Custom Search

Kamis, 04 Oktober 2007

GAGASAN MENUJU HAK AZASI PELAJAR

PROBLEMATIKA PELAJAR :
GAGASAN MENUJU HAK AZASI PELAJAR

Denny Noviansyah

Pertengahan April 2001 yang lalu terjadi tawuran antara mahasiswa Unwim (Universitas Winaya Mukti) dengan mahasiswa Unpad (Universitas Padjadjaran). Tawuran terjadi karena perselisihan yang bermula dari sebuah persenggolaan motor di jalan Ciseke – Sebuah jalan di depan Unpad. Peristiwa tersebut berkembang menjadi kemarahan massal mahasiswa Unwim yang merasa harga dirinya diinjak. Mahasiswa di Bandung tentunya tidak lupa kejadian setahun yang lalu, ketika mahasiswa Unwim menyerang mahasiswa UPI. Penyebab penyerangan ini adalah kalahnya Unwim dalam sebuah pertandingan kejuaraan sepak bola tingkat Kota Bandung. Lalu mahasiswa Unwim pun melakukan penyerangan massal ke Kampus UPI di daerah Cicaheum. Atau peristiwa tawuran antara mahasiswa fakultas teknik di Universitas Trisakti, 24 Juli 2002. Kompas pada hari Kamis, 18 Juli 2002 memberitakan tentang penganiayaan yang dilakukan oleh “Alumni” sebuah SMU Negeri di Jakarta terhadap adik kelasnya.
Data mengenai tawuran pelajar pun tidak kalah dahsyatnya. Menurut BIMAS MABES POLRI antara tahun 1995 – 1999 terjadi sejumlah 1316 kasus tawuran Se-Indonesia. Untuk di Pulau Jawa terjadi sejumlah sebesar 933 kasus. Untuk di Polda Metro Jaya terjadi sejumlah 810 kasus tawuran pelajar. Sedangkan untuk tawuran di luar Pulau Jawa paling banyak terjadi di Polda Sumsel, sebanyak 253 kasus. Dengan tingkat radikalisasi pelajar – yang sudah menjurus kepada kriminalitas – makin kuat. Indikatornya dapat dilihat dari model tawuran yang terjadi di Bogor antara SMU YZA dengan SMK PGRI 3. Para pelajar yang melakukan tawuran sudah tidak lagi memakai senjata tajam, tetapi sudah memakai bom molotov. Atau bentuk kriminalitas yang terjadi oleh pelajar, dari pemerasan dan penjambretan di bus kota sampai pembajakan bus kota.
Beberapa penyebab terjadinya tawuran antar mahasiswa atau pelajar ini adalah Pertama kesenjangan ekonomi yang makin jauh. Sebagian besar mahasiswa/pelajar yang ikut tawuran merupakan masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Kedua Solidaritas kelompok. Kelompok masyarakat yang berpartisipasi dalam aktivitas ini memiliki tingkat soliditas yang kuat. Jika terjadi kekerasan pada salah satu anggota kelompok tersebut, maka komunitas kelompok tersebut akan
berpartisipasi untuk membela anggotanya. Ketiga Tingkat Intelektual yang rendah dengan tingkat emosi yang rentan. Sehingga rasionalitas tidak lagi dipandang sebagai metode untuk menyelesaikan konflik.
Dengan kondisi seperti di atas, bagaimana sistem pendidikan di Indonesia dapat memfasilitasi terjadinya peristiwa di atas ? Apakah pelajar sebagai elemen dalam sistem pendidikan mempunyai hak-hak yang cukup untuk mengadvokasi dirinya sendiri ? Apakah perlu membentuk kerangka hukum tertentu untuk membangun advokasi pelajar ?
SUBJEK PENDIDIKAN
Dalam UUD 1945 ditandaskan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah Mencerdaskan kehidupan bangsa. Agenda untuk mewujudkan visi ini dilakukan dengan Pertama pendidikan yang diselenggarakan oleh negara dan masyarakat. Kedua Pembentukan Karakter dan budaya bangsa yang bermartabat.
