Custom Search

Selasa, 13 Maret 2012

Penyusunan NAMAs (Aksi Mitigasi yang Layak Secara Nasional) Perubahan Iklim di Bidang Industri


1. Latar Belakang

Dokumen RAN-GRK merupakan tindaklanjut dari komitmen Indonesia dalam menghadapi permasalahan perubahan iklim yang disampaikan


oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di depan para pemimpin negara pada pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, 25 September 2009. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen pada tahun 2020 dari tingkat BAU dengan usaha sendiri dan mencapai 41% persen apabila mendapat dukungan internasional.

Untuk menindaklanjuti komitmen penurunan emisi GRK tersebut, perlu disusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang akan memberikan kerangka kebijakan untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta dan para pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan upaya mengurangi emisi GRK dalam jangka waktu 2010-2020 sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP 2005-2025) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

Dengan demikian, RAN-GRK yang mengusulkan aksi mitigasi di lima bidang prioritas (Pertanian, Kehutanan dan Lahan Gambut, Energidan Transportasi, Industri, Pengelolaan Limbah) serta kegiatan Pendukung lainnya, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan pembangunan nasional yang mendukung prinsip pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan.

Pelaksanaan RAN-GRKmenganut sistem pendekatan partisipatif di mana keterlibatan aktif pemerintah pusat, pemerintah daerah serta para pihak terkait sangat dibutuhkan untuk menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) demi mencapai target penurunan emisi GRK di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, untuk pelaksanaan RAN-GRK, perlu dibuat Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.

2. Kondisi dan Ruang Lingkup Bidang Industri

Bidang industri merupakan salah satu bidang yang berkontribusi dalam emisi gas rumah kaca (GRK). Laporan Second Nasional Communication (SNC) menunjukkan bahwa emisi GRK dari industri manufaktur merupakan salah satu sumber utama di tahun 2000, selain dari penggunaan lahan dan perubahan pemanfaatan lahan dan kehutanan (SNC, 2010).

Seiring dengan pertumbuhan industri, Kebijakan Industri Nasional (Peraturan Presiden No 28/2008) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan kapasitas produksi dari industri, maka dicanangkan target laju pertumbuhan industri sebesar lebih dari 8% pada tahun 2025. Dengan target laju pertumbuhan industri yang diproyeksikan tersebut, maka emisi GRK pun akan meningkat secara signifikan pada tahun 2025.

Untuk mengurangi emisi GRK yang berasal dari konsumsi energi di sektor industri, Peraturan Pemerintah No 70/2009 tentang Konservasi Energi mewajibkan pengguna energi (termasuk industri) yang menggunakan energi lebih dari 6000 TOE untuk melakukan konservasi energi melalui sistem manajemen energi.

Selain itu, Kementerian Perindustrian saat ini sedang mendorong pengembangan Industri Hijau sebagai salah satu kebijakan untuk menurunkan emisi GRK di bidang industri. Upaya yang dilakukan di antaranya adalah dengan memberikan Penghargaan Industri Hijau.

Laporan The Indonesia’s Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) telah melakukan perhitungan proyeksi emisi GRK pada tahun 2005 dan 2030 dengan skenario BAU berdasarkan konsumsi energi untuk bidang industri (Bappenas, 2010). Proyeksi tersebut dibuat dengan menggunakan model Markal dengan asumsi laju pertumbuhan rata-rata industri manufaktur setelah periode 2010 adalah 7% per tahun.

Sub bidang industri yang termasuk dalam perhitungan adalah mineral non-logam, termasuk, semen, besi dan baja, pulp dan kertas, tekstil, pupuk dan lainnya. Selain itu, perhitungan juga dilakukan untuk skenario efisiensi energi. Gambar 1. memperlihatkan bahwa skenario efisiensi energi dapat menurunkan emisi GRK di bidang industri sebesar 30,45% terhadap skenario BAU pada tahun 2030.


