I. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO) akan menghadapi suatu kondisi dimana pasar dalam negeri akan terbuka seiring dengan diterapkannya AFTA, APEC pada tahun 2010. Dengan adanya pasar bebas ini maka produk-produk dari negara lain akan membanjiri pasar nasional maupun internasional.Persaingan yang terjadi akan bersifat global karena Indonesia akan bersaing dengan seluruh negara di tingkat pasar internasional. Untuk menghadapi persaingan tersebut maka diperlukan industri dalam negeri yang mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut sehingga mampu menghasilkan produk-produk yang berdaya saing tinggi di pasar dunia. Untuk itu dituntut adanya efisiensi di semua aspek baik dalam proses produksi maupun pemasaran produk-produk itu sendiri.
Sektor Industri merupakan komponen utama pembangunan ekonomi nasional yang mampu memberikan kontribusi output bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2004, sumbangan industri non migas terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto Nasional adalah sebesar 24,6%. Kontribusi terbesar pada tahun 2004 tersebut didapatkan dari Industri Alat Angkut, Industri Mesin dan Peralatannya, Industri Pupuk, Kimia, Kertas serta Barang dari Karet.
Pertumbuhan industri di Indonesia yang mencapai 7,5% pada tahun 2004 tersebut membawa konsekuensi baru terkait dengan pemakaian energi sektor industri di Indonesia. Sesuai dengan data yang ada di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sejak tahun 2001 pemakai energi terbesar di Indonesia adalah sektor industri.Pada tahun 2004 sektor industri menggunakan energi sebanyak 201,3 MBOE (38,5%) dimana sektor Rumah Tangga dan Komersial menggunakan energi sebanyak 123 MBOE (23,5%) dan sektor transportasi sebanyak 198,9 MBOE (38%). Hal ini dikarenakan energi merupakan faktor utama dalam proses produksi dan apabila industri berhasil memanfaatkan energi secara bijaksana maka hal tersebut akan mendorong terwujudnya efisiensi secara keseluruhan karena energi merupakan kunci utama dalam efisiensi.
Sejalan dengan telah dimulainya era globalisasi ekonomi maka hal ini berdampak sangat besar dalam hal persaingan produk-produk hasil manufaktur Indonesia dengan negara lain. Pada tahun 2004, kontribusi industri terhadap PDB Indonesia adalah sebesar 24,52% dan dikhawatirkan kondisi ini akan berubah apabila industri di Indonesia tidak mampu bersaing di pasar dunia. Apabila hal ini dikaitkan dengan penggunaan energi BBM yang terus meningkat di sektor industri, maka akan membawa dampak dan tantangan besar dalam peningkatan daya saing industri indonesia dan penyediaan energi di masa yang akan datang.
Sektor Industri sebagai salah satu pengguna BBM diharapkan dapat berperan serta dalam menyelesaikan masalah energi nasional tersebut. Apalagi tidak dapat dipungkiri bahwasanya electricity cost dalam production cost merupakan salah satu variabel yang sangat besar nilainya, dan pada saat ini terbukti hal tersebut menyebabkan produk dari Indonesia kalah bersaing di global market karena harga yang sudah tidak kompetitif jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti yang diungkapkan oleh bank dunia atau economi watch dimana produk manufaktur indonesia berada pada urutan ke 59 dari 60 negara yang diteliti.
