Custom Search

Kamis, 11 Desember 2008

Wacana Kemiskinan & Social Services Delivery

Kemiskinan

Sebuah analisa/review belakangan ini tentang sector urban di Indonesia dilakukan oleh the Asian Development Bank (2001) menunjukkan bahwa sedikitnya 15.7 million penduduk urban adalah dalam keadaan miskin pada tahun 1999 dari seluruh jumlah penduduk urban 81.4 million (dengan menggunakan definisi SUSENAS 1998 yang baru dari garis kemiskinan). Meskipun demikian, telah diukur/diestimasi, bahwa prosentase jumlah penduduk yang jauh lebih besar – secara kenyataannya, hampir setengah dari jumlah penduduk secara keseluruhan rentan terhadap kemiskinan dan berjuang untuk menghindar jatuh kembali dalam kemiskinan. Hal ini juga jelas bahwa kemiskinan akan menjadi sebuah permasalahan urban yang meningkat – jumlah penduduk urban berkembang terus setiap tahunnya kira-kira 4.4% selama tahun 1990-99, dan, jumlah dari penduduk Indonesia diharapkan tinggal di pemukiman urban akan meningkat dari kurang lebih 40% di tahun 1999 hingga lebih dari 60% hingga tahun 2025. Pengalaman dari krisis tahun 1997 telah menunjukkan bahwa macroeconomic shocks memiliki dampak yang jauh lebih buruk di beberapa wilayah urban dibandingkan dengan beberapa wilayah di pedesaan dimana jaringan pendukung yang bersifat tradisional cenderung melindungi terhadap hantaman ekonomi yang jauh lebih efektif. Beberapa Studi menunjukkan bahwa pada tahun 1998, GDP pada berapa wilayah urban cenderung turun hingga sebesar 18% dibandingkan dengan national GDP yang turun sebesar 14%, dengan meningkatnya angka kemiskinan di tahun 1998 yang secara signifikan lebih tinggi di beberapa wilayah urban dibandingkan dengan beberapa wilayah pedesaan.

Jumlah dan prosentase dari jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan ditunjukkan pada Table 2.1

Table 2.1 Jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan

Tahun

Garis Kemiskinan (Rp)

% Penduduk di bawah PL

Penduduk di bawah PL (Mn)

Urban

Rural

Urban

Rural

Urban+ Rural

Urban

Rural

Urban+Rural

1976

4,522.0

2,849.0

38.8

40.4

40.1

10.0

44.2

54.2

1978

4,969.0

2,981.0

30.8

33.4

33.3

8.3

38.9

47.2

1980

6,831.0

4,449.0

29.0

28.4

28.6

9.5

32.8

42.3

1981

9,777.0

5,877.0

28.1

26.5

26.9

9.3

31.3

40.6

1984

13,731.0

7,746.0

23.1

21.2

21.6

9.3

25.7

35.0

1987

17,381.0

10,294.0

20.1

16.1

17.4

9.7

20.3

30.0

1990

20,614.0

13,295.0

16.8

14.3

15.1

9.4

17.8

27.2

1993

20,614.0

18,244.0

13.4

13.8

13.7

8.7

17.2

25.9

1996

42,032.0

31,366.0

13.6

19.9

17.7

9.6

24.9

34.5

1998

96,959.0

72,780.0

21.9

25.7

24.2

17.6

31.9

49.5

1999

92,409.0

74,272.0

19.5

26.1

23.5

15.7

32.7

48.4

2000

91,632.0

73,648.0

14.6

22.1

19.0

12.1

25.2

37.3

2001

100,011.0

80,382.0

9.8

25.0

18.4

8.5

28.6

37.1

Kemiskinan adalah merupakan masalah yang bersifat multi dimensi. Kurangnya income atau konsumsi bukan semata-mata sebagai indikator dari kemiskinan. Ketidaksetaraan pada level yang beragam adalah penyebab atau juga konsekuensi dari kemiskinan. Karakter dari kemiskinan di Indonesia tidaklah terlalu berbeda; ada dua buah titik sentral:

· Definisi dari kemiskinan harus terdiri dari seluruh dari dimensi manusia –makanan yang cukup, tempat berteduh dan kenyamanan; kerentanan yang sudah diantisipasi dalam menghadapi berbagai macam gejolak yang bersifat eksternal; akses ke pendidikan, kesehatan dan infrastruktur; dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik on an equal basis dengan penduduk lainnya.

