Custom Search

Sabtu, 09 Februari 2008

4 R deui

KONSEPSI PENANGANAN SAMPAH DENGAN PENDEKATAN 4R Dl PERKOTAAN ( Tosin S. Diredja)

Adanya keterbatasan dana dan lahan untuk TPA sampah di perkotaan mengakibatkan tidak sebandingnya peningkatan sarana persampahan dengan peningkatan sampah, sehingga pengelolaan yang ada baik dari segi kualitas dan kuantitas jauh dibawah standar higienis. Untuk itu perlu dicarikan terobosan-terobosan untuk menuju pada pengelolaan sampah secara efisien. Pengelolaan sampah dengan sistem buang dan timbun saja sudah harus diubah agar pengelolaan di hilir tidak berat dan kecenderungan untuk terjadtnya pencemaran dapat diminimasi.

Secara umum kandungan bahan organik pada sampah kota cukup tinggi, pada sampah rumah tangga ± 76% dan sampah pasar ± 90% serta sampah kota lainnya yang masih dapat didaur ulang berupa sampah plastik ± 13%, sampah kertas ± 7,5%, logam, kaca, tekstil, 5%. Dengan melihat data diatas maka, terutama sampah organik yang cukup besar yang biasanya sangat berpotensi menimbulkan masalah, masih berpotensi untuk dikomposkan ditempat sehingga bahan yang berpotensi mencemari dapat diminimasi baik kualitas maupun kuantitas sejak pengumpulan sampai dengan pembuangan akhir. Demikian pula dengan berbagai jenis sampah lainnya yang dapat didaur ulang; sehingga berdasarkan perhitungan sisa sampah yang masih diangkut tinggal ± 25% dan yang harus ditimbun tinggal ± 15%.

Konsep yang diusulkan dalam mencapai pengelolaan sampah kota yang efisien dan efektip adalah bahwa sebagian besar sampah dikelola dengan pendekatan 4R (Recycling, Reduce, Reuse, Replace) disumber secara terpadu dengan menumbuhkembangkan peran serta masyarakat, swasta, sebagai pendukung utama adalah penerapan pemilahan sampah di sumber.
"KONSEPSI PENANGANAN SAMPAH DENGAN PENDEKATAN 4 R DI PERKOTAAN" ditargetkan dapat mengantisipasi terbatasnya sarana pengangkut sampah (cukup dengan ¼ dari sistem konvensional) serta memperpanjang umur sarana, memperpanjang umur TPA sampai 5 x lebih lama serta meminimasi pencemaran di TPA.

Pengembangan proses 4 R disumber dengan menumbuhkembangkan peran serta masyarakat, dimulai dengan proses pengurangan timbulan sampah, pemilahan dari hulu sampai ke hilir yang dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait secara terpadu baik pemroduksi sampah (masyarakat, produsen, pengusaha pertokoan / ma! / supermal / pasar / industri), pengelola sampah, pemanfaat / pendaur ulang / pengolah sampah merupakan usaha terobosan yang dapat dilakukan dalam upaya efisiensi dan efektifitas, optimalisasi pengolahan sampah serta minimasi pengeloiaan sampah di hilir. Konsep ini perlu diperkuat dengan kebijakan-kebijakan, pemberian penghargaan maupun hukuman yang mendukung dalam operasional penerapan proses 4R.

Usulan daur ulang sampah basah / organik di sumber yang tepat guna adalah antara lain pengomposan skala individual / kornunal_maupun lingkungan, sebagai makanan ternak, sedangkan untuk sampah lainnya yang berpotensi untuk didaur ulang (plastik, kertas) dapat dijadikan bahan setengah jadi maupun bahan jadi. Optimasi operasional sarana penangkutan sampah dan sistem pengolahan serta pembuangan akhir sampah perlu dilakukan dalam mengantisipasi proses pemilahan dengan kondisi keterbatasan, dengan cara penjadwalan maupun penyekatan berdasarkan jenis sampah.

Penerapan proses 4R di sumber secara terpadu diawali dengan proses pemiiahan dengan menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat, swasta, pengelola sampah kota memfasilitasi para pelaksana 4R sampah dan penerapan ini perlu didukung dengan kebijakan-kebijakan yang menunjang keberhasilan, antara lain memberikan penghargaan / insentif bagi masyarakat yang peduli akan 4R sampah.

