi teknokratis, yang dianggap kunci bagi keberhasilan pelaksanaan upaya tersebut terletak pada kestabilan politik. Dalam pendekatan itu, yang memandang masalah-masalah ekonomi dari segi kuantitatif dan kebutuhan-kebutuhan akan modal dan teknologi tersirat anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh suntikan modal dan teknologi akan “meluber” secara spontan ke seluruh lapisan masyarakat. Salah satu implikasi terpenting dari teori “Trickle Down Effect” (tetesan ke bawah), yang hampir selama periode pemerintahan Orde Baru sangat di percaya sebagai suatu model pembangunan ekonomi. Dalam rangkaian teori ini, sangat erat kaitannya dengan teori yang dikembangkan oleh Evsey Domar dan Roy Harrod , tentang tabungan dan investasi modal. Lebih jauh Harrod dan Domar menguraikan teori pembangunan ekonomi yang didasarkan pada jumlah tabungan dan investasi modal. Menurut kedua peneliti tersebut, kalau tabungan dan investasi rendah, pertumbuhan ekonomi masyarakat atau negara tersebut juga rendah . Tampaknya pemerintahan Orde Baru secara tidak langsung memakai rumus tersebut dalam membangun benteng perekonomiannya, karena itu, berdasarkan pada model ini, pemerintah Orde Baru mengejar kebangkrutan ekonomi yang di wariskan dengan mencari tambahan modal, baik dari dalam negeri (dengan mengusahakan peningkatan tabungan dalam negeri), maupun dari luar negeri (melalui penanaman modal dan utang luar negeri).
Untuk mendukung konstruktif pembangunan ekonomi pasca pemerintahan Orde Lama yang telah hancur, pemerintahan Orde Baru meminta dukungan IMF (International Monetary Fund). Poin-poin penting yang disarankan untuk diterapkan oleh IMF adalah, pertama, kekuatan pasar adalah kekuatan yang vital dalam stabilisasi ekonomi. Kedua, untuk itu, maka keberadaan perusahaan negara tidak akan mendistorsi pasar dengan tidak lagi menikmati fasilitas kredit dan alokasi devisa dari negara, tidak melakukan monopoli dan menjual dengan harga subsidi. Ketiga, sebagai insentif bagi sektor swasta maka lisensi impor terhadap bahan baku dan perlengkapan tidak lagi di batasi. Terakhir adalah fasilitas insentif berupa keringanan pajak dan lain-lain bagi penanaman modal baru yang di jamin oleh Undang-Undang . Hubungan baru antara IMF dengan pemerintahan Orde Baru bisa dikatakan sebagai momentum awal dari pada ketergantungan (dependen) pembangunan ekonomi Indonesia terhadap pihak eksternal atau luar negeri.
Selain faktor-faktor eksternal (bantuan/pinjaman luar negeri) yang di jalankan oleh pemerintahan Orde Baru, berkaitan dengan masalah pembangunan ekonomi, pemerintah di bawah komando Presiden Soeharto juga mengeluarkan kebijakan dinamika politik bagi masyarakat Indonesia, dengan tujuan pencapaian stabilitas politik yang nantinya di percaya dapat mempengaruhi pertumbuhan pembangunan ekonomi. Dalam pemerintahan Orde Baru, pembangunan ekonomi di pahami sebagai serangkaian upaya untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, melalui langkah pencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi (menggerakan roda ekonomi), dengan dukungan stabilitas politik yang tinggi (mantap), karena dinamika politik merupakan hambatan bagi gerak ekonomi. Asumsi tersebut berdasarkan pengalaman yang menurut pemerintahan Orde Baru adalah kemacetan ekonomi di masa rezim Soekarno. Maka karena kepercayaan terhadap stabilitas politik lebih utama di bandingkan dengan permasalahan lainnya, pemerintahan Orde Baru memasuki wilayah politik baru, yaitu Negara-Birokrat-Otoriter (NBO) , yang memang tidak dapat dipisahkan dengan model pembangunan ekonomi “Trickle Down Effect”. Menurut O’ Donnell, Negara-Birokratik-Otoriter (NBO) memiliki karakteristik sebagai berikut, pertama: posisi-posisi puncak pemerintahan biasanya di jabat oleh orang-orang yang sebelumnya telah berhasil ketika mereka berada dalam organisasi birokrat, misalnya, organisasi militer, pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta besar. Kedua, dalam NBO akan selalu ada pembatasan partisipasi politik yang ketat (political exclusion). Ketiga, dalam NBO juga ada pembatasan dalam partisipasi ekonomi (economic exclusion). Keempat, negara mengembangkan kebijaksanaan depolitisasi dan demobilisasi massa. Secara ringkas, NBO ini dicirikan oleh adanya peran dominan para birokrat, khususnya militer yang daripadanya lahir kebijaksanaan pembatasan partisipasi politik dan ekonomi, serta muncul kebijaksanaan depolitisasi dan demobilisasi . Dalam kajiannya tentang Indonesia untuk periode permulaan Orde Baru (1966-1971), Mohtar Mas’oed menggunakan konsep NBO yang dikembangkan oleh O’Donnell dan menggabungkannya dengan konsep korporatisme. Menurut Mas’oed, lahirnya kembali bentuk negara otoriter di Indonesia pada awal Orde Baru disebabkan oleh : pertama, oleh warisan krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an. Struktur politik yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya memiliki kecendrungan untuk memberikan kekuasaan yang berlebihan pada pemerintahan. Lebih dari itu, pada masa tersebut Orde Baru hendak berusaha secara cepat memproleh legitimasi politiknya, karena menurutnya, Soekarno masih memiliki pengaruh yang tidak kecil dan pendukung yang tidak sedikit. Kedua, koalisi intern Orde Baru yang memaksa untuk segera melakukan restrukturisasi ekonomi secara radikal juga menyebabkan lahirnya NBO di Indonesia. Orde Baru memilih untuk dengan segera melakukan stabilisasi ekonomi yang memberikan peluang yang besar kepada modal domestik dan modal internasional untuk terlibat, sekalipun kebikasanaan ini dibayar dengan harga mahal. Ketiga, orientasi ekonomi keluar yang dirumuskan oleh Orde baru pada masa akhir tahun 1960-an dan berlanjut pada tahun 1970-an adalah adalah satu faktor yang mendesak pemerintah untuk memilih bentuk NBO. Dengan adanya ke tiga faktor tersebut, Mas’oed menyimpulkan bahwa mengharapkan adanya bangunan politik demokratis pada awal Orde Baru merupakan harapan yang tidak realistik, kalau bukan khayalan .
