A. Kebijakan Moneter Nasional
Reformasi sektor keuangan ditujukan untuk mengatasi masalah akses permodalan dan pembiayaan yang diperlukan sebagai modal kerja dan pertumbuhan industri. Usaha bisnis skala besar memiliki akses ke pasar internasional, namun UMKM selalu menghadapi masalah tingginya suku bunga dan agunan yang kurang. BI mencoba mengatasi masalah ini dengan berusaha menurunkan inflasi akibat kenaikan harga BBM (Bahan Bakar minyak) pada bulan Oktober 2005 hingga di bawah 10 persen, yang tercapai pada tahun 2006 sedangkan pada bulan Juni 2007 laju inflasi mencapai 5,8 persen. Ini memungkinan BI menurunkan suku bunga hingga di bawah 10 persen, yang diharapkan dapat menggairahkan investasi di sektor riil. Tabel 2.1. menyajikan laju inflasi pertriwulan dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007.
Tabel 1.
Laju Inflasi Pertriwulan (2002 s.d 2007)
Periode/Tahun | 2002 |
2003
|
2004
|
2005
|
2006
| 2007 |
Maret | 14.08 | 7.1 | 5.1 | 8.8 | 6.5 | 6.5 |
Juni | 11.48 | 6.6 | 6.8 | 7.8 | 5.8 | 5.8 |
September | 10.01 | 6.2 | 6.3 | 9.1 | 7 | - |
Desember | 10 | 6.5 | 6.4 | 17.1 | 6.6 | - |
Sumber: BPS
Pemerintah juga berusaha mengatasi kelemahan sektor keuangan dengan mendiversifikasi sumber-sumber pendanaan bagi sektor riil, baik dari lembaga keuangan maupun pasar modal. Sementara itu langkah-langkah untuk memperkuat stabilitas sektor keuangan dengan mengembalikan kepercayaan pasar dan publik dan menurunkan risiko terjadinya kembali krisis ekonomi tengah juga giat dilakukan. Persaingan antar bank, lembaga keuangan lain, dan pasar modal untuk memperbaiki efisiensi sektor keuangan secara menyeluruh juga terus dipromosikan. Paket reformasi kebijakan sektor keuangan diluncurkan untuk mendukung proses ini, yang ditujukan terutama pada reformasi regulasi dan kelembagaan. Tabel 2.2 menyajikan secara rinci jenis kebijakan, jumlah rencana tindakan maupun pencapaiannya. Sampai Desember 2006, 34 dari 40 rencana tindakan telah dilaksanakan. Dengan kata lain 80 persen rencana tindakan telah dinyatakan selesai.
Tabel 2
Evaluasi Paket Reformasi Sektor Keuangan sampai Desember 2006
Bidang Kebijakan | Jumlah Tindakan | |
Rencana | Selesai | |
Stabilitas Sistem Keuangan | 3 | 2 |
Lembaga Perbankan | 13 | 11 |
Lembaga Keuangan Bukan Bank | 10 | 9 |
Pasar Modal | 12 | 11 |
Privatisasi dan Pembiayaan Ekspor | 2 | 1 |
Total | 40 | 34 |
Sumber: Kantor Menko Bidang Perekonomian (2006)
B. Kebijakan Perdagangan
Kebijakan perdagangan yang dicanangkan oleh pemerintah mencakup: (a) kebijakan bea masuk (tariff policy), (b) penghapusan kuota, (c) pembebasan bea masuk atau konsesi, (d) kebijakan non-tariff lainnya.
