Custom Search

Sabtu, 22 November 2008

mitos2 pembangunan

MASYARAKAT, KHUSUSNYA MASYARAKAT LAPISAN BAWAH TIDAK TAHU APA YANG DIINGINKAN DAN KEMISKINAN LAHIR AKIBAT KEBODOHAN DAN KEMALASAN ANGGOTA-ANGGOTA MASYARAKAT



Mitos ini sangat erat berkaitan dengan mitos mengenai superioritas pendekatan pembangunan dari atas. Mitos ini yang menjustifikasi bahwa pendekatan dari atas merupakan pendekatan terbaik. Mitos ini dibangun di atas suatu asumsi bahwa masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah yang lemah secara ekonomi dan rendah pendidikannya, hanya memiliki horizon perencanaan ekonomi yang sangat terbatas. Akibatnya, kelompok masyarakat ini tidak akan tahu apa yang diinginkannya bila tidak ditunjukkan oleh agen-agen pembangunan. Mitos ini melahirkan tiga mitos lain, yaitu : (i) bahwa agen pembangunan adalah kelompok dalam masyarakat yang paling tahu akan kebutuhan dan keinginan masyarakat; dan (ii) agen pembangunan adalah kelompok masyarakat yang seharusnya merencanakan perubahan yang dibutuhkan oleh masyarakat; dan dengan demikian (iii) pendekatan dari atas merupakan pendekatan pembangunan yang paling efektif untuk memberdayakan masyarakat. Tiga mitos turunan ini menitikberatkan pembangunan pada “kebutuhan” agen pembangunan dari pada kebutuhan local.[1]

Padahal, sebagai sebuah konsep pembangunan – pemberdayaan masyarakat harus diaplikasikan dalam bentuk strategi pembangunan. Strategi pembangunan ini sendiri harus ditujukan pada masalah struktural dalam perekonomian dan juga dalam tatanan sosial yang memisahkan lapisan masyarakat maju dan modern serta masyarakat tradisional yang tertinggal. Strategi pertama adalah memberi peluang agar sektor dan masyarakat modern dapat tetap maju, karena kemajuannya dibutuhkan oleh bangsa secara keseluruhan. Strategi kedua adalah memberdayakan sektor ekonomi dan lapisan masyarakat yang masih tertinggal dan hidup di luar kehidupan modern. Kedua strategi tersebut ditata agar menghasilkan suatu struktur ekonomi dan masyarakat yang sinergis menuju ke arah pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, merata dan tumbuh di atas landasan yang kukuh.[2] Paradigma pembangunan yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat memakai pola bottom up.

Implementasi dari mitos di atas dapat dilihat dari peran pemerintah pada fase awal Orde Baru dengan upaya merealisasikan stabilitasi ekonomi, Untuk itu tim ekonomi yang telah ditunjuk melakukan beberapa langkah.[3] Langkah-langkah tersebut adalah ; Pertama Restrukturisasi Aparat Pemerintahan. Sebelum dapat memulai usaha restrukturisasi ekonomi, pemerintah harus mengambil langkah-langkah menata rumahnya sendiri dengan mengadakan restrukturisasi diri sendiri. Efisiensi Departemen, pemulihan fungsi Bank Sentral – dengan bekerja sama dengan Departemen Keuangan – sebagai sebuah strategi menata perekonomian.

Kedua Serangan terhadap inflasi dengan satu tekad. Pemerintah memberi prioritas penuh untuk melakukan stabilisasi. Semua masalah lain ditempatkan diprioritas kedua. Ini lebih sulit daripada kedengarannya. Ada banyak tuntutan terhadap pemerintah dari banyak ‘pemilih’, dan untuk menanggapinya sebaik mungkin pemerintah sengaja membatasi perhatiannya terhadap inflasi unsich.

Ketiga Kejutan yang nyaris tak terasakan. Konsentrasi terhadap perang melawan inflasi membutuhkan waktu yang sangat banyak. Pemerintah lebih memilih pelaksanaan perubahan arah perekonomian yang diperlembut kebijakan-kebijakan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi semaksimal mungkin dari pada perubahan perekonomian secara bertahap.