Keunikan teori NBO yang dikembangkan oleh Mas’oed, dalam melihat kasus di Indonesia adalah urgensi faktor krisis politik lebih bertanggung jawab terhadap lahirnya pemerintahan yang otoriter dari Orde Baru dibanding variabel ekonomi. Selain keunikan teori NBO yang di kembangkan oleh Mas’oed, semua karakteristik struktural NBO yang di kemukakan oleh O’ Donnell sepenuhnya dapat di jumpai pada sistem Politik Orde Baru . Pertama, pemerintah Orde Baru hampir dapat dikatakan berada di bawah kendali militer secara organisatoris yang bekerja sama dengan teknokrat sipil. Kedua, modal domestik swasta besar yang memiliki hubungan khusus dengan negara, dan modal internasional memiliki peran ekonomis yang menentukan. Ketiga, hampir seluruh bentuk kebijaksanaan pembangunan yang dilahirkan, sejak dari proses perencanaan sampai pada evaluasinya sepenuhnya berada pada tangan birokrat dan teknokrat. Keempat, ada kecenderungan kuat dalam pemerintahan Orde Baru, secara terencana, melakukan demobilisasi massa, kususunya yang dilakukan dengan kebijaksanaan massa mengambang (floating mass). Kelima, dalam menanggapi kritik dan para penentangnya, pemerintah Orde Baru tidak segan-segan melakukan tindakan tegas. Terakhir, dan merupakan ciri khusus untuk Indonesia, dapat dijumpai pada otonomi dan besarnya peran kantor kepresidenan, yang diwujudkan dengan demikian luas wewenang yang ada pada Sekretariat Negara . Implikasi kebijakan stabilisasi politik pada masa Orde Baru dengan munculnya Negara-Borokratik-Otoriter (NBO), pada mulanya sedikit membawa imbas positif bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini terbukti dengan perekonomian yang tumbuh rata-rata 7,9% per-tahun, dan bahkan tahun 1968 tingkat pertumbuhan mencapai 10%. Laporan resmi pemerintah menyebutkan Repelita I (1969/1970-1973/1974) pertumbuhan rata-rata 9,9% per-tahun, jauh di atas target yang telah ditentukan sebesar 5% per-tahun. Booming ekonomi ini mendapat sokongan besar lagi dari pendapatan minyak Indonesia pada Pelita Kedua dan Ketiga. Namun, akibat dari munculnya NBO ini, tanpa disadari pemerintahan Orde Baru mangalami dampak serius mengenai pola pembangunan ekonomi di Indonesia, karena pemerataan pembangunan melalui proses “menetes kebawah” (trickle down effect) atau “luberan” (spill over) yang direncanakan pada awal permulaan tidak dapat terjadi di seluruh lapisan masyarakat Indonesia, justeru malah sebaliknya, pemerataan pembangunan hanya terjadi pada level elit penguasa dan elit pengusaha pemilik modal besar. Sedangkan masyarakat bawah, yang bisa dikatakan sangat minim modal dan hubungan atau patron dengan negara tidak dapat merasakan pemerataan pembangunan yang selalu di giat-giatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Dan khususnya mengenai masalah-masalah non-ekonomi, seperti masalah sosial, politik dan budaya, masyarakat Indonesia mengalami alienasi struktural karena keberadaanya yang tidak mudah berkembang berdasarkan tradisi lokal yang telah di milikinya. Memang telah di sebutkan diatas bahwa pada awalnya pertumbuhan ekonomi berdampak positif bagi devisa negara, terutama di saat Indonesia mengalami booming minyak 1974-1982, tetapi di balik itu semua ada kemacetan dalam pembangunan masyarakat Indonesia, karena dengan munculnya kekuatan NBO, masyarakat Indonesia selalu di jadikan objek massifikasi bagi terselenggaranya pembangunan pemerintah Orde Baru. Masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru dijauhkan dari segala macam aktivitas politik maupun ekonomi. Setiap warga masyarakat yang mencoba mengkritisi pemerintahan Orde Baru selalu dijawab dengan tindakan “subversif” dan isu-isu bahaya laten komunisme. Negara pada saat itu merupakan unsur pemaksa yang paling kuat, seakan-akan tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat melawannya. Lembaga-lembaga politik yang pro-demokrasi, seperti partai politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tidak ter-patronase dengan pemerintahan Orde Baru, diatur dan dikontrol dengan mesin politik yang dikenal sebagai paket 5 UU politik yang memang telah disusun sedemikian rupa sehingga posisi negara dalam menjalankan pembangunan ekonomi tidak dapat dihambat dengan dinamika politik.
Pada sekitar tahun 1998, atau kurang lebih semenjak 32 tahun Orde Baru berkuasa, Indonesia mengalami dampak buruk dari pembangunan ekonomi yang di jalankan. Krisis ekonomi terjadi, akibat daripada kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh negara beserta aparaturnya. Dalam teori dependensi baru, krisis yang dialami oleh negara Indonesia pada saat pemerintahan Orde Baru berkuasa di karenakan 2 faktor penyebab, faktor pertama adalah faktor eksternal, yaitu utang luar negeri, yang menyebabkan ketergantungan pemerintah terhadap negara/lembaga donor. Dan faktor kedua adalah faktor internal, yang antara lain : pertama, buruknya efesiensi organisasi dan efesiensi perekonomian yang berdampak pada merosotnya daya saing. Kedua, buruknya distribusi sumberdaya nasional dalam segala bentuknya yang berakibat pada mencoloknya gejala kesenjangan sosial. Ketiga, buruknya insentif untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan produktif karena terdorong untuk mencari jalan pintas. Keempat, buruknya hubungan antara pemerintah dengan masyarakat yang berakibat pada meningkatnya gejala instabilitas politik .
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, semakin meluas menjadi krisis politik yang justeru menyebabkan semakin parahnya kondisi perekonomian Indonesia. Demonstrasi mahasiswa merebak ke seluruh penjuru nusantara. Rupiah yang sempat menguat Rp. 7.000 per satu dollar AS, melemah kembali ke tingkat Rp. 9.000. Lebih-lebih setelah pemerintah memustuskan menaikan harga BBM. Harga kebutuhan pokok serta merta turut melambung. Bara api kemarahan mahasiswa yang ketika itu sudah semakin menyala, seperti mendapat siraman bahan bakar. Kian memburuknya kondisi perekonomian di Indonesia menyebabkan pecahnya aksi-aksi kerusuhan massal di beberapa tempat di Indonesia. Rupiah kian terpuruk ke tingkat Rp. 12.000 per satu dollar AS, yang akhirnya dimulai dengan drama politik baru dengan pendudukan DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Setelah gedung DPR/MPR di tumpah-ruahi oleh para mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya sebagai presiden RI, maka nilai rupiah semakin melorot ke tingkat Rp. 16.000 per satu dollar AS, dan puncaknya adalah ketika secara monumental Soeharto akhirnya sepakat turun dari jabatannya dan menyerahkan kursi kepresidenannya kepada B.J. Habibie.
Mengenai kejatuhan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenannya, serta faktor-faktor yang berdiri di belakang krisis ekonomi yang melanda Indonesia, Revrisond Baswir mengemukakan lima faktor riil dalam latar belakang tersebut , pertama, buruknya beberapa indikator ekonomi makro, seperti rasio tabungan-investasi dan rasio angsuran hutang. Kedua, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang berujung pada buruknya inefesiensi dan kesenjangan. Ketiga, meledaknya kerusuhan massal sebagai akibat kian parahnya kesenjangan. Keempat, meningkatnya perlawanan dunia terhadap berbagai kebijakan ekonomi Indonesia yang bersifat diskriminatif. Kelima, meningkatnya ketegangan politik menjelang terjadinya pergeseran formasi politik dan suksesi. Dengan kelima faktor itu, Revrisond Baswir ingin mengatakan bahwa krisis ekonomi di Indonesia bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Ia telah di rintis sejak lama melalui pembentukan rezim kekuasaan yang bersifat monopolis, atau menurut O’ Donnell dan Mas’oed adalah dengan rezim Negara-Birokratik-Otoriter (NBO). Monopoli kekuasaan itu pada gilirannya menyebabkan merajalelanya KKN. Dengan merajalelanya KKN, maka tidak hanya penyimpangan di berbagai sektor cenderung meluas, kesenjangan ekonomi cenderung melebar. Akhirnya KKN mendorong terjadinya pelestarian kekuasaan tanpa batas. Dan apa yang pernah di alami oleh Soekarno, pada akhirnya juga di alami oleh Soeharto, yaitu permintaan suksesi kursi kepresidenannya oleh rakyat.