Jumlah timbunan sampah untuk kota besar / metropolitan > 3 l/orang/hari dan untuk kota sedang / kecil 2,25 - 2,75 1/orang/hari. Timbunan sampah di perkotaan terus meningkat tanpa dilakukan upaya pengurangan timbunan sampah disumbemya. Salah satu sebab adalah adanya proses penanganan pengangkutan sayuran dari desa ke kota sebagian besar tanpa alat pendinginan / penjaga kesegaran sehingga dengan terpaksa diangkut beserta bonggol maupun daun / akar, yang beresiko memperbesar jumlah timbunan sampah di kota Apabila bahan-bahan sampingan tersebut ditinggal didesa sebenarnya masih diperlukan dalam upaya pemenuhan bahan untuk produksi pupuk organik tanpa harus disuplai dari kota maupun dari luar daerah.
Maka usaha reduce timbulan sampah dilakukan dengan usaha minimasi jumlah sampah yang masuk ke kota, dengan sasaran prosentase peningkatan timbulan sampah diperkotaan diperkecil. Secara umum kandungan terbesar dari sampah. perkotaan adalah sampah / bahan organik dengan komposisi sebagai berikut;



Tabel 1. Komposisi sampah di sumber dan di TPA % berat basah
Dari data yang ada maka sampah di Indonesia berpotensi dan direkomendasikan untuk dikomposkan. Sebagai data yang sangat mendukung untuk penerapannya adalah bahwa kandungan nitrogen dan C/N ratio dari beberapa bahan yang dapat dikomposkan seperti tabel dibawah ini.

Tabel 2. Kandungan Nitrogen dan C/N pada sampah


Sehingga untuk memperoleh hasil kompos yang baik dengan C/N ratio mencapai 10-20 dan proses pengomposan relatif cepat maka kadang-kadang perlu dilakukan perlakuan terhadap sampah yang akan dikomposkan agar mencapai C/N ratio mencapai yang optimal yaitu 30-35 dengan cara mencampur bahan-bahan, misal dengan penambahan dedak atau serbuk gergaji.

Rekomendasi recycling, sampah dengan pengomposan di sumber (komposter, pengomposan skala lingkungan) ini dapat mereduksi sampah dihilir minimal sebesar 50% dan juga mempunyai nilai positif lain yaitu secepatnya merubah sampah menjadi bentuk timbulan yang tidak beresiko (kompos) dan dengan mereduksi volume 70% dari 50%.

Penerapan recycling (Rl) sampah basah / organik yang ditawarkan adalah penerapan komposter rumah tangga skala individual maupun komunal serta pengomposan skala lingkungan melalui pemberdayaan masyarakat. dengan diagram penerapan sistem.

Daur ulang sampah organik sebagai makanan ternak, sebagai sumber energi berupa produksi biogas sepert dalam diagram siklus sampah seperti recycling sampah kertas / biji plastik yang merupakan barang setengah jadi maupun barang jadi seperi sisir, bola plastik.

Penerapan reduce (R2) sampah yang direkomendasikan antara lain adalah adanya kerjasama dengan pemrodusen sampah non rumah tangga (pertokoan, supermal, supermarket, pasar) dalam mengemas barang yang akan dijual tidak berlebihan, menggunakan pembungkus yang mudah terdegradasi (kain, kertas, daun, dll), penjualan barang/ bahan dalam bentuk refill, pengusaha dapat menerima kembali pembungkus/kemasan maupun barang-barang yang sudah habis pakai (batere). Serta perubahan sistem pengangkutan hasil bumi dari desa ke kota dangan sistem pendingin terutama yang tujuannya ke kota besar / metropolitan.

Penerapan reuse (R3) sampah dengan menerapkan antara lain menggunakan kembali kaleng / tong bekas menjadi tempat sampah, vas bunga, dll.

Penerapan replace (R4) sampah antara lain dengan menggunakan kembali saputangan kain dalam upaya minimasi penggunaan tisue, menggunakan kembali keranjang untuk meminimasi kantong plastik. Penggunaan kembali kemasan daun dalam pembungkus makanan untuk meminimasi penggunaan plastik / boks sterofoam, dll.

Untuk mendapatkan sulitnya mendapatkan lahan untuk TPA sampah. dapat memanfaatkan kembali lokasi TPA lama (telah berumur > 15 lahun). dengan menggunaka kembali lahan menjadi lahan penimnbunan sampah kembali, bahan galian dapat digunakan untuk tanah urugan atau dapat dijual sebagai pupuk organik.

Dalam mengantisipasi bahaya yang diakibatkan oleh sampah dimana sampah dibuang / terbuang oleh masyarakat pada saluran drainase dan anak sungai perlu dilakukan pembagian tanggung jawab dalam pemeliharaan saluran / anak sungai pervdlayah administrasi kecamatan, dengan dilengkapi bar-screen perwilayah. Sehingga apabila terjadi banjir lagi tidak akan menyalahkan lokasi dihulunya tetapi wilayah yang bersangkutan yang bertanggung jawab.