Faktanya hari ini, negara sebagai fihak yang harus menyelenggarakan pendidikan secara merata kepada rakyat tidak mampu berbuat banyak ketika menghadapi tingginya drop out pelajar (lihat Kompas (18/4/01) sekitar 800.000-900.000 pelajar SD putus sekolah akibat berbagai sebab, atau Kompas (21/4/01) 212.132 anak putus sekolah, dengan 115.239 diantaranya lulusan SD/MI), kekurangan tenaga kependidikan (Lihat Kompas (28/4/01) di NTT kekurangan guru), penyediaan sarana dan pra sarana pendidikan dan lain-lain. Banyak masyarakat menilai kondisi ini terjadi karena sektor pendidikan diberikan prioritas yang rendah dalam penyelenggaraan negara, sehingga anggaran untuk mencukupi kebutuhannya pun hanya 3,8 % dari total APBN. Bandingkan dengan negara seperti India atau Malaysia yang memprioritaskan pendidikan, sehingga negara memberikan anggaran 25 % untuk sektor pendidikan.
Dalam UU No. 2 tahun 1989, terjadi ketidakadilan yang diberikan kepada peserta didik. Dapat dilihat bahwa asumsi pendidikan Indonesia adalah hendak melatih dan memberikan bekal kepada rakyat Indonesia. Bekal yang diharapkan mampu membawa nuansa kemandirian kepada peserta didik kelak. Namun kenyataan dilapangan peserta didik tidak diberikan banyak pilihan untuk menentukan nasib mereka. Pendidikan telah dijadikan model doktrin dan pemaksaan kehendak para pelaku kebijakan. Sebagai sebuah contoh kecil adalah model pelajaran matematika kepada anak SD kelas 1. Himpunan 3 buah apel ditambah himpunan 5 buah jeruk menjadi berapa ? Guru memaksakan jumlahnya adalah 8. Namun, ketika murid menjawab sejumlah 3 buah apel dan 5 buah jeruk dijawab salah oleh guru.
Oleh Freire sistem pendidikan di atas dikatakan sistem pendidikan gaya bank. Dimana peserta didik diasumsikan adalah bank atau celengan kosong yang hanya siap diberikan pundi-pundi uang. Tidak dilihat bahwa peserta didik adalah manusia yang mempunyai cara pandang khas dan pengalaman tertentu. Bagi Freire pendidikan yang memanusiakan adalah pendidikan yang membebaskan. Dimana peserta didik dan tenaga kependidikan bukan saja bagian integral dalam sistem pendidikan, namun keduanya merupakan subjek pendidikan. Dimana realitas adalah objek yang akan dikaji bersama. Sehingga posisi guru dapat menjadi murid dan murid dapat menjadi guru. Sehingga murid mampu mengapresiasikan pikiran dan keinginannya tanpa harus mengalami intervensi kuat dari profil guru. Murid dapat membangun kreativitasnya sendiri. Ada beberapa contoh manusia-manusia terkenal di muka bumi ini yang dianggap tidak mampu beradaptasi dalam proses pembelajaran di sekolahnya. Tetapi mereka menjadi orang-orang besar. Seperti; Albert Einstein, Isaac Newton atau Hitler. Dengan format dan gayanya sendiri manusia-manusia ini mampu menjadi manusia pembelajar dan mempunyai kontribusi kuat terhadap perubahan di muka bumi ini.
Dengan bahasa lain Erich Fromm menulis dalam kata pengantar buku Summerhill: A Radical Aproach in Child Learning (1960),
“ … Sistem kita menciptakan manusia-manusia yang cita rasanya seragam, seleranya distandarisaikan, yang gampang dipengaruhi, yang kebutuhan – kebutuhannya dapat diantisipasi. Sistem kita membutuhkan manusia - manusia yang merasa bebas dan mandiri, tapi sebenarnya mau menjalankan apa pun yang diharapkan oleh sistem, manusia-manusia yang cocok dengan mesin sosial tanpa menimbulkan gesekan, yang dapat dituntun tanpa harus dipaksa, yang dapat digiring tanpa mesti ada pemimpin, yang dapat diarahkan tanpa sasaran apapun kecuali menghasilkan ‘sesuatu yang baik’ …”.

