Mitos ini sangat erat berkaitan dengan mitos mengenai superioritas pendekatan pembangunan dari atas. Mitos ini yang menjustifikasi bahwa pendekatan dari atas merupakan pendekatan terbaik. Mitos ini dibangun di atas suatu asumsi bahwa masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah yang lemah secara ekonomi dan rendah pendidikannya, hanya memiliki horizon perencanaan ekonomi yang sangat terbatas. Akibatnya, kelompok masyarakat ini tidak akan tahu apa yang diinginkannya bila tidak ditunjukkan oleh agen-agen pembangunan. Mitos ini melahirkan tiga mitos lain, yaitu : (i) bahwa agen pembangunan adalah kelompok dalam masyarakat yang paling tahu akan kebutuhan dan keinginan masyarakat; dan (ii) agen pembangunan adalah kelompok masyarakat yang seharusnya merencanakan perubahan yang dibutuhkan oleh masyarakat; dan dengan demikian (iii) pendekatan dari atas merupakan pendekatan pembangunan yang paling efektif untuk memberdayakan masyarakat. Tiga mitos turunan ini menitikberatkan pembangunan pada “kebutuhan” agen pembangunan dari pada kebutuhan local.[1]
Padahal, sebagai sebuah konsep pembangunan – pemberdayaan masyarakat harus diaplikasikan dalam bentuk strategi pembangunan. Strategi pembangunan ini sendiri harus ditujukan pada masalah struktural dalam perekonomian dan juga dalam tatanan sosial yang memisahkan lapisan masyarakat maju dan modern serta masyarakat tradisional yang tertinggal. Strategi pertama adalah memberi peluang agar sektor dan masyarakat modern dapat tetap maju, karena kemajuannya dibutuhkan oleh bangsa secara keseluruhan. Strategi kedua adalah memberdayakan sektor ekonomi dan lapisan masyarakat yang masih tertinggal dan hidup di luar kehidupan modern. Kedua strategi tersebut ditata agar menghasilkan suatu struktur ekonomi dan masyarakat yang sinergis menuju ke arah pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, merata dan tumbuh di atas landasan yang kukuh.[2] Paradigma pembangunan yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat memakai pola bottom up.
Implementasi dari mitos di atas dapat dilihat dari peran pemerintah pada fase awal Orde Baru dengan upaya merealisasikan stabilitasi ekonomi, Untuk itu tim ekonomi yang telah ditunjuk melakukan beberapa langkah.[3] Langkah-langkah tersebut adalah ; Pertama Restrukturisasi Aparat Pemerintahan. Sebelum dapat memulai usaha restrukturisasi ekonomi, pemerintah harus mengambil langkah-langkah menata rumahnya sendiri dengan mengadakan restrukturisasi diri sendiri. Efisiensi Departemen, pemulihan fungsi Bank Sentral – dengan bekerja sama dengan Departemen Keuangan – sebagai sebuah strategi menata perekonomian.
Kedua Serangan terhadap inflasi dengan satu tekad. Pemerintah memberi prioritas penuh untuk melakukan stabilisasi. Semua masalah lain ditempatkan diprioritas kedua. Ini lebih sulit daripada kedengarannya. Ada banyak tuntutan terhadap pemerintah dari banyak ‘pemilih’, dan untuk menanggapinya sebaik mungkin pemerintah sengaja membatasi perhatiannya terhadap inflasi unsich.
Ketiga Kejutan yang nyaris tak terasakan. Konsentrasi terhadap perang melawan inflasi membutuhkan waktu yang sangat banyak. Pemerintah lebih memilih pelaksanaan perubahan arah perekonomian yang diperlembut kebijakan-kebijakan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi semaksimal mungkin dari pada perubahan perekonomian secara bertahap.
Keempat Menaruh kepercayan kepada kebijaksanaan pasar. Pemerintah sebelumnya telah bergerak berangsur-angsur menuju sosialisasi perekonomian. Kecenderungan ini telah menghapus kekuatan sektor swasta. Pemerintah yang baru bergerak secara yakin menuju pemulihan kondisi yang mendukng pertumbuhan sektor swasta.
Kelima Bertumbuh melalui krisis. Umumnya stabilisasi merupakan proses yang menyakitkan. Dalam proses ini pemerintah berusaha menghentikan inflasi melalui kebijakan-kebijakan penghematan di bidang perekonomian.
Konsekuensi dari mitos – mitos ini dalam proses pengembangan dan pemberdayaan masyarakat adalah tidak perlu dilibatkannya masyarakat dalam perencanaan pengembangan masyarakat; cukup, bila masyarakat melakukan proses pengembangan yang telah direncanakan oleh para agen pembangunan. Peran pemerintah dan agen pembangunan menjadi subjek pembangunan, sedangkan rakyat atau masyarakat hanya menjadi objek dari pembangunan. Bila hal ini yang menjadi dasar, maka dapat dipastikan bahwa upaya-upaya pemberdayaan masyarakat hanya menjadi ilusi.