Keempat Menaruh kepercayan kepada kebijaksanaan pasar. Pemerintah sebelumnya telah bergerak berangsur-angsur menuju sosialisasi perekonomian. Kecenderungan ini telah menghapus kekuatan sektor swasta. Pemerintah yang baru bergerak secara yakin menuju pemulihan kondisi yang mendukng pertumbuhan sektor swasta.

Kelima Bertumbuh melalui krisis. Umumnya stabilisasi merupakan proses yang menyakitkan. Dalam proses ini pemerintah berusaha menghentikan inflasi melalui kebijakan-kebijakan penghematan di bidang perekonomian.

Konsekuensi dari mitos – mitos ini dalam proses pengembangan dan pemberdayaan masyarakat adalah tidak perlu dilibatkannya masyarakat dalam perencanaan pengembangan masyarakat; cukup, bila masyarakat melakukan proses pengembangan yang telah direncanakan oleh para agen pembangunan. Peran pemerintah dan agen pembangunan menjadi subjek pembangunan, sedangkan rakyat atau masyarakat hanya menjadi objek dari pembangunan. Bila hal ini yang menjadi dasar, maka dapat dipastikan bahwa upaya-upaya pemberdayaan masyarakat hanya menjadi ilusi.

Mitos VII

Mitos ini sangat erat kaitannya dengan mitos VI di atas. Mitos ini menidakan suatu kenyataan bahwa kemiskinan terutama disebabkan dua faktor besar, yaitu faktor alamiah yang bergantung pada kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat dan faktor struktural yang lahir akibat kebijaksanaan pembangunan – baik makro maupun mikro – yang secara sadar atau tidak sadar bias terhadap suatu wilayah atau kepentingan suatu golongan. Gunnar Myrdal memberikan gambaran bahwa kemiskinan dibagi dalam dua tingkatan, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan biasa.[4] Seperti terlihat dalam tabel di bawah ini :[5]

KEMISKINAN BIASA

KEMISKINAN ABSOLUT

· Cukup terjamin kebutuhan primer, juga di tahun-tahun abnormal, berarti tidak pernah kelaparan; Di zaman nenek moyanglah di tahun-tahun abnormal (musim kemarau yang lebih ganas daripada musim kemarau biasa dalam 6-10 tahun) yang berimplikasi pada kelaparan.

· Sudah ada sejak zaman nenek moyang.

· Disebabkan oleh factor-faktor: penjajahan, penghisapan manusia oleh manusia, kebodohan, malas, kurang ketrampilan, keliru urus negara, berbagai factor kebudayaan dan kepercayaan, iklim tropik, dll.

· Usaha untuk memperbaiki dengan media pembangunan, namun perlu disadari bahwa pembangunan mempunyai akibat negatif yang perlu ditanggulangi.

· Penghasilan untuk menjamin kebutuhan primer saja, di tahun-tahun normal tidak cukup (kronis/setiap tahun menderita kelaparan) dilanjutkan kepada keturunan. (kelaparan permanen, kemelaratan permanen).

· Gejala modern.

· Disebabkan pertambahan penduduk yang lebih cepat sehingga tenaga kerja lebih banyak dari lapangan pekerjaan. Satu-satunya yang memungkinkan ialah ilmu kesehatan modern sehingga dapat mengintervensi otomatisme alam dalam memelihara keseimbangan jumlah manusia.

· Upaya pencegahannya dengan media pembatasan jumlah kelahiran anak.

Mitos yang dibangun oleh Napitupulu (1980) factor kemiskinan biasa selain kebodohan dan kemalasan, adalah kebudayaan, penjajahan dan keterbelakangan. Solusi yang diberikan adalah pembangunan. Namun kemiskinan absolut bagi Napitupulu, adalah kebudayaan - fenomena kebudayaan yang ditunjuk adalah banyak anak, banyak rejeki.[6]