Untuk mewujudkan konsep pendidikan yang membebaskan sangat tepat sekali jika wacana revisi UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional diangkat. Beberapa poin yang dapat didiskusikan adalah Pertama dalam pasal 1 mengenai definisi tenaga kependidikan dan peserta didik. Masing-masing definisi dalam pasal 1 tersebut sudah cukup tepat, namun perlu ada penegasan bahwa tenaga kependidikan dan peserta didik merupakan subjek pendidikan. Kedua Dalam klausul menimbang ditambahkan kata mandiri, sehingga : bahwa pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya m
encerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur dan mandiri serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri baik berkenaan dengan aspek jasmaniah maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam klausul ini ditambahkan kata mandiri. Makna mandiri dalam klausul tersebut memberikan pemahaman bahwa sistem pendidikan merupakan syarat menuju masyarakat madani. Karena salah satu syarat dalam masyarakat madani adalah kemandirian rakyat.

PENDEKATAN HUKUM
Bagi negara, pembuatan Sistem Hukum Nasional dan pengimplementasiannya merupakan bagian dari politik hukum. Bagi negara Indonesia politik hukum berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pada setiap penentuan isi, cara pembentukan dan penegakannya. Politik hukum Indonesia meliputi :
  1. Adanya kesatuan sistem hukum nasional.
  2. Sistem hukum nasional dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945.
  3. Tidak ada hukum yang memberikan hak-hak isteimwa pada warga negara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan kepada kepentingan nasional; dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa.
  4. Pembentukan hukum memperhatikan keamjemukan masyarakat.
  5. Hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjangnyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan nasional.
  6. Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan atas partisipasi masyarakat.
  7. Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum.
Hukum adalah produk kekuasaan politik. Eugen Erlich mengemukakan bahwa “ … that Law depends of popular acceptance and that each group creates its own living law which alone has creative force”. Hukum tergantung pada penerimaan umum dan bahwa setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup, dimana di dalamnya masing-masing mengandung kekuatan kreatif.
Ahmad Ali memandang hukum sebagai kaidah (das sollen) dan kenyataan (das sein). Hukum sendiri diberikan pengertian sebagai :
“seperangkat kaidah atau ukuran yang tersusun dalam satu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut. Serba benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai suatu keseluruhan) dalam kehidupannya. Jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang bersifat eksternal”

Sedangkan Gluckman mendefinisikan bahwa hukum adalah keseluruhan gudang aturan di mana para hakim mendasarkan putusannya. (Law is the whole rescervoir of rules on which judges draw for their decision). Hukum juga berfungsi sebagai alat kontrol sosial, alat rekayasa sosial, simbol, instrumen politik dan integrator.