Indonesia telah melakukan perubahan penting dalam hal bea masuk, perubahan tersebut ditunjukkan sebagai berikut: pertama, Kepmenkeu No. 378/KMK.01/1996 mengubah bea masuk MFN (Most Favoured Nation) selama periode 1996 – 2003 untuk memenuhi komitmen Putaran Uruguay (Uruguay Round). Kedua, dilakukan program harmonisasi ASEAN (Association of South East Asian Nation) tariff bagi negara anggota ASEAN selama periode 2005 – 2010, termasuk pengurangan AFTA (ASEAN Free Trade Arrangement) preferential rates, yang sejalan dengan pandangan yang mendukung integrasi kawasan Asia Tenggara. Ketiga, berdasarkan Kepmenkeu No. 542/KMK. 01/1997, beberapa komoditi (terutama pertanian, kimia, plastik, logam, minuman beralkohol, dan kendaraan bermotor) dikecualikan dari jadwal umum pengurangan bea masuk. Kebijakan ini mengubah struktur bea masuk Indonesia secara signifikan. Pada tahun 1995, rata-rata tingkat bea masuk sebesar 15,6 persen, yang bervariasi dari 0 hingga 10 persen serta mencakup 3.832 tariff lines (hanya sedikit di atas separuh dari total 7,386 tariff lines).
Pada akhir program pengurangan bea masuk (2003), rata-rata bea masuk turun menjadi 7,2 persen, dengan variasi antara 0 – 10 persen dan mencakup 83,4 persen tariff lines. Setelah program ini, Indonesia memperkenalkan Tariff Harmonization Programme untuk periode 2005 – 2010. Akibatnya, rata-rata bea masuk mencapai 9,5 persen pada tahun 2006, dengan variasi antara 0 – 10 persen serta mencakup 8.365 tariff lines (atau 74,9 persen dari total).
Selain tidak menggunakan kuota (tariff quotas), untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing industri nasional, Indonesia memberikan: pertama; pembebasan atau konsesi bea masuk. Impor bahan baku, komponen, atau mesin yang digunakan untuk sektor industri tertentu dapat dibebaskan dari bea impor. Industri tertentu dalam hal ini termasuk perbaikan pesawat terbang, transportasi umum, energi, dan telekomunikasi. Kedua, memperkenalkan sistem Duty Drawback untuk bahan baku impor yang diekspor kembali dengan Kepmenkeu No. 580/KMK. 04/2003.
Untuk meningkatkan keunggulan komparatif dan lebih responsif terhadap pergerakan harga internasional dalam jangka panjang, Indonesia juga: pertama, menghilangkan hambatan non-tariff, terutama penggunaan lisensi impor yang saat ini dibatasi untuk barang berbahaya, eksplosif, penghancur lapisan ozon, minuman beralkohol, garam, propylene copolymers, oli, cengkeh, tekstil dan produk tekstil, nitrocellulose, mesin dan perlatannya, optical discs, permata kasar. Kedua, tetap mengatur impor gula dan beras, verifikasi dan persyaratan lain untuk ekspor tembaga dan granit, melarang ekspor kayu gelondongan dan pasir. Regulasi impor beras dimaksudkan untuk membantu petani miskin menghadapi distorsi harga dunia akibat subsidi yang dilakukan oleh negara pengekspor beras; namun secara periodik mengendorkan impor pada saat musim non-panen untuk menstabilkan harga. Pelarangan kayu gelondongan digunakan untuk mendukung kebijakan konservasi alam dan program manajemen kehutanan secara umum.
C. Kondisi Iklim Investasi
Kebijakan untuk memperbaiki iklim investasi merupakan langkah penting yang telah dimulai sejak tahun 2005. Untuk memperbaiki iklim investasi, pemerintah telah meluncurkan Paket Perbaikan Iklim Investasi dengan Inpres No. 3 tahun 2006 pada bulan Februari 2006, yang mencakup: (a) kebijakan investasi secara umum; (b) bea cukai; (c) perpajakan; (d) pasar tenaga kerja; (e) usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Hasil pemantauan pelaksanaan Inpres No. 3/2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi untuk periode implementasi sampai dengan bulan Desember 2006 telah dilaporkan. Dalam delapan bulan pertama (Maret s.d. Desember 2006) pelaksanaan Inpres No. 3/2006, dari 85 tindakan/keluaran yang harus diselesaikan, hanya 35 tindakan dinyatakan selesai, 15 masih belum dapat diselesaikan sesuai sararan waktu (pending), dan 35 berlanjut (lihat Tabel 2.3). Dengan kata lain, dihitung dari total 50 tindakan yang sesuai jadwal, 35 tindakan yang terselesaikan sekitar 71 persen. Meskipun 15 tindakan/keluaran belum dapat diselesaikan secara tepat waktu, sejumlah tindakan di antaranya telah mencapai kemajuan yang berarti namun sejumlah tindakan lainnya memerlukan perhatian yang lebih dalam penyelesaiannya.