Faktor alamiah relatif mudah untuk diatasi sedangkan faktor struktural umumnya tidak mudah diatasi. Konsekuensinya, banyak mitos-mitos yang lahir akibat ketidakmampuan untuk mengatasi masalah struktural ini. Mitos ini, misalnya merupakan mitos yang dibangun atau terbangun untuk menghindarkan diri dari proses-proses pembangunan yang menghadapi kendala struktural. Kebodohan dan kemalasan sesungguhnya hanyalah simptom dari masalah struktural yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembangunan. Mitos ini, dengan demikian, merupakan bangun mitos yang berkembang untuk menghindarkan diri dari upaya-upaya penyelesaian masalah-masalah pembangunan yang bersifat struktural. Padahal, kebijakan pembangunan yang tidak melihat realitas masyarakat dan bahkan memaksakan masyarakat untuk berubah, juga dapat menjadi faktor kemiskinan. Witoelar mengemukakan bahwa ada tiga fase dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengalihan Material, Pengalihan design, dan Pengalihan Teknologi.[7] Alih teknologi – dengan dalih efisiensi dan efektifitas – realitasnya akan mereduksi pekerja lama menjadi pekerja jenis baru. Pada kasus ini, pekerja lama yang tidak siap mentransformasi mindscapenya akan tertinggal. Kunci untuk mentransformasi mindscape adalah teknologi dan pendidikan.

Bila mitos ini dijadikan dasar upaya pemberdayaan masyarakat miskin, maka hampir dipastikan bahwa upaya tersebut tidak akan memenuhi sasaran sebab dalam proses pemberdayaan yang dimaksud kita hanya berusaha mengatasi simptom kemiskinan dan bukan masalah kemiskinan. Di samping itu, bila mitos ini yang dijadikan dasar perumusan program dan proyek pengentasan kemiskinan, umumnya program dan proyek pengembangan yang dilakukan bersifat charity. Bila kita perhatikan dengan seksama, berkembangnya teori dan praksis pengembangan masyarakat, salah satunya disebabkan oleh ketidakpuasan akan charity model dari pembangunan.[8]


[1] Kasus-kasus sosiologi pembangunan dengan dasar Partisipatory Action Research (PAR) dapat dilihat dalam : Cernea, Michael M et.al. 1998. Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan : Variabel-Variabel Sosiologi di Dalam Pembangunan Pedesaan. Jakarta : UI Press.

[2] Kartasasmita, Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pertumbuhan. Jakarta : Cides. halaman 157-158

[3] Prawiro, Radius. 1998. Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi Pragmatisme Dalam Aksi. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Halaman 33 – 35.

[4] Napitupulu, B. Snp. 1980. Paradoks Pembangunan : Tesis – Anti Tesis Pragmatis. Jakarta : PT Kaji Pembangunan. Halaman 117 – 119. Ia mengutip dari Myrdal, Gunnar. Asian Drama, An Iquiry into the Proverty of Nations. 1986. Pantheon. New York.

[5] Ibid. p. 116.

[6] Konsep ini menjadi dasar bagi dikembangkannya KB (Keluarga Berencana) oleh Pemerintah RI. Kebudayaan yang dimaksud khususnya kebudayaan Jawa, dimana ada pameo banyak anak banyak rejeki. Secara sosiologi ini merupakan jawaban bagi Malthus.

[7] Witoelar, Rahmat. 1981. Hasil-Hasil Komisi Brandt : Implikasi Bagi Strategi Pembangunan Nasional Negara – Negara Berkembang. Permasalahan Utara Selatan : Tanggapan Atas Laporan Komisi Willy Brandt. Jakarta : Leppenas. Halaman 28-30.

[8] Populisme sebagai inti dari Pembangunan yang bertumpu Pada Masyarakat adalah salah satu model pembangunan. Untuk konsep dasar dapat dilihat dalam dalam Suwarsono & Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta : LP3ES. Halaman 15-19. Beberapa turunan dan analisis paradigma pembangunan, dimana strategi populisme juga didefinisikan, dapat dilihat dalam Hettne, Björn. 2001 (Edisi Terjemahan). Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. Jakarta : Gramedia.