Pola Kebijakan Ekonomi Pasca Orde Baru
Setelah kekuasaan Orde Baru runtuh bersama pemimpinnya, yaitu Soeharto, maka secara sepihak B.J. Habibie naik menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI yang ketiga. Pelimpahan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie menjadi kontroversial. Masalahnya adalah selain kekuasaan Habibie masih mengandung kontroversi, tantangan dan sifat pemerintahan Habibie belum sepenuhnya dapat di bedakan dari pemerintahan Soeharto. Di satu pihak, pemerintahan Habibie di bangun atas struktur kekuasaan yang monopolis, sehingga membuka peluang di lanjutkannya praktek KKN dalam berbagai bentuknya. Dari segi pembangunan ekonomi, pemerintahan Habibie (pada masa itu terkenal dengan Orde Reformasi) mendapati pola yang sama dengan pemerintahan Orde Baru, yakni ketika pemerintahan Orde Baru mewarisi pemerintahan Orde Lama dengan hutang luar negeri yang cukup besar. Begitu juga dengan pemerintahan Habibie yang harus menanggung beban hutang luar negeri yang di tinggalkan oleh pemerintahan Orde Baru sebesar 150 miliar dollar AS.
Dari sejarah pembangunan ekonomi yang di kembangkan oleh Orde Baru, tampaknya Habibie memiliki pengalaman yang jauh tentang problem bagaimana mangatasi krisis multi dimensi yang melanda Indonesia. Menurut Habibie, salah satu kegagalan pemerintahan Orde Baru adalah dengan munculnya stabilitas politik yang dikembangkan sedemikian rupa sehingga memunculkan Negara-Birokratik-Otoriter (NBO). Untuk itu jalan yang di tempuh oleh Habibie pertama-tama adalah dengan meminimalisir kegiatan NBO pada pemerintahannya, dan membuka ruang seluas-luasnya bagi partisipas politik dan ekonomi masyarakat. Hal tersebut terbukti dengan kebebasan bersuara dan berkumpul pada periode ini. Partai politik baru muncul, media massa di berikan kebebasan dan buku-buku ilmiah yang selama Orde Baru dilarang mulai di terbitkan kembali. Sedangkan 6 karakteristik NBO yang di utarakan oleh Mas’oed pada pemerintahan Orde Baru, hanya satu yang di teruskan oleh pemerintahan Habibie, yaitu, dengan menggunakan modal domestik swasta besar yang memiliki hubungan khusus dengan negara, dan modal internasional memiliki peran ekonomis yang menentukan. Masalah inilah yang satu-satunya belum tertangani dengan baik oleh Habibie, sehingga penyakit lama para elit muncul kembali, yaitu KKN. Dan masalah KKN ini jugalah yang membuat pidato pertanggung jawaban Habibie di tolak oleh mayoritas anggota DPR/MPR.
Setelah Pemilu 1999 dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang jujur dan adil (jurdil), maka secara resmi K.H. Abdurrahman Wahid dan Megawati terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI menggantikan B.J. Habibie. Setelah Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden, maka beliau membentuk Kabinet Persatuan Nasional pada tanggal 28 Oktober 1999. Orientasi pemerintahan ini adalah mengembangkan pemerintahan yang baik (good govenance) dan melakukan pemulihan ekonomi yang terasa sangat mendesak, karena sebelumnya Indonesia mengalami krisis ekonomi yang telah menyapu seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Dan pada pemerintahan ini juga, pendapatan perkapita merosot drastis, angka kemiskinan dan pengangguran meningkat tajam. Dalam membangun perekonomian yang masih di landa krisis tersebut, pemerintahan Gus Dur-Mega membuka iklim politik yang demokratis, yang nantinya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Mengenai hubungannnya dengan rangkaian NBO, pemerintahan ini mencoba melepaskan segala kaitan yang ada hubungannya dengan NBO. Hal ini terlihat dengan tidak dilibatkannya kembali intelektual-inteletual yang berpikiran “teknokrat”, baik itu yang berasal dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) maupun yang berasal dari Universitas “Berkley” California. Karena menurut teori pembangunana ekonomi di Indonesia, salah satu faktor munculnya NBO di sebabkan oleh pemikir/intelektual ekonomi yang berwawasan teknokrat. Pada awal pemerintahan Gus-Dur-Mega, sebenarnya kondisi perekonomian Indonesia cukup bagus, karena pemerintahan secara internal ini mengedepankan prinsip persatuan dan kesatuan bangsa dan tidak mengedepankan NBO, yang membuat nilai tukar rupiah menguat dengan cepat karena di yakini oleh faktor-faktor psikologis pelaku pasar. Tetapi di sisi lain, Pemerintahan Persatuan dan Kesatuan ini, tidak dapat menahan gelombang eksternal berupa hutang dan pinjaman luar negeri yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi Indonesia. Karena harus tetap mewarisi beban hutang yang di tinggalkan oleh beberapa pemerintahan sebelumnya, dan untuk membangun kembali perekonomian Indonesia, pemerintahan ini sangat disibukan dengan perjalanan mencari investasi bagi penumbuhan modal Indonesia ke luar negeri. Akibatnya adalah, pemerintahan selalu di sibukan dengan pencarian modal/investasi, dan tanpa di sadari mismanajemen terjadi lagi dalam pemerintahan ini, sehingga budaya KKN muncul kembali. Yang berakibat Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR sebagai presiden, dan secara konstitusi yang menggantikan presiden adalah wakil presiden, yaitu Megawati Soekarnoputri.
Setelah Megawati dilantik menjadi Presiden RI menggantikan Abdurrahman Wahid, maka Megawati melakukan konsolidasi tentang bagaimana membangun kembali perekonomian Indonesia. Maka di susunlah sebuah kabinet yang dinamakannya dengan Kabinet Gotong Royong. Di satu sisi, nama yang di ambil oleh Megawati untuk kabinetnya adalah merupakan unsur-unsur lama yang di adopsi dari pemikiran ayahnya, Soekarno. Tetapi, berdasarkan ungkapan-ungkapan Megawati setelah di lantik menjadi Presiden RI, bahwa untuk membangun perekonomian saat sekarang ini perlu adanya suatu kondisi yang kondusif, dengan kata lain apa yang telah dikatakan oleh Megawati adalah dalam pembangunan ekonomi perlu mengutamakan stabilitas politik, mirip dengan apa yang dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru waktu awal-awal pemerintahannya. Saat membentuk tim ekonomi dalam Kabinet Gotong-Royongnya, Megawati juga mengangkat salah satu nama ekonom teknokrat lulusan Universitas “Berkeley” California , yaitu, Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Dari fenomena tersebut, mungkin timbul suatu pertanyaan, apakah Presiden Megawati akan mengikuti jejak langkah pemerintahan Orde Baru dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi ? Dan mungkinkah negara Indonesia akan beralih lagi pada peran sentral otoriter negara yang akan memunculkan NOB kembali ? Yang jelas, kecenderungan ke arah sana tetap akan ada sepanjang pemerintahan Megawati melakukan lobbying internasional kepada Amerika, yang memungkinkan kembalinya dependensi ekonomi Indonesia terhadap negara yang di anggap maju.