· Agenda pengentasan kimiskinan adalah mutlak merupakan agenda perbaikan pemerintah. Hal ini akan meliputi: arus informasi yang bebas untuk masyarakat miskin yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka; suara dari masyarakat miskin dalam pemberian keputusan sesuai dengan pengalokasian sumber-sumber publik, rancangan program dan implementasi; dan tanggung jawab dari para pembuat keputusan untuk setiap tahapan dari program masyarakat dan perencanaan pembangunan, anggaran, implementasi dan monitoring.

Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah

Undang-undang desentrlisasi no 32 dan 34 / 2004 mulai efektif pada bulan January 2005. undang-undang yang baru tersebut menggambarkan sebuah definisi yang berbeda tentang peran, kapasitas dan akuntabilitas dari pemerintah daerah (kota / kabupaten) dari masa lalu, dan menempatkannya secara langsung dalam memberikan pelayanan kepada warga negaranya. Keikutsertaan para pemegang saham dan pemberdayaan masyarakat juga dibuat sebuah gambaran mandatory dalam undang-undang desentralisasi. Undang-undang yang baru bersifat tegas dalam skup dan jiwa mereka. Meskipun demikian, hingga saat ini, sebagian besar dari diskusi dan analisa masih berfokus pada penggantian kekuasaan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, and bukannya ke supremasi daerah – contohnya tanggung jawab dan tanggapan dari pemerintah daerah kepada masyarakat. Tujuan utama dari desentralisasi adalah – memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat – dan hal tersebut tidak akan dapat tercapai tanpa adanya beberapa perbaikan dalam pemerintah daerah.

Di pusat, peran pemerintah pusat di masa yang akan datang dalam menuntaskan masalah kemiskinan masih terus dalam pembahasan. Sama halnya dengan, kerangkan finansial antar pemerintah yang masih dalam tahap pengembangan. Hal ini mempengaruhi keduanya yaitu kegiatan yang didanai pada tingkat daerah dan juga kemampuan pemerintah daerah dalam mendanai program-program kemiskinan melalui pinjaman. Pada tingkat daerah, adanya kelangkaan dana pembangunan secara umum atas pemerintah daerah karena banyaknya pengeluaran dan gaji rutin untuk PNS menghabiskan sebagian besar dari pendapatan mereka.

Membangun kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan agenda-agenda yang baru ini adalah merupakan sebuah tantangan yang besar, dikarenakan pemerintah daerah tidak memiliki sumber-sumber dalam melaksanakan semua pelayanan pada standard normal kepada para masyarakatnya. Tradeoffs yang sulit akan dibutuhkan. Pelayanan yang terbatas yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah pada tingkat masyarakat akan memenuhi keinginan masyarakat hanya jika para petugasnya memahami apa yang menjadi prioritas masyarakat dan tangggap terhadap mereka. Hal ini, secara bergantian, masyarakat butuh untuk: diorganisir: dapat meprioritaskan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan mereka; dan dapat menyalurkan kebutuhan-kebutuhan dan prioritas mereka kepada pemerintah.

Pada saat sekarang ini, kemampuan dalam melaksanakan tugas ini masih terbilang lemah, baik pada tingkat pemerintahan daerah maupun tingkat masyarakat.

Peran Masyarakat dalam in Improved Service Delivery

Guna memperbaiki pelaksanaan pelayanan tingkat daerah, ada satu keharusan dalam mereformasi praktek-praktek supremasi daerah sehingga pemerintah daerah bisa bekerjasama dibandingkan dengan harus menentang institusi masyarakat yang ada. Beberapa studi dilakukan sebagian besarnya di wilayah-wilayah pedesaan, membuktikan adanya sebuah ketidakcocokkan yang bersifat sistematis antara prioritas masyarakat dan keputusan investasi pembangunan, dan mengidentifikasi sebuah perbedaan antara badan-badan pemerintah dan organisasi masyarakat. Salah satu kesimpulan penting dari beberapa studi yang beragam ini adalah sebuah peran yang secara potensial sangat positif bahwa institusi masyarakat dapat memainkan peranan dalam pembanguan daerah dan dalam menjamin orientasi permintaan dari pemberian pelayanan masyarakat urban.

Tidak ada komentar:

Model Pengembangan Rantai Pasok Rumput Laut oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guna Pemenuhan Kebutuhan Rumput Laut Dan Produk Turunannya

Denny Noviansyah Abstrak Indonesia sebagai negara Maritim mempunyai Panjang pantai seluas 95.181 km 2 . Pesisir pantai mempunyai berbagai je...