PEMBANGUNAN : RUJUKAN SISTEM NILAI, ARAH DAN TUJUAN YANG JELAS (Mardi Santoso)

RUJUKAN SISTEM NILAI, ARAH DAN TUJUAN YANG JELAS

Pembangunan – baik sebagai suatu proses maupun sebagai suatu cara perwujudan mengemban tugas kemanusiaan dan tugas kehidupan. Padanya bergantung harapan-harapan masyarakat; yaitu tentang kehidupan yang lebih baik, keadilan yang lebih terjamin, rasa memiliki yang kian meningkat, kebebasan dalam mengekspresikan aspirasi kemanusiaannya yang semakin terbuka, ketahanan masyarakat dan bangsa yang semakin kuat dan kepercayaan diri sebagai manusia ataupun sebagai bangsa semakin meningkat. Pembangunan suatu masyarakat bangsa diartikan oleh Sasmodjo sebagai proses-proses perubahan yang ditempuh dan dilakukan atas dasar keinginan suatu masyarakat bangsa.[1] Harapan-harapan inilah yang menjadikan setiap anggota masyarakat dan/atau krlompok masyarakat – dengan segala perbedaan latar belakang dan kepentingannya – perlu senantiasa terlibat dan ikut berproses dalam menentukan arah serta prioritas pembangunan pada setiap tahapan yang dilakukan. Pembangunan sebagai sebuah proses inilah yang akan mendapatkan partisipasi masyarakat. Implikasi dari proses dan partisipasi masyarakat ini adalah perubahan yang diinginkan. [2]

Gambaran di atas mengandung dua pengertian mendasar mengenai pelaksanaan pembangunan, yaitu :

  1. setiap anggota masyarakat atau setiap kelompok merupakan pemilik pembangunan dengan segala proses yang dihasilkannya karena pembangunan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan setiap anggota masyarakat; dan
  2. setiap anggota masyarakat atau setiap kelompok masyarakat – karena memiliki latar belakang dan kepentingan yag berbeda – akan menerapkan sistem kepercayaan dan sistem nilai yang berbeda dalam melihat dan menjalankan pembangunan.

Konsekuensinya, setiap anggota masyarakat atau setiap anggota masyarakat berkepentingan bahwa sistem nilai yang dianutnya menjadi dasar perumusan arah pembangunan dan prioritas pelaksanaan pembangunan; atau paling tidak, setiap anggota masyarakat atau setiap kelompok masyarakat berkepentingan bahwa sistem nilai yang dianutynya telah tertampung dalam arah pembangunan dan prioritas pelaksanaan pembangunan, maka setiap anggota masyarakat akan memberikan nilai sekaligus berusaha mempengaruhi arah pembangunan dan prioritas pelaksanaan berdasarkan sistem nilai yang dianutnya. Kenyataan inimengharuskan adanya persamaan persepsi tentang sistem nilai yang dianut secara nasional, yaitu sistem nilai Pancasila (yang merupakan penurunan dari norma yang diwahyukan). Sebagai pemandu sistem-sistem nilai yang berkembang di masyarakat., khususnya dalam penyelenggaraan sistem ekonomi nasional. Sistem nilai lain yang dapat dianggap sebagai sebuah nilai universal adalah moralitas atau akhlaq pembangunan. Akhlaq atau moral pembangunan berkenaan dengan perilaku seseorang dalam kehidupan masyarakat. Akhlaq berkenaan dengan nilai individual, nilai sosial dan nilai transedental.[3]

Nilai-nilai ini disepakati sebagai bagian fundamental dalam perumusan sistem ekonomi nasional. Implikasi dari keberagaman nilai dasar (fundamental) pembangunan akan mengakibatkan setiap kelompok masyarakat memandang proses pembangunan ekonomi nasional dari perspektifnya sendiri. Namun, ada beberapa indikator yang dapat disepakati oleh para perumus pembangunan agar pembangunan ekonomi nasional dianggap sebagai sistem yang mempunyai nilai moralitas dan transedental. Pertama Pembangunan ditujukan buka untuk kepentingan suatu kelompok tertentu dengan mengorbankan kelompok yang lain. Kedua Pembangunan hanya menguntungkan sebagian orang, tetapi tidak bermanfaat bagi sebagian yang lain. Ketiga Pembangunan dijalankan dengan menggunakan cara yang tidak benar, tidak baik dan tidak halal. Keempat Pembangunan hanya mengejar kebutuhan lahiriah dan mengabaikan sisi rohaniah manusia. Kelima Pembangunan merusak alam dan lingkungan. Keenam Pembangunan yang dijalankan tidak memperhatikan nilai kemanusiaan pada umumnya.[4]