Kesimpulan
Ketergantungan dan pembangunan adalah dua hal yang seakan-akan tidak dapat dipisahkan dalam sejarah perekonomian Indonesia. Akan tetapi semua itu tidak dapat lepas dari masalah-masalah politik yang terjadi di Indonesia. Dari semua periode pemerintahan yang pernah berkuasa di negara ini, masalah politik telah menjadi dominan dalam memutuskan setiap kebijakan pembangunan. Kalau saat pemerintahan Orde Lama revolusi menjadi panglima, maka di saat pemerintahan Orde Baru stabilitas politik menjadi panglima. Padahal semua itu bisa dikatakan hanya sebagai retorika pemerintah dalam memberikan kebijakan dalam pembangunan ekonomi. Sedangkan masyarakat sampai saat ini terus berkubang dengan hasil-hasil pembangunan yang diciptakan oleh semua pemerintahan, seperti kemiskinan dan pengangguran. Pemerataan pembangunan yang selama ini di idolakan oleh para teknokrat dan birokrat tidak pernah terwujud menjadi kenyataan, dikarenakan pembangunan yang tidak merata dan hanya di kuasai oleh sekelompok penguasa dan pengusaha. Sedangkan masyarakat kecil tetap tidak mengalami perubahan. Pembangunan di Indonesia, sedikit banyaknya di pengaruhi oleh dua faktor yang tetap dalam kerangka ketergantungan dan pembangunan. Kedua faktor tersebut adalah apa yang pernah dikemukakan oleh Mohtar Mas’oed berdasarkan pengembangan teori yang berasal dari O’ Donnell, yaitu, faktor eksternal yang meliputi pengaruh ketergantungan dari luar negeri dan faktor internal yang meliputi pengaruh dalam negeri. Lebih jauh Mas’oed mengatakan, bahwa yang mempengaruhi ketidak merataan pembangunan di Indonesia adalah faktor internal, yaitu, krisis politik. Masalah inilah sebetulnya yang bertanggung jawab atas munculnya Negara-Birokratik-Militer, dibanding dengan variabel ekonomi. Jadi Mas’oed banyak memberikan sumbangan atas teori-teori yang urgen mengenai ketergantungan Indonesia dalam pembangunan, tidak seperti teoritikus keteregantungan klasik yang belum tentu dapat di sesuaikan dengan konteks ke Indonesiaan. @






