Custom Search

Sabtu, 22 November 2008

PEMBANGUNAN : RUJUKAN SISTEM NILAI, ARAH DAN TUJUAN YANG JELAS (Mardi Santoso)

RUJUKAN SISTEM NILAI, ARAH DAN TUJUAN YANG JELAS

Pembangunan – baik sebagai suatu proses maupun sebagai suatu cara perwujudan mengemban tugas kemanusiaan dan tugas kehidupan. Padanya bergantung harapan-harapan masyarakat; yaitu tentang kehidupan yang lebih baik, keadilan yang lebih terjamin, rasa memiliki yang kian meningkat, kebebasan dalam mengekspresikan aspirasi kemanusiaannya yang semakin terbuka, ketahanan masyarakat dan bangsa yang semakin kuat dan kepercayaan diri sebagai manusia ataupun sebagai bangsa semakin meningkat. Pembangunan suatu masyarakat bangsa diartikan oleh Sasmodjo sebagai proses-proses perubahan yang ditempuh dan dilakukan atas dasar keinginan suatu masyarakat bangsa.[1] Harapan-harapan inilah yang menjadikan setiap anggota masyarakat dan/atau krlompok masyarakat – dengan segala perbedaan latar belakang dan kepentingannya – perlu senantiasa terlibat dan ikut berproses dalam menentukan arah serta prioritas pembangunan pada setiap tahapan yang dilakukan. Pembangunan sebagai sebuah proses inilah yang akan mendapatkan partisipasi masyarakat. Implikasi dari proses dan partisipasi masyarakat ini adalah perubahan yang diinginkan. [2]

Gambaran di atas mengandung dua pengertian mendasar mengenai pelaksanaan pembangunan, yaitu :

  1. setiap anggota masyarakat atau setiap kelompok merupakan pemilik pembangunan dengan segala proses yang dihasilkannya karena pembangunan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan setiap anggota masyarakat; dan
  2. setiap anggota masyarakat atau setiap kelompok masyarakat – karena memiliki latar belakang dan kepentingan yag berbeda – akan menerapkan sistem kepercayaan dan sistem nilai yang berbeda dalam melihat dan menjalankan pembangunan.

Konsekuensinya, setiap anggota masyarakat atau setiap anggota masyarakat berkepentingan bahwa sistem nilai yang dianutnya menjadi dasar perumusan arah pembangunan dan prioritas pelaksanaan pembangunan; atau paling tidak, setiap anggota masyarakat atau setiap kelompok masyarakat berkepentingan bahwa sistem nilai yang dianutynya telah tertampung dalam arah pembangunan dan prioritas pelaksanaan pembangunan, maka setiap anggota masyarakat akan memberikan nilai sekaligus berusaha mempengaruhi arah pembangunan dan prioritas pelaksanaan berdasarkan sistem nilai yang dianutnya. Kenyataan inimengharuskan adanya persamaan persepsi tentang sistem nilai yang dianut secara nasional, yaitu sistem nilai Pancasila (yang merupakan penurunan dari norma yang diwahyukan). Sebagai pemandu sistem-sistem nilai yang berkembang di masyarakat., khususnya dalam penyelenggaraan sistem ekonomi nasional. Sistem nilai lain yang dapat dianggap sebagai sebuah nilai universal adalah moralitas atau akhlaq pembangunan. Akhlaq atau moral pembangunan berkenaan dengan perilaku seseorang dalam kehidupan masyarakat. Akhlaq berkenaan dengan nilai individual, nilai sosial dan nilai transedental.[3]

Nilai-nilai ini disepakati sebagai bagian fundamental dalam perumusan sistem ekonomi nasional. Implikasi dari keberagaman nilai dasar (fundamental) pembangunan akan mengakibatkan setiap kelompok masyarakat memandang proses pembangunan ekonomi nasional dari perspektifnya sendiri. Namun, ada beberapa indikator yang dapat disepakati oleh para perumus pembangunan agar pembangunan ekonomi nasional dianggap sebagai sistem yang mempunyai nilai moralitas dan transedental. Pertama Pembangunan ditujukan buka untuk kepentingan suatu kelompok tertentu dengan mengorbankan kelompok yang lain. Kedua Pembangunan hanya menguntungkan sebagian orang, tetapi tidak bermanfaat bagi sebagian yang lain. Ketiga Pembangunan dijalankan dengan menggunakan cara yang tidak benar, tidak baik dan tidak halal. Keempat Pembangunan hanya mengejar kebutuhan lahiriah dan mengabaikan sisi rohaniah manusia. Kelima Pembangunan merusak alam dan lingkungan. Keenam Pembangunan yang dijalankan tidak memperhatikan nilai kemanusiaan pada umumnya.[4]