Semakin menipisnya kondisi sumber energi berbahan bakar minyak dunia dewasa ini mengakibatkan makin tingginya harga minyak dunia yang telah mencapai US$ 70 per barel. Untuk mengantisipasi dan mempertimbangkan kondisi bahan bakar minyak, pemerintah membuat sebuah program yang bertujuan untuk mengarahkan upaya – upaya dalam mewujudkan keamanan PASOK energi dalam negeri yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2005 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Peraturan Presiden tersebut ditetapkan sasaran Kebijakan Energi Nasional sebagai berikut:
1. Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu ) pada tahun 2025;
2. Terwujudnya energi (primer ) mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing –masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional:
Indonesia sebagai negara anggota World Trade Organization (WTO) akan menghadapi suatu kondisi dimana pasar dalam negeri akan terbuka seiring dengan diterapkannya AFTA, APEC pada tahun 2010. Dengan adanya pasar bebas ini maka produk-produk dari negara lain akan membanjiri pasar nasional maupun internasional.Persaingan yang terjadi akan bersifat global karena Indonesia akan bersaing dengan seluruh negara di tingkat pasar internasional. Untuk menghadapi persaingan tersebut maka diperlukan industri dalam negeri yang mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut sehingga mampu menghasilkan produk-produk yang berdaya saing tinggi di pasar dunia. Untuk itu dituntut adanya efisiensi di semua aspek baik dalam proses produksi maupun pemasaran produk-produk itu sendiri.
Sektor Industri merupakan komponen utama pembangunan ekonomi nasional yang mampu memberikan kontribusi output bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2004, sumbangan industri non migas terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto Nasional adalah sebesar 24,6%. Kontribusi terbesar pada tahun 2004 tersebut didapatkan dari Industri Alat Angkut, Industri Mesin dan Peralatannya, Industri Pupuk, Kimia, Kertas serta Barang dari Karet.
Pertumbuhan industri di Indonesia yang mencapai 7,5% pada tahun 2004 tersebut membawa konsekuensi baru terkait dengan pemakaian energi sektor industri di Indonesia. Sesuai dengan data yang ada di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral sejak tahun 2001 pemakai energi terbesar di Indonesia adalah sektor industri.Pada tahun 2004 sektor industri menggunakan energi sebanyak 201,3 MBOE (38,5%) dimana sektor Rumah Tangga dan Komersial menggunakan energi sebanyak 123 MBOE (23,5%) dan sektor transportasi sebanyak 198,9 MBOE (38%). Hal ini dikarenakan energi merupakan faktor utama dalam proses produksi dan apabila industri berhasil memanfaatkan energi secara bijaksana maka hal tersebut akan mendorong terwujudnya efisiensi secara keseluruhan karena energi merupakan kunci utama dalam efisiensi.
Sejalan dengan telah dimulainya era globalisasi ekonomi maka hal ini berdampak sangat besar dalam hal persaingan produk-produk hasil manufaktur Indonesia dengan negara lain. Pada tahun 2004, kontribusi industri terhadap PDB Indonesia adalah sebesar 24,52% dan dikhawatirkan kondisi ini akan berubah apabila industri di Indonesia tidak mampu bersaing di pasar dunia. Apabila hal ini dikaitkan dengan penggunaan energi BBM yang terus meningkat di sektor industri, maka akan membawa dampak dan tantangan besar dalam peningkatan daya saing industri indonesia dan penyediaan energi di masa yang akan datang.
Sektor Industri sebagai salah satu pengguna BBM diharapkan dapat berperan serta dalam menyelesaikan masalah energi nasional tersebut. Apalagi tidak dapat dipungkiri bahwasanya electricity cost dalam production cost merupakan salah satu variabel yang sangat besar nilainya, dan pada saat ini terbukti hal tersebut menyebabkan produk dari Indonesia kalah bersaing di global market karena harga yang sudah tidak kompetitif jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti yang diungkapkan oleh bank dunia atau economi watch dimana produk manufaktur indonesia berada pada urutan ke 59 dari 60 negara yang diteliti.