Gambar 1. Emisi GRK di bidang Industri – skenario BAU dan energi efisiensi pada 2005 – 2030. (Sumber: ICCSR, Bappenas, 2010)

Sumber emisi GRK di bidang industri terbagi menjadi tiga kategori, yaitu penggunaan energi, proses industri, dan pengolahan limbah. Emisi dari penggunaan energi dihasilkan dari pembakaran bahan bakar, baik untuk sistem pemanasan maupun pembangkit listrik. Sedangkan, emisi dari proses industri berasal dari proses-proses industri yang melibatkan perubahan material secara fisik maupun kimiawi. Emisi dari proses industri, di antaranya dihasilkan dari pembakaran pada industri semen, reaksi reduksi besi pada industri besi dan baja, dan konversi bahan bakar fosil menjadi produk amonia, metanol, serta bahan kimia lainnya. Sementara, emisi dari pengolahan limbah terutama berasal dari emisi metana (CH4) yang dihasilkan dari pengolahan limbah cair maupun padat secara anaerobik.

Oleh karena itu, analisa untuk bidang industri akan dilakukan secara terintegrasi dengan bidang lainnya, yaitu bidang energi, bidang listrik dan bidang pengelolaan limbah. Untuk menghindari adanya perhitungan ganda pada penyusunan garis dasar, penentuan batasan antar bidang tersebut perlu dilakukan sebelum perhitungan dimulai. Sehingga, bidang industri akan dianalisis dalam batasan bidangnya dan berdasarkan tahun acuan yang dipilih.

Dengan adanya berbagai sub bidang industri, maka Pemerintah Indonesia sebaiknya memilih dan memutuskan sub bidang industri yang akan tercakup dalam ruang lingkup penyusunan NAMAs. Pemilihan sub bidang industri dapat dilakukan berdasarkan potensi dari sub bidang tersebut dalam menurunkan emisi GRK atau yang merupakan prioritas pembangunan untuk 20 tahun ke depan. Berdasarkan ICCSR (2010), sub bidang industri semen, besi dan baja, pulp dan kertas, tekstil, dan pupuk merupakan sub bidang yang dianggap sebagai kontributor utama emisi GRK untuk bidang industri di Indonesia. Selain itu, sub bidang industri gelas dan keramik, gula rafinasi dan minyak goreng juga memiliki potensi untuk menurunkan emisi GRK karena termasuk industri-industri yang lahap energi.

3. Penyusunan skenario garis dasar BAU

Skenario garis dasar (baseline) adalah perkiraan tingkat emisi GRK yang akan terjadi tanpa adanya langkah-langkah mitigasi sebagai bagian dari bisnis yang seperti biasa/tanpa rencana aksi (Business as Usual (BAU)). Dengan skenario BAU, maka peran bidang industri dalam komitmen Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim akan lebih jelas terlihat. Lebih lanjut, sebagai bagian dari bidang energi, maka skenario BAU) gabungan di bidang industri perlu diintegrasikan ke dalam pemodelan yang terintegrasi untuk bidang energi. Pemodelan terintegrasi tersebut akan menggabungkan bidang energi, industri, transportasi dan pembangkit listrik dalam satu model.

Untuk menghitung garis dasar BAU, dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan top-down (atas-bawah) dan bottom-up (bawah-atas).

Melalui pendekatan top-down, emisi GRK di bidang industri akan diformulasikan terlebih dahulu, kemudian akan disempurnakan dengan menjabarkan lebih detail kontribusi emisi GRK dari masing-masing sub bidang industri.

Sebaliknya, dengan menggunakan pendekatan bottom-up, maka emisi GRK di masing-masing sub bidang industri akan dijabarkan terlebih dahulu, baru kemudian menggabungkan sub bidang tersebut menjadi emisi GRK bidang industri secara keseluruhan.

Dengan demikian, klasifikasi bidang industri pun perlu dilakukan terlebih dahulu dengan mengikuti skema yang selaras dengan metodologi dari IPCC, seperti skema Standar Klasifikasi Industri Internasional/Internasional Standard Industrial Classification (ISIC). Saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan sistem Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) untuk mengklasifikasikan industri manufaktur. KBLI terbaru ditetapkan melalui peraturan Kepala BPS No. 57 tahun 2009 yang dibuat berdasarkan ISIC Revisi 4.