Di dalam merumuskan arah pembangunan ekonomi nasional dan di dalam menentukan prioritas pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah : sistem nilai siapakah yang harus dijadikan dasar untuk merumuskan arah pembangunan dan sistem nilai siapakah yang harus dijadikan dasar untuk mengimplementasikan prioritas pelaksanaan pembangunan (atau dengan kata lain, “whose value will be used to define virtue”) ?. Secara akademis tidak pernah ada kesepakatan tentang hal ini. Dan tidak ada jaminan bahwa keadilan akan terwujud bila salah satu sistem nilai masyarakat atau kelompok masyarakat dipilih atau dipaksakan untuk merumuskan virtue atau arah dan prioritas pembangunan bersama tersebut. Oleh karena itu, sistem nilai yang jelas dan tersepakati harus dirumuskan dalam penyelenggaraan ekonomi nasional. Penekanan terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila merupakan keharusan dalam proses perumusan arah dan tujuan pembangunan ekonomi nasional dan adalah tanggung jawab penyelenggara negara, pelaku ekonomi dan masyarakat untuk menjamin keberlanjutan sistem ekonomi nasional dengan segala prasyarat pendukungnya.[5]

Sistem ekonomi ini harus mengintegrasikan (a) Sistem kepercayaan masyarakat; (b) Nilai-nilai masyarakat; (c) Sejarah kehidupan yang dilalui masyarakat; (d) Aspirasi masyarakat; (e) Pola hubungan masyarakat dengan sistem sumberdaya alam dan ligkungan; (f) Persepsi masyarakat terhadap perubahan, persepsi masyarakat terhadap masa depan; (g) Prinsip-prinsip keadilan’ (h) Nilai-nilai keutamaan masyarakat (virtue) (i) Hak rakyat dan Hak masyarakat (Claimed rights and exercised right) baik yang lahir oleh karena Constitutional and Regulatory Power maupun yang lahir karena Power kesejarahan masyarakat dalam bentuk hak adat, hak ulayat dan hak-hak lain yang secara histories dan de facto berkembang dalam masyarakat, serta ; (j) Kearifan masyarakat setempat/Indigenous Wisdom, knowledge, institution and technology.



[1] Sasmodjo, Saswinadi, 1995, Diktat Mata Kuliah Sicience, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan. Halaman 3

[2] Semangat ini jelas tertera pada Al-Qur’an Surat Ar-Ra’d ayat 13. Alloh tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum ini yang merubahnya sendiri.

[3] Kartasasmita, Ginandjar, Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta : Penerbit Cides. Halaman 23.

[4] Kartasasmita, ibid. halaman 24 - 25

[5] Sebagi referensi tambahan lihat buku Prof. Dr. Sritua Arief, Indonesia Tanah Sir Beta. Muhammadiyyah University Press. Halaman 223 – 261. Arief mengemukakan kritik terhadap kebijakan ekonomi Indonesia yang sangat memuja pemikiran ekonomi neo klasik apalagi neoklasik kuno. Kebijakan ekonomi yang berumpu pada masyarakat (ekonomi kerakyatan) sebagai suatu strategi populis, bagi penganut ekonomi neo klasik diapndang tidak tepat dan sangat ideologis. Padahalk konstitusi Indonesia (UUD 1945 pada pasal 33) telah memberikan syarat, bahwa sistem emonomi Indonesia berbentuk kerakyatan. Bagi Arief seorang ekonom harus mempunyai komitmen yang teguh dan ikhlas untuk berbuat demi emansipasi terhadap kemanusiaan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Ada nilai-nilai filosofis dan etika yang harus menjadi paradigma eorang ekonom sejati. Hasilnya, ideologi ekonomi akan berpijak kepada moralitas ekonomi.

Tidak ada komentar:

Model Pengembangan Rantai Pasok Rumput Laut oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guna Pemenuhan Kebutuhan Rumput Laut Dan Produk Turunannya

Denny Noviansyah Abstrak Indonesia sebagai negara Maritim mempunyai Panjang pantai seluas 95.181 km 2 . Pesisir pantai mempunyai berbagai je...