Mitos VII
Mitos ini sangat erat kaitannya dengan mitos VI di atas. Mitos ini menidakan suatu kenyataan bahwa kemiskinan terutama disebabkan dua faktor besar, yaitu faktor alamiah yang bergantung pada kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat dan faktor struktural yang lahir akibat kebijaksanaan pembangunan – baik makro maupun mikro – yang secara sadar atau tidak sadar bias terhadap suatu wilayah atau kepentingan suatu golongan. Gunnar Myrdal memberikan gambaran bahwa kemiskinan dibagi dalam dua tingkatan, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan biasa.[4] Seperti terlihat dalam tabel di bawah ini :[5]
KEMISKINAN BIASA | KEMISKINAN ABSOLUT |
· Cukup terjamin kebutuhan primer, juga di tahun-tahun abnormal, berarti tidak pernah kelaparan; Di zaman nenek moyanglah di tahun-tahun abnormal (musim kemarau yang lebih ganas daripada musim kemarau biasa dalam 6-10 tahun) yang berimplikasi pada kelaparan. · Sudah ada sejak zaman nenek moyang. · Disebabkan oleh factor-faktor: penjajahan, penghisapan manusia oleh manusia, kebodohan, malas, kurang ketrampilan, keliru urus negara, berbagai factor kebudayaan dan kepercayaan, iklim tropik, dll. · Usaha untuk memperbaiki dengan media pembangunan, namun perlu disadari bahwa pembangunan mempunyai akibat negatif yang perlu ditanggulangi. | · Penghasilan untuk menjamin kebutuhan primer saja, di tahun-tahun normal tidak cukup (kronis/setiap tahun menderita kelaparan) dilanjutkan kepada keturunan. (kelaparan permanen, kemelaratan permanen). · Gejala modern. · Disebabkan pertambahan penduduk yang lebih cepat sehingga tenaga kerja lebih banyak dari lapangan pekerjaan. Satu-satunya yang memungkinkan ialah ilmu kesehatan modern sehingga dapat mengintervensi otomatisme alam dalam memelihara keseimbangan jumlah manusia. · Upaya pencegahannya dengan media pembatasan jumlah kelahiran anak. |
Mitos yang dibangun oleh Napitupulu (1980) factor kemiskinan biasa selain kebodohan dan kemalasan, adalah kebudayaan, penjajahan dan keterbelakangan. Solusi yang diberikan adalah pembangunan. Namun kemiskinan absolut bagi Napitupulu, adalah kebudayaan - fenomena kebudayaan yang ditunjuk adalah banyak anak, banyak rejeki.[6]
Faktor alamiah relatif mudah untuk diatasi sedangkan faktor struktural umumnya tidak mudah diatasi. Konsekuensinya, banyak mitos-mitos yang lahir akibat ketidakmampuan untuk mengatasi masalah struktural ini. Mitos ini, misalnya merupakan mitos yang dibangun atau terbangun untuk menghindarkan diri dari proses-proses pembangunan yang menghadapi kendala struktural. Kebodohan dan kemalasan sesungguhnya hanyalah simptom dari masalah struktural yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembangunan. Mitos ini, dengan demikian, merupakan bangun mitos yang berkembang untuk menghindarkan diri dari upaya-upaya penyelesaian masalah-masalah pembangunan yang bersifat struktural. Padahal, kebijakan pembangunan yang tidak melihat realitas masyarakat dan bahkan memaksakan masyarakat untuk berubah, juga dapat menjadi faktor kemiskinan. Witoelar mengemukakan bahwa ada tiga fase dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengalihan Material, Pengalihan design, dan Pengalihan Teknologi.[7] Alih teknologi – dengan dalih efisiensi dan efektifitas – realitasnya akan mereduksi pekerja lama menjadi pekerja jenis baru. Pada kasus ini, pekerja lama yang tidak siap mentransformasi mindscapenya akan tertinggal. Kunci untuk mentransformasi mindscape adalah teknologi dan pendidikan.
Bila mitos ini dijadikan dasar upaya pemberdayaan masyarakat miskin, maka hampir dipastikan bahwa upaya tersebut tidak akan memenuhi sasaran sebab dalam proses pemberdayaan yang dimaksud kita hanya berusaha mengatasi simptom kemiskinan dan bukan masalah kemiskinan. Di samping itu, bila mitos ini yang dijadikan dasar perumusan program dan proyek pengentasan kemiskinan, umumnya program dan proyek pengembangan yang dilakukan bersifat charity. Bila kita perhatikan dengan seksama, berkembangnya teori dan praksis pengembangan masyarakat, salah satunya disebabkan oleh ketidakpuasan akan charity model dari pembangunan.[8]
[1] Kasus-kasus sosiologi pembangunan dengan dasar Partisipatory Action Research (PAR) dapat dilihat dalam : Cernea, Michael M et.al. 1998. Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan : Variabel-Variabel Sosiologi di Dalam Pembangunan Pedesaan.
[2] Kartasasmita, Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pertumbuhan.
[3] Prawiro, Radius. 1998. Pergulatan
[4] Napitupulu, B. Snp. 1980. Paradoks Pembangunan : Tesis – Anti Tesis Pragmatis.
[5] Ibid. p. 116.
[6] Konsep ini menjadi dasar bagi dikembangkannya KB (Keluarga Berencana) oleh
[7] Witoelar, Rahmat. 1981. Hasil-Hasil Komisi Brandt : Implikasi Bagi Strategi Pembangunan Nasional Negara – Negara Berkembang. Permasalahan Utara Selatan : Tanggapan Atas Laporan Komisi Willy Brandt.
[8] Populisme sebagai inti dari Pembangunan yang bertumpu Pada Masyarakat adalah salah satu model pembangunan. Untuk konsep dasar dapat dilihat dalam dalam Suwarsono & Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar