Custom Search

Minggu, 07 Desember 2008

Masa Depan Bermula Hari Ini : Pendidikan Pembangunan Berkelanjutan dalam Kegiatan-kegiatan Pembangunan Masyarakat (Ilya Moeliyono-Studio Driya Media

Pembangunan berkelanjutan muncul sebagai akibat dari munculnya masalah-masalah lingkungan dan pembangunan. Kedua hal ini sering dipertentangkan. Padahal dalam konsep pembangunan berkelanjutan kita justru ingin mengetahui interaksinya.

Selama ini paradigma ekonomi itu sama dengan pertumbuhan. Pembangunan itu ekonomi, sedangkan yang lain sekunder, karena pertumbuhan yang utama. Karenanya pembangunan itu selalu mengacuk kepada angka GNP.
Bagaimana pun ekonomi dan lingkungan itu harus menjadi satu. Itu dikarenakan kuncinya adalah sumberdaya alam. Kata sumberdaya alam itu sebenarnya istilah ekonomi. Barang-barang yang ada di alam itu diberi nilai ekonomi, sehingga diberi nama sumberdaya alam.

Wacana tentang pembangunan berkelanjutan itu muncul ketika sadar bahwa lingkungan itu pembatas akhir dari pembangunan. Pembangunan tidak bisa dilakukan dengan melampaui lingkungan. Lingkungan itu dapat membersihkan dan memperbaharui diri, namun perlu waktu. Itulah sebabnya dikenal ada sumberdaya alam yang bisa diperbarukan. Namun semua itu perlu waktu. Minyak bumi saja bisa diperbaharukan, tapi harus menunggu bermilyar tahun.

Nyatanya batas sudah terlampaui dan waktu tidak diberikan. Eksploitasi itu selalu melampui kemampuan alam untuk membersihkan dirinya dan kemampuan sumberdaya alam untuk tumbuh kembali. Sekarang Indonesia sedang mengalami krisis kayu. Negara yang mempunyai pulau terbanyak di dunia yang isinya hutan semua, dalam waktu 30 tahun itu habis. Artinya batas-batas keberlanjutan kayu itu sudah jelas terlampaui.
Kota Bandung susah air, padahal berada di tengah cekungan dan sekitarnya banyak gunung-gunung. Bandung kekurangan air karena batas sumberdaya alamnya sudah terlampaui. Degradasi lingkungan itu terjadi karena pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan.

Orang ekonomi itu tidak terlalu peduli dengan lingkungan, namun peduli dengan sumberdaya alam. Namun ketika lingkungan terdegradasi, maka sumberdaya alam terancam. Jadi ketika orang ekonomi mengatakan ”para pendekar” lingkungan menghambat pembangunan, sebetulnya ini hanya wawasan waktu saja. Pada akhirnya, lingkungan itu adalah pembatas pembangunan. Kalau pun pendekar lingkungan itu diabaikan, maka pada akhirnya alam yang akan membuat masalah.

Jadi konsep pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang berusaha mendamaikan pandangan pembangunan dan pandangan lingkungan. Jadi bagaimana melakukan pembangunan dan kesejahteraan dalam batas-batas lingkungan yang berkelanjutan.

Ancaman terhadap Keberkelanjutan
Ancaman terhadap keberlanjutan itu terjadi kalau batas lingkungan dilampaui. Begitu juga ketika pembangunan diidentikkan dengan ekonomi dan pertumbuhan tanpa batas. Ancaman juga terjadi ketika eksploitasi dilakukan melampaui daya dukung dan berdasarkan kebijakan sumber daya bebas (open access resources) yang memungkinkan terjadinya persaingan yang tak terkendali dan adanya ‘penumpang gelap’.
Kenapa Kalimantan habis kayunya, karena kompetisi tidak terkendali. Semua orang yang mempunyai uang bisa masuk. Tidak ada pengendalian jumlah kayu yang bisa dieksploitasi karena kompetisi. Kompetisi itu bisa berjalan karena tidak ada aturan yang ditegakkan.

Hak pengelolaan hutan (HPH) tidak dilihat sebagai mekanisme regulasi agar eksploitasi tidak melampaui daya dukung. HPH dianggap sebagai sumber devisa, semakin banyak HPH semakin banyak uang yang didapat. HPH itu dikenakan pajak dan harus membayar kepada negara. Namun de facto, hutan pun menjadi sumber daya bebas.
Secara sosial politik, keberkelanjutan terancam ketika agenda keberlanjutan itu kalah oleh agenda lain. Pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan, yaitu masyarakat yang dekat dengan persoalannya, suaranya tidak terdengar di pusat-pusat pengambilan kebijakan.

Masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Cikapundung paling merasakan pencemaran. Mereka paling merasakan bahwa sungai itu tidak lagi hidup, namun suaranya tidak didengar. Hal yang sama juga dengan masyarakat Dayak yang hidup di hutan Kalimantan. Ini masalah sosial politik.

Ancaman juga muncul ketika terjadi kelemahan modal-sosial yaitu kemampuan bersepakat dan bekerjasama dalam skala yang luas, serta kemampuan penegakan aturan. Ketika pemerintah terpusat, maka tidak ada kerja sama. Pekerjaan dilakukan atas perintah pusat. Namun ketika terjadi otonomi, lebih tidak bisa kerja sama. Lingkungan yang semestinya dikelola sebagai ekosistem dipecah-pecah lagi menjadi sektor-sektor, dan tidak ada kerja sama. Jadi bagaimana mengelola ekosistem dan kawasan ketika tidak ada kerja sama.

Pendidikan pun bisa menjadi bagian dari masalah keberkelanjutan. Hal itu terjadi ketika pendidikan itu mengikuti arus pemikiran bahwa ekonomi sebagai panglima. Misalnya ketika semua orang berorientasi ke pasar kerja, pendidikan pun diposisikan untuk mempersiapkan orang untuk pasar kerja.

Contoh kasus di IPB. Dahulu di Kehutanan ada jurusan konservasi dan jurusan eksploitasi. Mahasiswa yang masuk jurusan konservasi itu hanya sedikit. Berbanding terbalik dengan jumlah mahasiswa yang mengambil jurusan eksploitasi. Jadi sebenarnya dunia pendidikan pun menyumbang kepada ketidakberlanjutan. Itu karena pendidikan yang dilakukan lepas dari konteks lingkungan dan keberlanjutan.

Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan bisa terjadi jika proses tersebut memenuhi kebutuhan manusia, generasi saat ini dan generasi-generasi yang akan datang. Hal yang menarik di sini bukan generasi, tetapi generasi-generasi yang akan datang. Konsep ini mengajak untuk berpikir tentang keberlangsungan planet bumi.

Pembangunan itu pun harus menjamin kesehatan lingkungan dengan cara menjaga keberlangsungan fungsi-fungsi ekosistem, melestarikan komponen-komponen dalam ekosistem, dan menjaga interaksi antarkomponen dalam ekosistem. Selain itu, proses itu harus dilakukan dalam batas daya dukung lingkungan; tidak mengancam keberlanjutan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui dan menghemat sumberdaya alam yang tak dapat diperbaharui.

Sedangkan kriteria penilaian keberlanjutan menyangkut lima aspek. Kelima aspek itu adalah lingkungan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Pertama, lingkungan. Penilaiannya berkenaan dengan unsur lingkungan dan berkait dengan kesehatan ekosistem. Misalnya keberadaan air, flora dan fauna.
Kedua, ekonomi. Unsur ini berkaitan dengan pertanyaan apakah pembangunan yang dilakukan dapat memberikan kesejahteraan pada tingkat yang layak terhadap masyarakat.
Ketiga, sosial. Karena pembangunan berkelanjutan merupakan masalah lingkungan, ekonomi, dan sosial, ketidakadilan antarkelompok, akan melahirkan gugatan-gugatan. Sedangkan gugatan yang sering terjadi di lapangan adalah penjarahan hutan dan pengalihan aliran air.
Keempat, budaya. Unsur budaya ini menyangkut identitas budaya, kebutuhan budaya, dan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara akumulatif dari generasi ke generasi.
Kelima, politik. Masalah ini berkaitan dengan pengambilan keputusan yang demokrasi. Persoalan pembangunan, kesejahteraan, dan lingkungan harus sama-sama masuk ke dalam agenda politik dan menghasilkan kebijakan yang tepat.

Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan adanya pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Pengelolaan itu dilandaskan pada pengakuan terhadap keterbatasan lingkungan sebagai dasar sumberdaya alam. Lingkungan itu pun harus dipahami dalam konteks ekosistem. Karenanya, eksploitasi harus dilakukan dalam batas daya-dukung alam.