Daftar Pustaka

1. Arief Budiman, “Teori Pembangunan Dunia Ketiga”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1996.

2. Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo, “Asas Kekeluargaan dalam Perekonomian”, Media Indonesia, Senin 10 Desember 2001, hal. 57.

3. Yahya A. Muhaimin, “Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980”, LP3ES, Jakarta 1991.

4. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, “Ekonomi Pembangunan”, Penerbit Pembangunan, Jakarta 1957.

5. Bruce Glassburner, “Economic Policy Makin in Indonesia, 1950-1957”, dalam Bruce Glassburner (ed.), “The Economy of Indonesia : Selected Writing”, N.Y, Cornell University Press 1971.

6. John O. Sutter, “Indonesianisasi : Politics in Changing Society, 1940-1955”, Ithaca, N.Y, Data Paper Number 36, Southeast Asia Program, Cornell University 1955.

7. Herbert Feith, “The Decline of Constitusional Democracy in Indonesia”, Ithaca, N.Y, Cornell University Press 1964.

8. Herbert Feith, “Dynamics of Guided Democracy”, dalam Ruth McVey (ed.), “Indonesia”, New Heaven, Conn, Yale University and HRAF 1967 revised.

9. Harold Crouch, “The Army and Politics in Indonesia”, Ithaca, N.Y, Cornell University Press 1978.

10. Arnold C. Brackman, “Cornell Paper, Di Balik Kolapsnya PKI”, Elstreba, Yogyakarta 2000.

11. Clarence E. Pike, “Indonesian Striving to Pull Out of Economic Tangle”, Foreign Agriculture, 6 Februari 1967.

12. Emil Salim, “Seribu Hari Pertama Orde Baru 1965-1968”, dalam St. Sularto (ed.), “Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia”, Kompas, Jakarta 2000.

13. “Nestapa Pembangunan Sosial”, kumpulan tulisan yang ditulis oleh tim dari Institute of Development and Economic Analisis (IDEA), Yayasan Litera Indonesia, Yogyakarta 2001.

14. Suwarsono dan Alvin Y. SO, “Perubahan Sosial dan Pembangunan”, LP3ES, Jakarta 1994.

15. Mohtar Mas’oed, “The Indonesian Economy and Political Structure During in Early New Order, 1966-1971”, Disertasi The Ohio State University 1983.

16. Revrisond Baswir, “Dilema Kapitalisme Perkoncoan”, Pustaka Pelajar dan Institute of Development and Economic Analysis (IDEA), Yogyakarta 1999.

GERAKAN KAUM MUDA SEBAGAI OTOKRITIK TERHADAP SISTEM EKONOMI-POLITIK DI INDONESIA. Kasus Pra Orde Baru dan Pasca Orde Baru

PENDAHULUAN 
Pergantian sebuah rejim membawa konsekuensi logis, yaitu perubahan sistem. Ketika Orde Lama jatuh, maka perubahan sistem sangat terasa. Perubahan yang dimaksud antara lain sistem politik, perubahan cara pandang dan strategi politik luar negeri dari poros Peking menjadi poros Amerika, perubahan sistem ekonomi dari sistem ekonomi yang terpimpin menjadi sistem ekonomi yang bergantung. Perubahan juga terjadi ketika Presiden Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998. 




Sistem politik dan ekonomi yang mulanya sangat bergantung ke Amerika, perlahan mulai bergeser ke Jerman (Ini merupakan konsekuensi dari terpilihnya Habibie seorang teknolog yang dibesarkan di Jerman). Satu hal yang menjadi kebanggaan di kalangan mahasiswa, bahwa jatuhnya kedua orang kuat tersebut (Bung Karno dan Soeharto) mau tidak mau terdapat peran mahasiswa dan pelajar. Tahun 1966 ketika Bung Karno jatuh peran elemen gerakan mahasiswa dan pelajar seperti KAMI/KAPPI sangat kuat. Sedangkan tahun 1998 peran tersebut dilakukan oleh elemen gerakan seperti KAMMI, PII, Forkot, Jarkot, BEM dan lain-lain. Untuk suksesnya sebuah revolusi diperlukan beberapa faktor, seperti gerakan kaum muda, kelas menengah, peran militer (banyak atau sedikit), pemimpin informal dan pemimpin spiritual. Kasus jatuhnya Marcos di Filipina misalnya, peran militer yang diwakili oleh Jenderal Fidel Ramos, peran kelas menengah, semangat Aquino sebagai Martir yang dibunuh oleh rejim Marcos dan peran Gereja Jesuit oleh Kardinal Sinh sangat kuat. 


Terlepas dari teori revolusi itu, maka tulisan ini mencoba mengkaji hubungan antara perubahan sistem dan peran kaum muda terhadap strategi politik dan ekonomi bangsa Indonesia, dengan melihat dua fenomena yaitu jatuhnya Orde Lama dan jatuhnya Orde Baru. Negara Birokratik Otoriter Demi stabilitas politik dan ekonomi Indonesia pasca Orde Lama, Orde Baru dengan segala kekuatannya melakukan penguasaan terhadap semua sektor, dari ekonomi, politik, lebih utama lagi keamanan. Dengan demikian terjadi superioritas negara terhadap rakyat. Beragam keinginan politik diredam dan paradigma pembangunan lebih berorientasi pada ekonomi. 

Kondisi ini mirip dengan analisis O’Donnel. Menurut O’Donnel krisis ekonomi akan menjalar menjadi krisis politik. Meningginya suhu politik ini akan menjadi ancaman bagi pemerintah dan negara. Semakin tinggi ancaman ini maka akan menjadi semakin jelasnya polarisasi konflik antar kelas sosial. Sehingga akan menimbulkan semakin dalamnya rasa kebersamaan yang dimiliki oleh negara dan kelas sosial yang dominan. Kondisi krisis ekonomi dan politik inilah yang akan menimbulkan Negara Birokratik Otoriter (NBO). Model Mochtar Mas’oed Timbulnya NBO di Indonesia pada tahun 1966 – 1971 tidak terlepas dari ketakutan negara terhadap timbulnya embrio masyarakat sipil. Beberapa fakta seperti rehabilitasi Masyumi, Pendirian PDII oleh Bung Hatta, dan beragam keinginan masyarakat akan membawa dampak terhadap penjatuhan kredibilitas pemerintahan orde baru di mata rakyat. Sehingga Mocthar Mas’oed melihat bahwa timbulnya NBO dipengaruhi oleh beberapa faktor ; 

Pertama, disebabkan oleh warisan krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an. Struktur politik yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya memiliki kecenderungan untuk memberikan kekuasaan yang berlebihan pada pemerintah. Lebih dari itu, pada masa tersebut Orde Baru hendak berusaha secara cepat memperoleh legitimasi politiknya, karena menurutnya, Soekarno masih memiliki pengaruh yang tidak kecil dan pendukung yang tidak sedikit. Ini di desak lagi oleh kenyataan adanya ekonomi negara yang sudah hampir runtuh. 
Kedua, Mas’oed menyebutkan bahwa koalisi intern Orde Baru yang memaksa untuk segera melakukan restrukturisasi ekonomi secara radikal juga menyebabkan lahirnya NBO (Negara Birokratik-Otoriter) di Indonesia. Orde Baru memilih segera melakukan kebijakasanaan stabilisasi ekonomi yang memberikan peluang yang besar kepada modal domestik dan modal international untuk terlibat, sekalipun kebijaksanaa ini dibayar dengan harga mahal, dengan adanya keterpaksaan untuk meninggalkan sebagian pendukung lainnya. 
Ketiga, orientasi ekonomi ke luar yang dirumuskan oleh Orde Baru pada akhir tahun 1960-an dan berlanjut pada tahun 1970-an, disebut oleh Mas’oed juga sebagai faktor yang mendesak pemerintah untuk memilih bentuk NBO. 

Dengan adanya ketiga faktor tersebut, Mas’oed menyimpulkan bahwa mengharapkan adanya bangunan politik demokratis pada awal Orde Baru merupakan harapan yang tidak realistis, kalau bukan khayalan. Ketiga faktor ini sepenuhnya disadari oleh Mas’oed telah menyebabkan lahirnya sistem politik di Indonesia yang berbeda dengan faktor yang diajukan oleh O’Donnell. Ketika itu pendalaman industrialisasi, kebijakan integrasi vertikal, belum terjadi di Indonesia, bahkan situasi ekonomi Indonesia masih dalam tahap awal pemulihan kehancuran. Dengan kalimat yang lebih jelas (kasus Indonesia), Mas’oed melihat faktor krisis politik lebih bertanggung jawab terhadap pemerintahan yang otoriter dari Orde Baru dibanding variabel ekonomi. Kesadaran Ekonomi 

Pada dasarnya ekonomi sosial dicirikan tiga hal, dua pertama ciri ideal dan yang ketiga ciri struktural. Tiga ciri tersebut adalah demokrasi ekonomi, solidaritas dan sosialisasi ekonomi. Demokrasi ekonomi adalah upaya untuk menghapuskan hak-hak istimewa dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan ekonomi. Ini berarti entitas yang terlibat dalam relasi ekonomi berhak secara materiil untuk memnentukan nasibnya sendiri berkaitan dengan posisinya dalam relasi ekonomi. Secara tidak langsung ini mengandaikan kesejajaran dan perimbangan dalam kekuatan ekonomi secara objektif, karena tanpanya entitas-entitas yang kuat dapat memaksakan kehendaknya dan ini berakibat dalam pembatasan secara tidak sejajar dan berimbang pada entitas yang lain. Solidaritas dipahami dalam dua makna. 
Pertama, solidaritas adalah perasaan senasib dari entitas-entitas yang lemah dalam relasi-relasi ekonomi, yang dengannya mereka mengubah keunggulan dalam jumlah dan sifat yang tidak mementingkan dirinya sendiri. Solidaritas ini menjadi dasar pengelompokan bagi perjuangan hak yang bersifat ke dalam atau berorientasi pada diri sendiri. 
Kedua, solidaritas mesti bersifat ke luar dalam upaya mengubah secara mendasar mesyarakat sebagai keseluruhan dan memberikan padanya tata aturan yang memungkinkan solidaritas terobjektivikasi dalam sistem politik-ekonomi. 




Sosialisasi ekonomi dalam definisinya yang paling ortodoks berarti transformasi kepemilikan pribadi alat-alat produksi ke dalam bentuk-bentuk kepemilikan sosial. Koperasi merupakan salah satu bentuk yang patut dipertimbangkan secara lebih serius. Demokrasi Politik-Ekonomi Ala Orba Dasar dari demokrasi ekonomi ini yang menjadi otokritik dari kebijakan politik-ekonomi orde baru. Gagasan ini dibalut dalam sebuah kerangka besar integrasi ekonomi dunia ketiga dalam tatanan ekonomi internasional. Maka yang terjadi adalah masuknyta dominasi politik-ekonomi negara maju ke dalam negara dunia ketiga. Salah satu gagasan ini bersuber pada teori Harrord-Domar yang mengatakan bahwa kunci pertumbuhan terletak pada investasi. Dengan demikian ekspektasi terhadap kenaikan pendapatan masyarakat dan kapasitas produktif selalu terkait dengan besarnya laju kenaikan investasi. Kombinasi Harrord-Domar dengan model Rostowian merupakan kebijakan politik-ekonomi orde baru, dengan menitikberatkan pada Trickle Down Effect (TDE). Untuk mendongkrak investasi, maka pemerintah melakukan utang luar negeri dari IMF atau pun Bank Dunia. Kepatuhan itu diaplikasikan oleh pemerintah Indonesia untuk menerapkan tiga langkah pembangunan, Pertama, menjadwalkan kembali pelunasan utang luar negeri sebagai langkah awal mengembalikan kepercayaan pihak luar negeri. Kedua, mengendalikan inflasi yang terkontrol melalui program impor besar-besaran yang dibiayai oleh pinjaman hasil renegoisasi tadi. Ketiga, mengundang investasi sebesar-besarnya terutama investasi asing untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Pada tahap ini negara melakukan kontrol sangat kuat di masyarakat yang mewujud dalam hubungan negara-masyarakat. Kemampuan negara dalam memobilisir potensi ekonomi dan militer sangat besar. Kekuasaan negara dilaksanakan melalui patronase dan penindasan. Modal asing - dari utang plus konglomerat – dibagi-bagi di antara birokrat dan militer. Modal itu juga digunakan untuk membeli kesetiaan para pembangkang potensial seperti kelompok muslim. Pemerintah melakukan politik belah bamboo pada kelompok muslim, kelompok yang satu diberikan fasilitas seperti pembangunan masjid dan pesantren, sedangkan kelompok lainnya ditekan dan seringkali menggunakan kekerasan. Orde baru telah menetapkan sebuah sistem korparatis yang disambungkan dengan wahana pemilunya, Golkar. Kelompok-kelompok kepentingan korparatis disatukan di bawah jaringan Golkar, seperti organisasi pegawai negeri sipil dengan Korpri, serikat buruh dengan SPSI, komunitas bisnis dengan KADIN, wartawan dengan PWI, wanita dengan KOWANI dan pemuda dengan KNPI. Kebijakan lainnya untuk mengontrol kemampuan oposisi adalah kombinasi ideologi dengan politik. 1974, pemerintah orba memaksakan Undang-undang perkawinan. 1978 pemerintah memaksakan pelaksanaan program doktrin ideologi negara yang dikenal dengan Pedoman Pelaksanaan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan dimasukkannya aliran kepercayaan untuk diakui sebagai salah satu agama di Indonesia. 1985 pemerintah membuat UU politik yang diklaimnya sebagai upaya meminimalisir potensi aliran. Konsep yang terkenal adalah UU tentang asas tunggal. Di bidang pendidikan sendiri pemerintah orde baru mencoba membungkam potensi oposisi dari kalangan mahasiswa. Konsep itu dimulai dengan dideklarasikannya KNPI sebagai wahana pemersatu pemuda. 1974, ketika mahasiswa melakukan protes terhadap proses perdagangan Indonesia dengan Jepang, pemerintah melakukan rekayasa sehingga meletus peristiwa 15 Januari yang dikenal dengan peristiwa Malari. 1978, ketika mahasiswa memprotes terpilihnya kembali Jenderal Soeharto sebagai presiden, maka gerakan mahasiswa dibungkam oleh pemerintah. Pembungkaman itu berlanjut dengan kebijakan SKS dalam sistem pendidikan nasional. Organisasi intelejen Indonesia pun memiliki ambisi menguasai, tetapi kompleksitas masyarakat Indonesia dan kelemahan internal negara membuat banyak praktik totaliter tidak efektif. Nyaris tidak mungkin mengontrol masyarakat yang amat besar dan beragam seperti Indonesia dengan jumlah penduduk 200 juta yang terdiri dari sekitar 300 etnis di berbagai pulau. Inefisiensi Indonesia, seperti halnya negara-negara dunia ketiga mendapat dukungan penuh dari lembaga donor berupa dana-dana pinjaman. 