Semakin menipisnya kondisi sumber energi berbahan bakar minyak dunia dewasa ini mengakibatkan makin tingginya harga minyak dunia yang telah mencapai US$ 70 per barel. Untuk mengantisipasi dan mempertimbangkan kondisi bahan bakar minyak, pemerintah membuat sebuah program yang bertujuan untuk mengarahkan upaya – upaya dalam mewujudkan keamanan PASOK energi dalam negeri yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2005 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Peraturan Presiden tersebut ditetapkan sasaran Kebijakan Energi Nasional sebagai berikut:
1. Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu ) pada tahun 2025;
2. Terwujudnya energi (primer ) mix yang optimal pada tahun 2025, yaitu peranan masing –masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional:
- Minyak bumi menjadi kurang dari 20 % ( dua puluh persen );
- Gas bumi menjadi lebih dari 30 % ( tiga puluh persen );
- Bahan bakar nabati ( biofuel ) menjadi lebih dari 5 % ( lima persen );
- Panas bumi menjadi lebih dari 5 % ( persen );
- Energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa, nuklir,tenaga air, tenaga surya,dan tenaga angin memjadi lebih dari 5 % (lima persen );
- Batubara yang dicairkan ( liquefied coal ) menjadi lebih dari 2 % ( dua persen ).
Sasaran ini dapat dicapai melalui kebijakan dari penyedian energi dan pemanfaatan energi. Dari segi pemanfaatan energi dapat dilakukan melalui efisiensi, konservasi dan diversifikasi energi karena Indonesia mempunyai banyak bahan bakar alternatif yang bisa digunakan sebagai bahan bakar pengganti, seperti batubara, gas alam dsb.
Adapun Potensi energi nasional menurut jenisnya adalah sebagai berikut:
1. Potensi Minyak Bumi sebesar 86,9 milyar barel, sedangkan cadangan 9 milyar barel dan produksi 500 juta barel pertahun;
2. Potensi gas Bumi sebesar 384,7 Triliun Standar kaki Kubik (TSCF), cadangan 182 TSCF dan produksi 3 TCSF;
3. Potensi Batubara sebesar 57 milyar Ton, cadangan sebesar 19,3 milyar ton dan produksi sebesar 130 juta ton;
4. Potensi tenaga air 75,67 GW dan panas bumi 27 GW, kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik sebesar 24.000 Mw, konsumsi tenaga listrik perkapita tahun 2003 sebesar 0,467 MWh.
II. KEBIJAKAN INDUSTRI
Industri di Indonesia sangat beraneka ragam meliputi variasi komoditi yang luas mulai dari bahan baku, barang modal hingga barang konsumsi. Sebagian dari industri-industri tersebut telah menggunakan teknologi yang maju dan sebagian merupakan industri yang padat energi dan padat modal. Industri tekstil dan produk tekstil serta industri logam merupakan contoh dari industri yang mengkonsumsi energi cukup besar dalam proses produksinya.
Departemen Perindustrian telah mengeluarkan Kebijakan Pengembangan Industri Nasional yang dimaksudkan untuk memberikan arah bagi para pengembang industri nasional di masa mendatang.
Dalam jangka panjang pembangunan industri harus mampu memberikan sumbangan sebagai berikut:
1. Pembangunan Industri Nasional harus mampu memberikan sumbangan nyata dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat luas secara adil dan merata;
2. Pembangunan industri harus mampu ikut membangun budaya bangsa yang kondusif terhadap proses industrialisasi;
3. Pembangunan industri harus mampu menjadi wahana peningkatan kemampuan inovasi dengan wirausaha bangsa di bidang teknologi industri dan manajemen;
4. Pembangunan industri harus mampu ikut menunjang kemampuan bangsa dalam memperhatikan eksistensi dan keselamatan bangsa.
Departemen Perindustrian sebagai Dewan Pembina Industri sangat memahami bahwa masalah energi merupakan suatu faktor yang sangat dominan dalam kelangsungan usaha industri di Indonesia. Adapun permasalahan di bidang energi yang terkait dengan sektor industri adalah:
1. Kebutuhan akan energi, baik listrik maupun migas terus bertambah;
2. Semakin berkurangnya sumber daya alam penghasil energi;
3. Kemampuan negara yang semakin berkurang untuk terus mensubsidi sektor energi;
4. Semakin meningkatnya harga jual listrik dan migas sebagai konsekuensi pengurangan subsidi.
Adapun Kebijakan Industri dalam mendukung bidang energi adalah sebagai berikut:
Industri di Indonesia sangat beraneka ragam meliputi variasi komoditi yang luas mulai dari bahan baku, barang modal hingga barang konsumsi. Sebagian dari industri-industri tersebut telah menggunakan teknologi yang maju dan sebagian merupakan industri yang padat energi dan padat modal. Industri tekstil dan produk tekstil serta industri logam merupakan contoh dari industri yang mengkonsumsi energi cukup besar dalam proses produksinya.