Untuk perhitungan garis dasar BAU dalam penyusunan NAMAs bidang industri sebaiknya menggunakan pendekatan bottom-up karena perhitungan dengan pendekatan ini memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi. Namun, pendekatan tersebut membutuhkan data yang lebih komprehensif dibandingkan pendekatan top-down.

Data yang dibutuhkan untuk perhitungan garis dasar (baseline) BAU untuk pendekatan bottom-up adalah sebagai berikut:

  • · Data pabrik, mulai dari klasifikasi, nama, lokasi, dan umur pabrik, kapasitas produksi saat ini/akan datang sesuai dengan jenis produk (ton produk/tahun), serta pemanfaatan kapasitas rata-rata tahunan untuk saat ini/akan datang (%) atau produksi (ton produk/tahun).
  • · Data tentang rencana ekspansi, contohnya lokasi pabrik yang akan datang, unit/fasilitas baru, ukuran, dll.
  • · Data konsumsi energi, di antaranya jumlah bahan bakar konvensional dan alternatif yang dikonsumsi (total dan/atau dipisahkan oleh langkah-langkah produksi yang penting) yang dihitung dalam (ton) atau (GJ) per jenis bahan bakar.
  • · Listrik, baik total dan/atau dipisahkan oleh tahap produksi penting yang dihitung dengan satuan MWh.
  • · Jumlah bahan baku yang digunakan sesuai dengan jenis bahan baku (ton/tahun)
  • · Laju pertumbuhan tahunan yang diharapkan (%)

Setelah garis dasar BAU gabungan yang dihitung dengan pendekatan bottom-up telah tersedia, sebaiknya perhitungan tersebut dibandingkan dengan perhitungan dengan pendekatan top-down. Perbandingan tersebut dilakukan karena pendekatan top-down memiliki data yang tersedia lebih lengkap daripada pendekatan bottom-up, misalnya data penjualan PT. Pertamina dan PT. PLN.

4. Penyusunan Skenario Aksi Mitigasi yang Berpotensi di Bidang Industri

Ada beberapa pilihan aksi mitigasi untuk bidang industri. Apabila berdasarkan penggunaan energi, maka pilihan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

  • · Pengurangan jumlah energi yang digunakan per produk, misalnya melalui peningkatan penerapan efisiensi energi yang kemudian akan mengarah pada mitigasi emisi GRK.
  • · Mengubah jenis sumber energi yang digunakan contoh, penggunaan bahan bakar alternatif atau penggantian bahan bakar dengan biomassa atau limbah padat perkotaan, dll., yang secara ideal memiliki kandungan karbon lebih kecil daripada bahan bakar fosil.

Sedangkan, untuk pilihan aksi mitigasi dari proses industri adalah dengan melakukan modifikasi proses utama. Modifikasi proses dapat dilakukan dengan mengubah jenis produk, bahan baku atau meningkatkan efisiensi bahan, seperti melakukan daur ulang bahan.

Beberapa contoh teknologi industri yang tersedia untuk mengurangi emisi GRK dapat dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1. Contoh teknologi industri yang tersedia untuk mitigasi emisi GRK (Sumber: ICCSR, 2010; TNA, 2010)


Berdasarkan aksi mitigasi yang diusulkan, kebijakan dan aksi yang akan diterapkan perlu diindentifikasi untuk setiap skenario. Namun demikian, proses perhitungan dalam penyusunan skenario aksi mitigasi merupakan proses yang paling sulit. Karena, proses produksi harus dianalisis per sub bidang secara detil untuk melihat dampak dari perubahan bahan baku atau daur ulang terhadap konsumsi energi dalam proses produksi tertentu dan bagaimana potensinya untuk menurunkan intensitas energi setiap produk. Contoh penerapan dari dunia internasional dapat digunakan sebagai model atau bahan evaluasi untuk kondisi di Indonesia.