Di dalam merumuskan arah pembangunan ekonomi nasional dan di dalam menentukan prioritas pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah : sistem nilai siapakah yang harus dijadikan dasar untuk merumuskan arah pembangunan dan sistem nilai siapakah yang harus dijadikan dasar untuk mengimplementasikan prioritas pelaksanaan pembangunan (atau dengan kata lain, “whose value will be used to define virtue”) ?. Secara akademis tidak pernah ada kesepakatan tentang hal ini. Dan tidak ada jaminan bahwa keadilan akan terwujud bila salah satu sistem nilai masyarakat atau kelompok masyarakat dipilih atau dipaksakan untuk merumuskan virtue atau arah dan prioritas pembangunan bersama tersebut. Oleh karena itu, sistem nilai yang jelas dan tersepakati harus dirumuskan dalam penyelenggaraan ekonomi nasional. Penekanan terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila merupakan keharusan dalam proses perumusan arah dan tujuan pembangunan ekonomi nasional dan adalah tanggung jawab penyelenggara negara, pelaku ekonomi dan masyarakat untuk menjamin keberlanjutan sistem ekonomi nasional dengan segala prasyarat pendukungnya.[5]

Sistem ekonomi ini harus mengintegrasikan (a) Sistem kepercayaan masyarakat; (b) Nilai-nilai masyarakat; (c) Sejarah kehidupan yang dilalui masyarakat; (d) Aspirasi masyarakat; (e) Pola hubungan masyarakat dengan sistem sumberdaya alam dan ligkungan; (f) Persepsi masyarakat terhadap perubahan, persepsi masyarakat terhadap masa depan; (g) Prinsip-prinsip keadilan’ (h) Nilai-nilai keutamaan masyarakat (virtue) (i) Hak rakyat dan Hak masyarakat (Claimed rights and exercised right) baik yang lahir oleh karena Constitutional and Regulatory Power maupun yang lahir karena Power kesejarahan masyarakat dalam bentuk hak adat, hak ulayat dan hak-hak lain yang secara histories dan de facto berkembang dalam masyarakat, serta ; (j) Kearifan masyarakat setempat/Indigenous Wisdom, knowledge, institution and technology.



[1] Sasmodjo, Saswinadi, 1995, Diktat Mata Kuliah Sicience, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan. Halaman 3

[2] Semangat ini jelas tertera pada Al-Qur’an Surat Ar-Ra’d ayat 13. Alloh tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum ini yang merubahnya sendiri.

[3] Kartasasmita, Ginandjar, Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta : Penerbit Cides. Halaman 23.

[4] Kartasasmita, ibid. halaman 24 - 25

[5] Sebagi referensi tambahan lihat buku Prof. Dr. Sritua Arief, Indonesia Tanah Sir Beta. Muhammadiyyah University Press. Halaman 223 – 261. Arief mengemukakan kritik terhadap kebijakan ekonomi Indonesia yang sangat memuja pemikiran ekonomi neo klasik apalagi neoklasik kuno. Kebijakan ekonomi yang berumpu pada masyarakat (ekonomi kerakyatan) sebagai suatu strategi populis, bagi penganut ekonomi neo klasik diapndang tidak tepat dan sangat ideologis. Padahalk konstitusi Indonesia (UUD 1945 pada pasal 33) telah memberikan syarat, bahwa sistem emonomi Indonesia berbentuk kerakyatan. Bagi Arief seorang ekonom harus mempunyai komitmen yang teguh dan ikhlas untuk berbuat demi emansipasi terhadap kemanusiaan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Ada nilai-nilai filosofis dan etika yang harus menjadi paradigma eorang ekonom sejati. Hasilnya, ideologi ekonomi akan berpijak kepada moralitas ekonomi.

Model Pengembangan Rantai Pasok Rumput Laut oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guna Pemenuhan Kebutuhan Rumput Laut Dan Produk Turunannya

Denny Noviansyah Abstrak Indonesia sebagai negara Maritim mempunyai Panjang pantai seluas 95.181 km 2 . Pesisir pantai mempunyai berbagai je...