Departemen Perindustrian telah mengeluarkan Kebijakan Pengembangan Industri Nasional yang dimaksudkan untuk memberikan arah bagi para pengembang industri nasional di masa mendatang.
Dalam jangka panjang pembangunan industri harus mampu memberikan sumbangan sebagai berikut:
1. Pembangunan Industri Nasional harus mampu memberikan sumbangan nyata dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat luas secara adil dan merata;
2. Pembangunan industri harus mampu ikut membangun budaya bangsa yang kondusif terhadap proses industrialisasi;
3. Pembangunan industri harus mampu menjadi wahana peningkatan kemampuan inovasi dengan wirausaha bangsa di bidang teknologi industri dan manajemen;
4. Pembangunan industri harus mampu ikut menunjang kemampuan bangsa dalam memperhatikan eksistensi dan keselamatan bangsa.
Departemen Perindustrian sebagai Dewan Pembina Industri sangat memahami bahwa masalah energi merupakan suatu faktor yang sangat dominan dalam kelangsungan usaha industri di Indonesia. Adapun permasalahan di bidang energi yang terkait dengan sektor industri adalah:
1. Kebutuhan akan energi, baik listrik maupun migas terus bertambah;
2. Semakin berkurangnya sumber daya alam penghasil energi;
3. Kemampuan negara yang semakin berkurang untuk terus mensubsidi sektor energi;
4. Semakin meningkatnya harga jual listrik dan migas sebagai konsekuensi pengurangan subsidi.
Adapun Kebijakan Industri dalam mendukung bidang energi adalah sebagai berikut:
- Tidak menghambat teknologi baru di bidang energi; Teknologi yang ada di Indonesia pada saat ini belum seluruhnya menganut prinsip Hemat Energi, masih ada beberapa industri yang menggunakan teknologi yang padat energi seperti pada industri baja, industri tekstil dan industri pulp dan kertas. Untuk itu, sangat diperlukan penemuan-penemuan teknologi baru yang hemat energi karena dengan begitu diharapkan akan tercapai efisiensi proses produksi.
- Meningkatkan motivasi dunia usaha/industri untuk melaksanakan Konservasi Energi; Persaingan produk di pasar global, keharusan industri untuk meningkatkan daya saing dan permasalahan-permasalahan seperti tersebut di atas telah menjadi faktor pendorong untuk memulai Konservasi dan Diversifikasi Energi di Sektor Industri. Konservasi dan Diversifikasi Energi sebagai bagian dari kebijakan energi nasional harus terus disebarluaskan agar dapat mendorong peran serta semua pihak yang berkepentingan dengan ketersedian dan pemakaian energi nasional. Progam Konservasi Energi telah cukup kuat memiliki landasan hukum terutama dengan telah diterbitkannya Keppres No. 43 Tahun 1991 Tentang Konservasi Energi yang mencakup semua sektor kegiatan pengguna energi. Sebagai salah satu pengguna energi yang cukup besar, sektor industri memberikan peluang penghematan energi cukup besar dibandingkan dengan sektor lain.
- Memasyarakatkan audit energi pada dunia usaha/industri; Pada tahun 2006, Departemen Perindustrian akan melakukan audit energi pada 2 jenis industri yang padat energi yaitu jenis industri baja dan industri pulp dan kertas yang ada di Surabaya. Untuk tahun berikutnya direncanakan audit energi ini akan dilakukan di daerah lain.