Dalam menyusun skenario aksi mitigasi, dibutuhkan partisipasi aktif dari perwakilan pihak pelaku industri serta asosiasi industri sebagai pihak yang akan menerapkan aksi mitigasi tersebut. Selain itu, pemerintah daerah pun diharapkan dapat berpartisipasi dalam menyusun skenario aksi mitigasi karena pemerintah daerah akan memiliki peranan dalam pelaksanaan pemantauan dan pelaporan pelaksanaan aksi mitigasi dengan menggunakan MIS (management information system).

5. Penilaian Usulan Skenario Aksi Mitigasi yang Berpotensi di Bidang Industri

Dalam melakukan penilaian dan peringkat skenario potensi aksi mitigasi di bidang industri, maka aspek kelayakan dan hambatan yang dapat terjadi harus dipertimbangkan.

Secara umum, penilaian dari usulan skenario aksi mitigasi sebaiknya mencakup penilaian terhadap hal-hal seperti: total potensi penurunan emisi, biaya mitigasi efektif per ton CO2; kemudahan dalam implementasi, termasuk di antaranya kapasitas kelembagaan, budaya, sosial, berdasarkan kebijakan pemerintah dan industri serta pengetahuan teknis dan keterampilan; penerimaan secara politis dan komersial; peluang teknologi, yaitu kemudahan untuk transfer teknologi hingga potensi untuk transformasi pasar; dampak lintas bidang; akses terhadap pendanaan; kemudahan dalam pengukuran; pelaporan dan verifikasi (MRV); risiko teknis, termasuk kerentanan terhadap perubahan iklim dan aktivitas tektonik; potensi dan kesempatan ekspor pada masa depan; dampak pada neraca pembayaran dan pertimbangan ekonomi lainnya; dan kesesuaian dengan tujuan pembangunan, antara lain keamanan energi, pertumbuhan ekonomi, dan lingkungan hidup.

Pada akhirnya, penyusunan aksi mitigasi potensial di bidang industri akan berdasarkan pada efektivitas biaya dan tingkat kemudahan dalam implementasi. Tidak hanya itu, penilaian aksi mitigasi pada tingkat biaya yang berbeda sangatlah penting untuk membuat daftar penurunan emisi GRK setiap aksi mitigasi yang kemudian akan diurutkan berdasarkan peringkat biaya yang paling rendah.

6. Indikator Utama untuk MRV

Terkait dengan indikator yang diusulkan, masing-masing sub bidang industri memiliki parameter sendiri dalam pengukuran kinerja. Untuk industri Indonesia, indikator yang dapat digunakan adalah total emisi GRK, intensitas karbon, intensitas energi dan lain-lain, yang berasal dari analisis dan proyeksi permintaan energi di industri saat ini dan masa yang akan datang.

Indikator yang kuantitatif terkait untuk bidang industri adalah:

1. Data penting terkait dengan industri: intensitas energi atau intensitas karbon. Untuk intensitas energi, akan termasuk konsumsi energi (termasuk listrik) per ton produk (GJ/ ton produk). Untuk intensitas karbon, akan mencakup emisi CO2 dari proses dan konsumsi energi per ton produk (tCO2/ ton produk)

2. Fitur penting yang terkait dengan biaya: biaya mitigasi total (USD) dan biaya untuk menurunkan emisi GRK (USD/ton CO2)

Indikator ini akan digunakan untuk persyaratan pemantauan/monitoring (MRV).