Pembangunan berkelanjutan pun harus dilakukan dengan landasan demokrasi. Karena itu dalam setiap pengambilan keputusan harus mempertimbangkan kepentingan semua. Keputusan itu diambil melalui proses yang melibatkan semua dan berdasarkan informasi/pengetahuan yang memadai.

Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat
Pengelolaan pembangunan berkelanjutan bisa dilakukan oleh komunitas. Hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan pola pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat (PSABM). Untuk bisa melakukan itu, komunitas itu harus mempunyai kejelasan tentang sumberdaya alam yang sedang dikelola.

Setiap komunitas perlu kelembagaan yang jelas untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan. Hanya komunitas yang mempunyai mekanisme pengelolaan sengketa saja yang mampu mengelola lingkungan berkelanjutan di tengah ancaman keberlangsungan sumberdaya alam dan lingkungan. Hal itu dimungkinkan karena ada pengetahuan dan informasi yang memadai, serta adanya pendekatan ekosistem dan kebijakan yang mendukung.
Sumberdaya alam itu batasan harus jelas. Artinya komunitas itu mengelola sumberdaya alam yang mana. Batas-batas itu sekarang sering dipersengketakan. Misalnya batas kawasan lindung, kawasan taman nasional, dan masyarakat. Sengketa itu sering terjadi ketika batas-batas itu dilihat sebagai alat-alat kekuasaan, dan bukan sebagai alat kelola. Batas-batas itu menunjukkan adanya otoritas pemeritah.
Kelembagaan memerlukan kepemimpinan yang kuat dan demokratis. Harus ada juga aturan tentang pengelolaan sumberdaya alam yang jelas. Aturan itu mencerminkan lingkungan dan eksklusifitas, tidak semua orang boleh mengeksploitasi sumber daya alam.

Kelembagaaan pun akan memudahkan dalam pemilihan pengelolaan sengketa. Pengelolaan itu bisa dilakukan dengan cara tradisional, formal, dan informal. Agar pengelolaan yang dilakukan bisa optimnal, maka pengetahuan dan informasi menjadi penting. Baik itu pengetahuan dan informasi yang bersifat biofisik, spatial, adat budaya, dan kebijakan. Seringkali kebijakan pengambilan keputusan tentang pembangunan tidak didasarkan pada informasi lingkungan yang memadai.

Agar pengelolaan itu bisa berkelanjutan maka proses itu harus menggunakan pendekatan ekosistem dengan menerapkan unit kelola skala bermakna. Ada empat manfaat yang diperoleh dengan pengelolaan semacam ini: manfaat ekonomi, lingkungan, multi-skala, dan kemampuan kelola. Hal terpenting, keberadaan kegiatan pengelolaan ini harus disertai dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang mendukung.

Pendidikan & Pembangunan Berkelanjutan
Dalam pembangunan berkelanjutan, peranan pendidikan menjadi salah satu faktor penting. Keberadaannya bisa menjadi bagian dari masalah, bisa juga menjadi solusi. Pendidikan bisa menjadi masalah jika proses tersebut tidak mempertanyakan paradigma pertumbuhan, bahkan memperkuatnya. Ia juga akan menjadi masalah jika pengembangan sistem kurikulumnya mendorong usaha tanpa keberlanjutan.

Namun pendidikan juga bisa menjadi solusi jika proses yang dilakukan dapat membangun kesadaran kritis tentang pembangunan dan lingkungan, serta mampu membantu warga belajar untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Selama ini ada paradoks. Semakin orang terdidik, semakin menjadi masalah. Orang terdidik itu tingkat konsumsinya cenderung lebih tinggi, lebih memboroskan sumberdaya dan lebih banyak menimbulkan polusi. Sampah yang ada di Kota Bandung ini mau dibuang ke mana? Sampah masyarakat desa sebenarnya tidak ditaruh di mana-mana juga tidak akan menjadi masalah.

Permasalahannya bukan pendidikan, tapi pendidikan yang bagaimana. Pendidikan itu menyumbang ketidakberlangsungan yang hebat. Nilai yang harus ada dalam pendidikan berkelanjutan itu adalah nilai-nilai manfaat nyata lingkungan hidup. Lingkungan itu bukan sekadar menyediakan sumberdaya alam yang bisa diambil. Namun ia juga menyediakan manfaat-manfaat yang lain.