PEMBELAAN HAK AZASI PELAJAR
Pelajar termarjinalkan merupakan fakta yang tidak bisa terbantahkan sampai hari ini. Kasus-kasus yang menimpa pelajar seperti tawuran, sex bebas, obat-obatan, dan lainnya. Namun sampai hari ini masih cukup sulit untuk memberikan kesempatan lebih kepada pelajar. Pertama Belum ada perangkat hukum yang jelas dalam membela hak-hak pelajar. Sampai hari ini memang ada upaya untuk melakukan ‘pembinaan’ terhadap pelajar yang melakukan tawuran. Namun, belum pernah ada penyelesaian yang tuntas bagi para korban tawuran. Paling minimal hanya tanggungan biaya rumah sakit dari pihak sekolah yang melakukan penyerangan. Sehingga ada semacam tekanan psikologis bagi pelajar yang -dianggap masyarakat sebagai sumber tawuran – untuk bersekolah. Sehingga bagi mereka lebih baik melakukan tawuran atau membolos dari pada bersekolah.
Kedua Kesadaran hukum masyarakat masih rendah. Ditambah trauma masyarakat ketika melihat tawuran pelajar sudah berubah dari sekedar kenakalan remaja menjadi kriminalitas remaja.. Sehingga timbul reaksi spontan dari masyarakat yang sering terkena dampak tawuran untuk membentengi diri mereka sendiri. Penulis pernah melihat di daerah Jatiluhur Purwakarta, ketika sekelompok pelajar menarik perhatian masyarakat. Yang dilakukan masyarakat adalah keluar dari rumahnya dengan membawa berbagai senjata tajam. Sehingga timbul bentrokan antara masyarakat dengan pelajar. Dan penulis melihat tiga orang pelajar tergeletak di pom bensin, dengan kepala mereka terluka. Sedangkan masyarakat sekitar hanya menonton saja tanpa memberikan bantuan yang cukup memadai. Kenyataan ini memberikan makna tersembunyi bahwa terjadi jurang pemisah yang cukup jelas antara komunitas pelajar dengan realitas masyarakat.
Ketiga Media masih menganggap bahwa isu pelajar bukan isu yang menarik. Dalam kasus ini pemberitaan pelajar yang diekspos lebih sering kriminalitas pelajar, dari pada upaya yang dilakukan organ pelajar untuk menyelesaikan kasus tawuran. Keempat Pelajar sampai hari ini hanya diposisikan sebagai manusia muda yang hanya mempunyai hak dan kewajiban sebagai manusia yang harus belajar dalam sistem bernama sekolah. Sehingga ketika terjadi tawuran, sekolah lebih sering cuci tangan. Bahkan lebih jauh lagi pelajar yang tertangkap basah dikeluarkan dari sekolah.
Dalam konteks ini, perlu dipikirkan hak pelajar dalam sistem pendidikan. Hak pelajar ini dapat dimaknai sebagai Hak Azasi Pelajar (Student Rights). Hak Azasi Pelajar merupakan Hak Pelajar sebagai bagian dari komponen bangsa, bagian dari sistem masyarakat dan bagian dari sistem pendidikan. Pengejewantahan Hak Azasi ini dapat diberikan dalam UU tersendiri mengenai Hak Azasi Pelajar dan bagian dari UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional sendiri Hak Azasi Pelajar dapat ditambahkan dalam pasal 24 yaitu ;
Pertama Setiap peserta didik berhak mengorganisasikan diri untuk mengembangkan kemampuan minat dan bakat. Dimana sekolah juga memberikan kesempatan kepada organ-organ pelajar non OSIS untuk terlibat aktif dalam pembelajaran pelajar di sekolah. Kalau dilihat secara sekilas, timbulnya tawuran pertama kali di sekolah bertepatan dengan diberlakukannya monolotisasi OSIS dan asas tunggal. Sehingga organ-organ pelajar yang terbiasa membina pelajar di sekolah mendapatkan hambatan untuk dapat masuk ke sekolah untuk membina pelajar.
Kedua Peserta didik berhak mengadakan dan menerima advokasi. Dalam konteks ini, pelajar perlu merumuskan hak asasinya sendiri. Dengan pembentukan dan pemberlakuan Hak Asasi Pelajar (Student Right) pelajar dapat membela diri mereka atas berbagai penindasan yang dilakukan baik oleh sistem pendidikan, masyarakat umum atau pelajar lain. Dimana beberapa batasan hak asasi pelajar beririsan dengan konvensi hak anak. Diantaranya
Ketiga Pelajar berhak menolak segala bentuk eksploitasi diri mereka sendiri. Hal ini didasarkan kepada kenyataan makin maraknya pekerja anak. Fenomena pekerja anak menjadi khusus, dikarenakan bentuk eksploitasinya melanggar hak asasi manusia. Gagasan untuk memberdayakan dan mengadvokasi pekerja anak merupakan suatu upaya agar tidak terjadi loss generation di negeri ini.
Keempat Pelajar berhak menentukan organisasi pelajar yang dipilihnya sendiri. Gagasan ini merupakan tesis dari monopolitisasi OSIS di sekolah. Fakta lapangan menunjukkan sikap ambigu dari pihak sekolah terhadap monopolitisasi OSIS ini. Makna Keputusan Menteri tentang monopolitisasi OSIS adalah OSIS sebagai satu-satunya orgnasisasi siswa atau pelajar yang berhak hidup di sekolah. Namun, implementasinya menunjukkan masih terdapat organisasi lain di sekolah yang disebut ekstra kulikuler. Persoalannya adalah, beberapa ekstra kulikuler dilarang hidup di sekolah, dikarenakan mereka mempunyai struktur kepemimpinan sampai tingkat nasional. Seperti pramuka, PMR. Namun, beberapa organisasi yang pelajar yang mempunyai struktur kepemimpinan sampai tingkat nasional dilarang untuk hidup di sekolah-sekolah, seperti GSNI (Gerakan Siswa Nasionalis Indonesia), IPPNU (Ikatan Putra Putri NU), IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyyah), PII (pelajar Islam Indonesia) dan berbagai organisasi pelajar lainnya.
Kelima Pelajar berhak menolak sistem pendidikan yang tidak membebaskan dan mendapatkan pendidikan gratis. Kondisi ini didasarkan kepada pembaharuan paradigma pendidikan. Dari pure pedagogi (gaya pendidikan klasik) menuju andragogi (gaya pendidikan orang dewasa).
Keenam Para pelajar korban kekerasan pelajar mendapatkan perlindungan dan hukum dari masyarakat dan aparat. Hal ini untuk mengantisipasi kejadian tawuran pelajar dan konsep perpeloncoan pelajar. Dimana perpeloncoan yang dimaksud lebih cenderung kepada eksploitasi dan pelanggaran Hak Azasi Manusia daripada memberdayakan kemampuan pelajar tersebut.
Ketujuh Pelajar putri korban perkosaan berhak untuk melanjutkan sekolah kembali. Namun perlu ada definisi yang jelas mengenai korban perkosaan. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat mengenai korban perkosaan dengan sex bebas.