7. Kebijakan, Upaya dan Instrumen terkait Bidang Industri

Untuk mendukung implementasi dari aksi mitigasi yang berpotensi di bidang industri, maka kebijakan, upaya dan instrumen yang dapat dilakukan dapat dikelompokkan ke dalam kategori (ICCSR, 2010):

  • · Perencanaan: untuk memastikan agar strategi jangka panjang pada industri, energi, transportasi dan limbah konsisten dengan tujuan industri rendah karbon;
  • · Peraturan dan standar: untuk memberikan kesempatan yang sama rata dan kepastian bagi para pelaku industri dan masyarakat dalam mengubah perilaku mereka: Hal tersebut sangat berguna untuk meningkatkan MRV industri secara keseluruhan dan meningkatkan standar kinerja bagi pelaku yang berkinerja rendah;
  • · Instrumen ekonomi: untuk menciptakan insentif pendanaan bagi para pelaku industri agar bisa mengubah perilaku. Insentif pendanaan, misalnya pajak, subsidi, izin perdagangan, sering digunakan oleh pemerintah untuk mendorong pembangunan, difusi teknologi dan upaya baru. Instrumen ekonomi pada umumnya membutuhkan biaya lebih tinggi daripada instrumen lain yang disebutkan, maka biaya tersebut penting untuk mengatasi hambatan;
  • · Informasi dan pemasaran: untuk menyampaikan kebijakan lain, produk maupun jasa baru. Instrumen informasi, contohnya kampanye, dapat mempengaruhi kualitas lingkungan secara positif dengan cara mempromosikan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan, juga berkontribusi terhadap perubahan perilaku masyarakat. Namun demikian, dampak tindakan tersebut terhadap emisi belum dapat diukur dengan pasti.
  • · Teknologi rendah karbon: menggunakan bahan bakar alternatif, sistem tungku baru, motor dengan efisiensi tinggi, produk dan layanan baru.

Dalam implementasi NAMAs di bidang industri, kombinasi dari kebijakan, upaya dan instrumen merupakan hal penting untuk dapat menurunkan emisi baik dalam jangka pendek maupun panjang. Kombinasi kebijakan tersebut harus dipertimbangkan dalam pemodelan terintegrasi untuk menilai usulan skenario aksi mitigasi.

Salah satu instrumen kebijakan nasional yang dapat digunakan untuk NAMAs di bidang industri adalah perjanjian secara sukarela antara industri/swasta dan Pemerintah Indonesia. Perjanjian dan tindakan yang sukarela bertujuan untuk mengubah sikap, meningkatkan kesadaran, menurunkan hambatan untuk inovasi dan adopsi teknologi, dan memfasilitasi kerjasama dengan pemangku kepentingan (IPCC, 2007). Selain itu, juga memiliki peranan penting dalam evolusi kebijakan nasional. Secara global, mayoritas perjanjian tersebut tidak mencapai penurunan emisi GRK secara signifikan di bawah skenario Bisnis Seperti Biasa (BAU). Akan tetapi, beberapa perjanjian yang telah dilakukan di beberapa negara mampu mempercepat penerapan teknologi terbaik dan menghasilkan aksi mitigasi emisi GRK yang dapat diukur.

Ditambah lagi, kesadaran para pelaku industri untuk berpartisipasi dalam program penurunan emisi GRK dan manajemen lingkungan juga perlu ditumbuhkan. Sosialisasi kepada pihak pelaku industri dapat dilakukan dengan menekankan bahwa keuntungan bisa diperoleh bersamaan dengan penurunan emisi GRK. Keuntungan yang dapat diperoleh, antara lain penurunan biaya produksi sejalan dengan penurunan konsumsi energi/bahan baku, peningkatan daya saing pada pasar domestik maupun internasional, hingga pencitraan positif di kalangan konsumen.

Sumber : Konsep Pedoman Umum RAN GRK.

1 komentar:

Rahmi Imanda mengatakan...

artikel yang menarik, kami juga punya artikel terkait 'Gas Rumah Kaca (GRK)' silahkan buka link ini
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/3143/1/PESAT%202005%20_ekonomi_008.pdf
semoga bermanfaat ya

MENGENAL CRITICAL RAW MATERIAL (CRM) – 10: MINERAL PEMBAWA LTJ (RARE EARTH)

Denny Noviansyah Logam Tanah Jarang (LTJ) atau Rare Earth Element (REE) adalah 17 unsur dalam kelompok lantanida yang terdapat dalam tabel u...