Telah dikemukakan di atas bahwa pemerintah melakukan kebijakan TDE sesuai dengan ‘keinginan’ IMF dan upaya mendapatkan investasi. Namun Rachbini (2001) melihat bahwa liberalisasi pasar secara berlebihan dan arogansi kebijakan yang dipuji menghasilkan pertumbuhan rata-rata 7-8% ternyata tidak lebih dari tumpukan utang luar negeri pemerintah, utang luar negeri swasta, utang domestik swasta serta sampah-sampah sisa eksploitasi sumber daya alam yang boros. Kebijakan ekonomi dengan memuj liberalisasi pasar untuk menemukan efesiensi dan harga yang tepat, tetapi basis institusinya tidak betul. Setelah kendali institusi atas pasar melewati ambang batasnya, maka krisis muncul seketika dan meluluhlantakkan bangunan ekonomi yang telah disusun dengan basis institusi yang lemah tadi. Satu analisis lagi, bahwa instrumen teori dalam ilmu sosial politik hanya menitikberatkan pada analisa kekuasaan, tetapi tidak mampu menjelaskan persoalan krisis dengan muatan pengaruh sistem internasional yang begitu besar. Teori dasar kekuasaan dalam ilmu politik tidak cukup kuat memberikan penjelasan terhadap runtuhnya kekuasaan orba yang kuat secara politik dan sosial ekonomi. Karena itu, teori tentang ekonomi-politik adalah alternatif yang dapat diajukan sebagai basis untukmemberikan penjelasan pada krisis multi dimensi, yang ditandai oleh kelemahan dan kerusakan fungsi-fungsi kelembagaan di berbagai bidang kehidupan. Inti persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia sebelum krisis adalah kelemahan fungsi institusi dan bahkan kesalahan implementasi dari kelembagaan yang ada. Sedangkan pada masa setelah krisis perssoalan mendasar yang juga dihadapi tidak lain adalah kerusakan dan berhentinya fungsi-fungsi kelembagaan di berbagai bidang kehidupan masyarakat.. Zaman Orba dan Gus Dur Persoalan paling mendasar dalam era orba adalah campur aduknya institusi negara dan swasta, yang slaing mengotori satu sama lain. Jabatan publik, perusahaan dan yayasan dicampur aduk satu sama lin sehingga pemegang keuasaan dan orang-orang – yangmenjadi pemburu rente ekonomi di sekitarnya – menjadi pemenang dan mengambil kesempatan dan potensi keuntungan ekonomi dan sosial secara tidak adil. Akses publik yang lebih luas terhadap sumber-sumber ekonomi menjadi tertutup sehingga proses pemerataan pendapatan dikorbankan. Kesenjangan antar golongan menjadi hal yang biasa, yang mencerminkan parahnya keadilan publik. Perasaan kolektif seperti ini potensial memicu masalah baru. Institusi kepresidenan merupakan faktor pokok dan mendasar, yang paling rusak dan mempengaruhi seluruh segmen institusi negara di bawahnya, termasuk di daerah-daerah. Institusi kepresidenan adalah the ruler yang mengatur segalanya. Fungsi check and balance tidak bekerja, sehingga parlemen hanya menjadi stempel permen karet. Sistem digerakkan dari institusi ini, yang dipengaruhi secara kuat oleh karakter individu. Dengan demikian institusi yang obyektif berdasarkan aspirasi kolektif tidak berkembang, yang sekaligus menjadi penyebab macetnya demokratisasi ekonomi-politik. Fenomena korupsi dan kolusi terjadi dimana-mana, dan ini menyebabkan kerusakan institusi negara makin menguat. Pada zaman Gus Dur perbaikan sistematis tidak terjadi. Bahkan kesalahan-kesalahan baru terjadi kembali, yang menambah lebih parahnya keadaan yang sudah begitu buruk. Beberapa kasus yang merusak institusi diciptakan dengan sengaja, sehingga basis institusi pada masa ini tidak jelas. Lemahnya kinerja kepresidenan ‘plus’ pembantu-pembantunya, KKN model baru sampai kepada anarkisme sosial politik yang menjalar ke seluruh pulau di nusantara ini, adalah indikator “keberhasilan” pemerintahan Gus Dur. Solidaritas Komunitas kaum muda melihat, bahwa sejak dari pemerintahan orde lama, orde baru, Gus Dur sampai hari ini Megawati kebijakan politik-ekonomi belum menyentuh kepada persoalan yang mendasar. Ketika akhir 1965, kaum muda yang telah sukses mengganyang habis komunisme, kehabisan energi untuk mengisi dan mengkonstruksi pembangunan. Sehingga ide-ide pembangunan lebih condong membela kepentingan kelas elit. Perjuangan kaum muda (baik kelompok mahasiswa atau pun kelompok muslim) mempunyai kesamaan moment gerakan dengan agenda yang berbeda. Tahun-tahun 1974, 1978, 1985 dan 1998 adalah moment-moment kelompok mahasiswa dan kelompok muslim untuk bersinergis dalam menghancurkan pemerintahan orde baru. Faktanya, gerakan kaum muda pada masa-masa itu hanyalah menjadi sejarah masa lalu bangsa (kecuali suksesnya kaum muda mendongkel Suharto pada tahun 1998, yang tidak diimbangi oleh konsep kaum muda untuk mengisi negara ini. Hasilnya, negara ini kembali menjadi NBO yang berbasiskan ‘demokrasi’ pada masa Gus Dur dan Megawati. Otoritarian yang dimaksud, bukanlah oleh elemen kenegaraan dan militer secara terpusat (karena TNI sudah mencoba profesional dan kembali ke barak). Namun, otoritarian yang dimaksud terjadi di daerah-daerah dengan memanfaatkan potensi SARA yang menjadi api dalam sekam pada masa pemerintahan orba. Birokrat-birokrat orba yang ‘selamat’ pada masa-masa awal reformasi muncul kembali di daerah-daerah untuk menjadi pimpinan dan tokoh berpengaruh, sembari mengumpulkan kekuatan untuk merebut Jakarta kembali. 