- Menggalakkan pemanfaatan teknologi hemat energi pada industri baru;
- Mendorong dunia industri untuk menggunakan energi alternatif seperti biodiesel;
- Memasyarakatkan kepada dunia usaha/industri mengenai pentingnya mempunyai Manager Energi.
III. LANGKAH PENGHEMATAN ENERGI SEKTOR INDUSTRI
Dampak dari pengurangan subsidi di bidang energi pada sektor industri adalah sebagai berikut:
1. Penurunan daya saing industri;
2. Peningkatan total cost production yang mengarah ke inefisiensi;
3. Industri dituntut untuk melakukan penghematan energi secara besar-besaran;
4. Perlunya dimulai langkah-langkah dalam penyediaan teknologi penyedia energi alternatif.
Kebijakan Konservasi Energi sektor Industri mengacu pada Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN). RIKEN merupakan program yang ditujukan untuk menurunkan intensitas penggunaan energi nasional rata-rata 1% per tahun hingga tahun 2010.
Pokok-pokok arahan kebijakan konservasi energi sektor industri adalah sebagai berikut:
1. Menerapkan teknologi hemat energi melalui litbang energi dan industri;
2. Meningkatkan kesadaran pemanfaatan peluang-peluang potensi penghematan energi di industri;
3. Meningkatkan pengetahuan terkeni teknologi dan cara-cara konservasi energi melalui pelatihan, diseminasi, workshop dengan instansi terkait, maupun kerjasama luar negeri;
4. Menerapkan prinsip-prinsip hemat energi mulai dari perencanaan, pengoperasian dan pengawasan;
5. Memanfaatkan teknologi bahan bakar fosil yang lebih bersih seperti gas bumi dsb;
6. Menjadikan efisiensi pemakaian energi sebagai tolak ukur dari produktifitas industri;
7. Membuat pedoman pelaksanaan konservasi energi di sektor industri untuk industri yang pada energi;
8. Mengembangkan inisiatif konservasi energi untuk meningkatkan efisiensi produk industri manufaktur antara lain membuat benchmark intensitas pemakaian energi dan menetapkan standar efisiensi energi minimum.
Secara teknis peluang penghematan energi disektor industri terindentifikasi dan dapat direalisasikan menjadi penghematan nyata melalui :
Dampak dari pengurangan subsidi di bidang energi pada sektor industri adalah sebagai berikut:
1. Penurunan daya saing industri;
2. Peningkatan total cost production yang mengarah ke inefisiensi;
3. Industri dituntut untuk melakukan penghematan energi secara besar-besaran;
4. Perlunya dimulai langkah-langkah dalam penyediaan teknologi penyedia energi alternatif.
Kebijakan Konservasi Energi sektor Industri mengacu pada Rencana Induk Konservasi Energi Nasional (RIKEN). RIKEN merupakan program yang ditujukan untuk menurunkan intensitas penggunaan energi nasional rata-rata 1% per tahun hingga tahun 2010.
Pokok-pokok arahan kebijakan konservasi energi sektor industri adalah sebagai berikut:
1. Menerapkan teknologi hemat energi melalui litbang energi dan industri;
2. Meningkatkan kesadaran pemanfaatan peluang-peluang potensi penghematan energi di industri;
3. Meningkatkan pengetahuan terkeni teknologi dan cara-cara konservasi energi melalui pelatihan, diseminasi, workshop dengan instansi terkait, maupun kerjasama luar negeri;
4. Menerapkan prinsip-prinsip hemat energi mulai dari perencanaan, pengoperasian dan pengawasan;
5. Memanfaatkan teknologi bahan bakar fosil yang lebih bersih seperti gas bumi dsb;
6. Menjadikan efisiensi pemakaian energi sebagai tolak ukur dari produktifitas industri;
7. Membuat pedoman pelaksanaan konservasi energi di sektor industri untuk industri yang pada energi;
8. Mengembangkan inisiatif konservasi energi untuk meningkatkan efisiensi produk industri manufaktur antara lain membuat benchmark intensitas pemakaian energi dan menetapkan standar efisiensi energi minimum.