KESIMPULAN
Problematika pelajar sudah menjadi laten bagi bangsa ini. Padahal problematika pelajar merupakan buah dari sistem pendidikan yang tidak membebaskan. Pelajar sebagai bagian dari sistem negara ini, sampai saat ini masih termarginalkan. Sebagai upaya pemberdayaan terhadap pelajar ini, maka perlu dibangun perangkat hokum yang khusus membahas mengenai persoalan pelajar.
Sebagai upaya pemberdayaan, maka perlu disosialisasikan wacana reposisi pelajar sampai tingkatan praksis di negara ini. Reposisi ini dapat dilaksanakan dengan tiga cara. Pertama Sistem perundangan dengan mengamandemen UU Sistem Pendidikan Nasional. Kedua Pendefinisian dan Penegakan Hak Azasi Pelajar (Student Rights). Ketiga Pembentukan UU mengenai Perlindungan Hak-Hak Pelajar.

Tidak ada komentar:

Model Pengembangan Rantai Pasok Rumput Laut oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guna Pemenuhan Kebutuhan Rumput Laut Dan Produk Turunannya

Denny Noviansyah Abstrak Indonesia sebagai negara Maritim mempunyai Panjang pantai seluas 95.181 km 2 . Pesisir pantai mempunyai berbagai je...