Nilai-nilai manfaat itu tidak cukup, tetapi ada juga nilai-nilai spiritual. Manusia mendapat mandat dari Tuhan untuk mengelola alam. Adalah tanggung jawab manusia untuk mengelola alam.

Ada juga nilai-nilai etika. Lingkungan adalah habitat bersama. Ketika seseorang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan, sebenarnya ia juga tidak bertanggung jawab terhadap sesama. Pendidikan juga harus memuat nilai-nilai estetika yang berkaitan dengan keindahan. Alam harus dijaga agar tetap indah.
Pendidikan itu juga perlu menumbuhkan pemahaman tentang lingkungan. Yaitu pemahaman bahwa lingkungan adalah ekosistem, dan manusia adalah bagian dari ekosistem. Karena itu apapun yang dilakukan terhadap ekosistem pasti akan ada akibatnya. Pada akhirnya muncul kesadaran bahwa bumi merupakan satu sistem yang “tertutup”. Ketika sumberdaya alam habis, maka sumberdaya alam itu tidak akan bisa diperoleh dari planet lain.

Pesan lain yang harus ada dalam pendidikan adalah pandangan dan kepercayaan terhadap masa depan. Seringkali ditemukan orang-orang yang tidak percaya kepada masa depan. Pejabat itu hanya berpikir lima tahun, dan tidak berpikir jangka panjang. Untuk melakukan itu harus ada kepercayaan bahwa siapa pun bisa merubah sesuatu. Selain itu, untuk masa depan, investasi di masa sekarang patut dilakukan.
Pendidikan juga harus memberikan pemahaman tentang nilai-nilai tanggung-jawab dan peran sosial-politik. Perlu dipahami bahwa bumi adalah habitat sesama manusia. Karena itu nilai keadilan, tanggung-jawab sosial, dan demokrasi harus dikembangkan. Dengan nilai-nilai itu maka akan muncul pemahaman kritis tentang lingkungan dan pembangunan. Di sisi lain, nilai-nilai itu akan menciptakan kemampuan nyata untuk berperan pada berbagai tataran.

Pembelajaran Pembangunan Berkelanjutan
Ada tiga aspek dalam pembelajaran pembangunan berkelanjutan. Aspek pertama adalah pembelajaran individual. Pembelajaran individual ini menyangkut wawasan, nilai-nilai, dan kemampuan individual.
Aspek kedua adalah pembelajaran sosial. Pembelajaran dilakukan dalam dan dari konteks sosial. Pembelajaran ini menyangkut pengembangan modal sosial (social capital) dan masyarakat belajar (learning society). Dengan demikian, pembelajaran akan menumbuhkan kemampuan kerjasama pada berbagai skala ekosistem, sehingga bisa melakukan adaptasi berlanjut pada skala ekosistem.

Pembelajaran tentang pembangunan berkelanjutan juga menyangkut pembelajar aksi. Pembelajaran tersebut tidak terpisahkan dari aksi dan dari aksi untuk aksi. Pembelajaran aksi ini dilakukan dengan metode belajar untuk bertindak dan belajar dari tindakan. Karena itu kegiatan-kegiatan pengelolaan lingkungan atau sumberdaya alam diposisikan sebagai ajang pembelajaran.

Pembelajaran itu bisa digunakan sebagai sarana untuk merefleksikan keberadaan diri dan lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun biofisik. Dengan demikian pembelajaran tersebut berujung kepada munculnya sebuah penyadaran (concientizacao), dan mendorong individu bertindak untuk mengubah keadaan. Tindakan itu kemudian direfleksikan, dan dilakukan secara terus-menerus.

Dengan demikian, pembelajaran aksi itu sama dengan kajitindak partisipatif (participatory action research) yang biasa dilakukan di pendidikan non-formal. Kajitindak partisipatif ini merupakan pengalaman yang direfleksikan atau dievaluasi melalui pengkajian-pengkajian. Setelah melalui proses penyadaran, maka dilakukan perencanaan dan pengorganisasian untuk melakukan aksi atau tindakan lainnya. Siklus itu terjadi terus-menerus dan menjadi sebuah pengalaman.

Tidak ada komentar:

Model Pengembangan Rantai Pasok Rumput Laut oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guna Pemenuhan Kebutuhan Rumput Laut Dan Produk Turunannya

Denny Noviansyah Abstrak Indonesia sebagai negara Maritim mempunyai Panjang pantai seluas 95.181 km 2 . Pesisir pantai mempunyai berbagai je...