Secara teknis peluang penghematan energi disektor industri terindentifikasi dan dapat direalisasikan menjadi penghematan nyata melalui :
1. Penataan (House Keeping)
Adalah memonitor pemakaian energi dan mencari peluang-peluang mana yang dapat dilakukan penghematan, kemudian memperbaiki pola pemakaian energi tanpa menambah peralatan hemat energi. Cara ini dapat menghemat sekitar 5-10% dari suplai energi dengan ongkos yang relatif rendah, tidak memerlukan investasi dan dalam jangka waktu singkat;
2. Modifikasi dengan investasi sedang:
Adalah penggantian alat-alat yang boros energi dengan yang relatif hemat energi misal penggantian motor listrik yang mempunyai efisiensi tinggi, pengontrolan sistem pembakaran di Furnace dan Boiler serta melakukan pemakaian panas yang kiranya masih dapat dipakai lagi sebagai sumber energi. Penurunan pemakaian energi yang diperoleh dari proses ini sekitar 7-15%;
3. Penggantian proses
Adalah modifikasi rancang bangun proses produksi energi yang termasuk dalam utilitas penunjang. Misalnya dengan penggunaan Heat recovery Boiler pada industri-industri tertentu (Industri Kertas dan Pupuk), pemakaian cogeneration pada unit utilitas dll. Penurunan pemakaian enenrgi dapat dicapai sekitar 20-30%.
Adalah memonitor pemakaian energi dan mencari peluang-peluang mana yang dapat dilakukan penghematan, kemudian memperbaiki pola pemakaian energi tanpa menambah peralatan hemat energi. Cara ini dapat menghemat sekitar 5-10% dari suplai energi dengan ongkos yang relatif rendah, tidak memerlukan investasi dan dalam jangka waktu singkat;
2. Modifikasi dengan investasi sedang:
Adalah penggantian alat-alat yang boros energi dengan yang relatif hemat energi misal penggantian motor listrik yang mempunyai efisiensi tinggi, pengontrolan sistem pembakaran di Furnace dan Boiler serta melakukan pemakaian panas yang kiranya masih dapat dipakai lagi sebagai sumber energi. Penurunan pemakaian energi yang diperoleh dari proses ini sekitar 7-15%;
3. Penggantian proses
Adalah modifikasi rancang bangun proses produksi energi yang termasuk dalam utilitas penunjang. Misalnya dengan penggunaan Heat recovery Boiler pada industri-industri tertentu (Industri Kertas dan Pupuk), pemakaian cogeneration pada unit utilitas dll. Penurunan pemakaian enenrgi dapat dicapai sekitar 20-30%.
IV. POTENSI INDUSTRI NASIONAL DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN ENERGI
Dengan semakin berkembangnya tingkat perekonomian suatu bangsa maka akan semakin besar pula kebutuhan energi yang diperlukan. Untuk menjaga kesinambungan pembangunan dalam masa yang akan datang dimana industri sangat tergantung dengan energi maka kegiatan pembangunan lebih dipusatkan pada sektor industri yang dapat mendukung pengembangan energi menjadi sangat strategis.
Dengan semakin berkembangnya tingkat perekonomian suatu bangsa maka akan semakin besar pula kebutuhan energi yang diperlukan. Untuk menjaga kesinambungan pembangunan dalam masa yang akan datang dimana industri sangat tergantung dengan energi maka kegiatan pembangunan lebih dipusatkan pada sektor industri yang dapat mendukung pengembangan energi menjadi sangat strategis.
1 komentar:
Den, pemanfaatan jarak sebagai salah sumber energi di sektor industri telah dimulai sejak kapan, 2006? dan berapa persen implementasinya? serta di industri mana saja?
Posting Komentar