Tabel 3
Pemantauan Implementasi Inpres No. 3/2006 per 31 Desember 2006
| Jumlah Tindakan | Selesai | Ditunda | Berlanjut |
Umum | 19 | 14 | 1 | 4 |
Bea Cukai | 17 | 7 | 2 | 8 |
Perpajakan | 20 | 4 | 2 | 14 |
Ketenagakerjaan | 19 | 6 | 4 | 9 |
UMKM | 10 | 4 | 6 | 0 |
Total | 85 | 35 | 15 | 35 |
Sumber: Boediono (2006) dan di-update berdasarkan laporan Tim Internal
Upaya untuk memperbaiki iklim investasi agar semakin kondusif terus dilakukan secara berkesinambungan, di antaranya: (1) masih diperlukannya peningkatan insentif pajak yang mendorong investasi; (2) masih perlu ditingkatkannya pemanfaatan akses dana perbankan; (3) masih diperlukannya perbaikan prosedur perijinan dan tata cara pelayanan investasi; (4) masih perlu ditingkatkannya kepastian hukum, termasuk di antaranya peraturan-peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; (5) faktor keamanan masih perlu ditingkatkan sehingga lebih kondusif untuk kegiatan investasi; (6) masih perlunya peningkatan daya dukung infrastruktur dan perbaikan sejumlah infrastruktur yang rusak; (7) iklim ketenagakerjaan yang masih harus diperbaiki; (8) masih diperlukannya harmonisasi antara peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2.1.
Permasalahan Industri
a. Permasalahan Umum yang dihadapi oleh Industri Tahun 2008
1. Kesenjangan Struktural
a. Lemahnya prasarana dan sarana pendukung
b. Keterbatasan produksi barang setengah jadi dan komponen
c. Keterbatasan industri berteknologi tinggi
d. Kesenjangan pembangunan daerah
e. Keterbatasan penguasaan pasar domestik
f. Ketergantungan ekspor hanya pada beberapa komoditi dan beberapa negara tujuan
2. Belum Kuatnya Peran Industri Kecil dan Menengah
3. Masih lemahnya penguasaan teknologi.
4. Ekonomi biaya tinggi
5. Penurunan kinerja di beberapa cabang industri
6. Masih belum optimalnya kapasitas produksi
7. Tingginya penyelundupan
b. Kondisi Industri Indonesia Pasca Krisis Ekonomi Global
1. Produk Ekspor
a. Hampir semua buyer AS hold atau default.
b. Buyer Eropa dan Jepang tidak mau membuka kontrak baru.
c. Penurunan perdagangan pada CPO, Kakao, Alas Kaki, TPT, Udang, Kayu Olahan dan furniture, Kopi serta Karet (bahkan beberapa komoditi belum dapat order untuk produksi tahun 2009).
d. Naiknya biaya bunga dan premi asuransi.
e. Naiknya biaya transport, kargo dan kapal.
2. Terganggunya Pasar Dalam Negeri
a. Indonesia menjadi sasaran ekspor negara lain yang gagal ke USA dan Uni Eropa.
b. Masih besarnya impor ilegal.
c. Menurunnya daya beli masyarakat (menurunnya penghasilan petani komoditi pertanian, meningkatnya karyawan yang dirumahkan/PHK, melemahnya rupiah, dsb)
3. Terganggunya Operasi Perusahaan, Rencana Perluasan dan Investasi
a. Cash flow perusahaan terganggu.
b. Industri menunda rencana ekspansi atau investasi baru.
c. Tertundanya peningkatan daya saing.