PENUTUP
Demokratisasi di Indonesia masih menjadi proses sejarah yang tidak berujung. Kaki-kaki kecil melangkah, menuju gelegah rahmah demi membentuk masyarakat Indonesia baru. Kaum muda adalah pewaris negeri ini, namun kaum muda hanyalah menjadi martir dalam sejarah demokrasi di negeri ini. Negara Indonesia pada awal orba telah menjadi Negara Birokratik dan Otoriter. Proses reformasi menghancurkan NBO tersebut, dan sekarang gelombang kerusuhan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat makin melebar, seiring dengan aspirasi warga setempat. Demi menjaga kestabilan negara, mau tidak mau pemerintah kembali menggunakan NBO dengan baju yang lain. Kekuatan otoritarian bukan lagi milik milter, namun telah menjadi milik partai yang mempunyai massa yang kuat. Reformasi telah kebablasan. Para birokrat yang dulu pernah mengaduk-aduk negeri ini, tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas kebijakan-kebijakan yang dibuat pada masa lalu. Sehingga, mereka dapat kembali bermain di panggung kekuasaan dari pinggir lapangan menuju ke pusat lapangan. (Seperti halnya gerakan Mao, yaitu Desa Mengepung Kota. Dari daerah-daerah menuju pusat kekuasaan). Kebijakan ekonomi politik, masih seperti model orba dengan pendekatan yang berbeda. Seharusnya kebijakan ekonomi politik lebih memprioritaskan pada kebijakan ekonomi yang populis, yang lebih memprioritaskan pemerataan dari pada pertumbuhan, atau kombinasi pemerataan dan pertumbuhan. Jika proses kesadaran bangsa dan kaum muda tidak dimanfaatkan, dan bahkan hanya menjadi alat eksploitasi kekuasaan, maka sudah jelas reformasi Indonesia sudah gagal. Seperti yang Alloh SWT katakan dalam QS. Ar-Ra’d ayat 13. “Alloh tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak merubahnya sendiri”.

Senin, 02 Maret 2009

5 Indikator untuk mengukur ketimpangan

Dilihat dari tingkat kemiskinan yang masih tinggi (sekitar 16% - 17%), dapat dikatakan masyarakat Indonesia di daerah perkotaan dan pedesaan memiliki persoalan dalam berbagai bentuk kekurangan, kesulitan dan ketimpangan, baik dalam ukuran-ukuran infrastruktur, struktural maupun kultural. Untuk itu perlu dicermati adanya 5 (lima) indikator dalam mengukur tingkat kekurangan, kesulitan dan ketimpangan yang terjadi. Indikator tersebut adalah :


1) The Social Minimum, yang menunjuk pada batas terpenuhinya setiap keperluan dan kebutuhan mendasar yang memungkinkannya untuk survival dan terhindar dari rasa terasing. 

2) Equality of opportunity, yang menjelaskan bahwa setelah The Social Minimum terpenuhi, setiap masyarakat berhak mendapatkan kesejajaran kesempatan untuk nutrisi, udara, air, perlindungan, perubahan cuaca / keadaan cuaca, bencana, wabah penyakit. Pada kondisi secara material, sebagai warga negara berhak mendapatkan 6 (enam) hal yaitu : - Pendapatan dan kessejahteraan yang layak (Economic Pesources); - Kondisi hunian/rumah yang sehat dan bersih; - Tempat bekerja yang nyaman dan mempunyai akses dan daya jangkau bagi usaha produksi dan distribusi; - Kesehatan yang baik, ketahanan terhadap penyakit, tersedia bantuan medis dengan akses yang mudah dalam pencapaian; - Pendidikan sebagai modal dasar bagi pemberdayaan manusia dan pencapaian pendidikan formal; - Kesetaraan dan keseimbangan dalam memperoleh kesempatan dan peluang (Equality of Oppurtunity) sebagai kunci terwujudnya keadilan sosial. 


3) Fair Distribution, dimana semua warga masyarakat berhak mendapatkan akses distribusi sumberdaya dan kekayaan publik yang adil. Pada kenyataannya mekanisme distribusi belum terbangun dengan baik sehingga tidak mencapai kelompok setara yang semestinya. 

4) Social Trust, yang merupakan harapan yang muncul dari sebuah komunitas yang berperilaku jujur, normal, kooperatif, aktif dan responsif, partisipatif dan antisipatif serta interaktif sinergis. Kepentingan manusia wajib dipahami dan diperhatikan dalam penyelenggaraan pembangunan melalui program ini. Tingkat kepercayaan yang tinggi akan menempatkan manusia sesuai dengan martabat, derajat dan harkatnya yang pada giliran berikutnya akan menjadi sumber kekuatan dan ketahanan bagi pembangunan diwilayahnya serta keberlanjutan pembangunan itu sendiri. 

5) Equal Citizenship, yang menunjuk pada kesetaraan antar warga baik dalam arti kesempatan maupun dalam pengembangan kapasitas daya-daya insani, intelektual, keahlian dan sebagainya serta hak-hak yang mengikutinya sebagai warga negara. Catatan: Adanya 5 (lima) wilayah persoalan ini menunjukkan atau memperlihatkan lemahnya peran negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak publik, juga menunjukkan kualitas yang besar dalam menyejahterakan masyarakat.

MENGENAL CRITICAL RAW MATERIAL (CRM) – 10: MINERAL PEMBAWA LTJ (RARE EARTH)

Denny Noviansyah Logam Tanah Jarang (LTJ) atau Rare Earth Element (REE) adalah 17 unsur dalam kelompok lantanida yang terdapat dalam tabel u...