Adanya pendektan konsep 4R disumber akan berdampak :
  • minimal dapat meminimasi jumlah sampah yang harus diangkuta dan ditimbun di TPA sebesar 50%.
  • Umur alat pengumpul dan alat angkut akan lebih panjang. karena sebagian besar sampah organik penyebab pengkaratan tidak terangkut lagi (telah dimanfaatkan di tempat)
  • dapat menghasilkan bahan yang bermanfaat (kompos, barang-barang daur ulang plastik. elas, dll) dan dapat menciptakan lapangan kerja
  • Dapat menghemat lahan TP

Sebagai contoh pelaksanaannya adalah sebagai berikut;

  • pemilahan dilakukan oleh masyarakat pemroduksi sampah
  • pengumpulan sampah organik yang berpotensi untuk diolah dapat dikelola oleh pabrik akan memproduksi kompos atau pengumpulan / pengangkutan dilakukan oleh dinas PD / dinas Kebersihan ke tempat pemrosesan yang dilaksanakan oleh swasta
  • pengangkutan / pengumpulan untuk sampah organik yang masih dapat dimanfaatkan dilakukan pada hari-hari tertentu (telah terjadual) oleh pihak swasta atau pemulung yang akan memanfaatkan kembali (kertas. kaca, botol, plastik, logam) misalnya minggu ke 2 hari minggu pembuangan akhir dengan sistem penimbunan dilaksanakan oleh PD / Dinas kebersihan dengan jumlah yang tertinggal 20%

Daftar Pustaka

  1. George Tchobanoglous, Hilary Theisen, Rolf Eliassen, 1997, Solid Waste Engineering Principles and Management Issues, Me Graxv Hill Book Company.
  2. HB Goates, 1956, composting Sanitary Disposal and Reclamation of Organic Waste, World Health Organization, Geneva.
  3. Pemerintah Kota Bandung, 2002, Rencana Induk Pengelolaan Sampah Kota Bandung 2002 - 2012, Bandung.
  4. Pusat Litbang Permukiman, 1994, Pengkajian Komposter Rumah Tangga pada Kota-kota di Indonesia.
  5. Pusat Litbang Permukiman, 1996, Pengkajian Pengelolaan Pasca Open dumping di Indonesia, Bandung.
  6. Pusat Litbang Permukiman, 1997, Petimjuk Teknis Pengelolaan Sampah Secara Biologis, Bandung.
  7. T. Padmi, 1999. Karakteristik dan Komposisi Sampah Kota, JurusanTeknik Lingkungan ITB

Pengolahan Sampah Organik dengan Metode Biologi

1. Ruang lingkup

Ruang lingkup pengaturan dalam tata cara pengoperasian pengomposan sampah organik dengan metode biologis (PSOMB) ini mencakup ketentuan umum dan ketentuan teknis pengoperasian pengomposan sampah organik kota skala lingkungan dengan metode biologis termasuk pengerjaannya, meliputi ;

  • Manajemen pengoperasian PSOMB
  • Persyaratan bahan baku sampah
  • Bangunan dan peralatari PSOMB yang disyaratkan
  • Kapasitas produksi kompos
  • Tahapan dan perlakuan selama proses pengomposan
  • Kualitas kompos


2. Pengertian

    1. Pengolahan sampah organik dengan metode biologis adalah model usaha pemanfaatan sampah organik melalui kegiatan daur ulang dengan pembuatan kompos.

    2. Kompos adalah bentuk akhir dari bahan-bahan organik setelah mengalami proses pembusukan dan berfungsi sebagai penyubur tanah.

    3. Peruntukan ruang untuk PSOMB adalah tata letak ruang untuk pencurahan sampah. pemilahan, penumpukan residu, tumpukan kompos aktif, penyaringan dan pengemasan serta gudang dan kantor.

    4. Pengomposan adalah proses biologis terjadinya penguraian senyawa-senyawa yang terkandung pada pembusukan sampah karena adanya kegiatan jasad renik dengan menghasilkan produk kompos yang aman.

    5. Pemilahan sampah adalah langkah untuk memilah bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan untuk proses pengomposan serta bahan organik untuk daur ulang lainnya.

    6. Pembalikan adalah cara pengadukan tumpukan sampah yang berfungsi untuk menurunkan suhu dan aerasi.

    7. Pematangan kompos adalah tahapan proses untuk memastikan bahan sampah telah menjadi kompos stabil.

    8. Pengayakan adalah cara untuk memperoleh ukuran partikel kompos yang kecil.

KETENTUAN UMUM

2.1. Ketentuan Umum

Teknologi pengolahan sampah dengan metode PSOMB merupakan pemanfaatan sampah untuk mendapatkan kompos yang dapat dimanfaatkan sebagai ;

  • Soil conditioner yang berfungsi memperbaiki struktur tanah terutama bagi tanah kering dan ladang

  • Soil ameliorator berfungsi mempertinggi kemampuan penukaran kation baik tanah ladang maupun tanah sawah

Selain itu upaya ini juga untuk mengurangi volume sampah yang harus diangkut dari timbunan ke TPA sehingga dapat menghemat lahan TPA sekaligus menguangi biaya pengangkutan sampah.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, ketentuan umum mengenai proses PSOMB adalah sebagai berikut;

a. lokasi PSOMB harus sedekat mungkin dengan pelayanan sampah, sehingga sumber sampah organik mudah diperoleh sebagai bahan pengomposan.

b. Luas lahan yang dibutuhkan minimum 125m2.

c. Kapasitas produksi minimum 3m3/hari = ± 600kg (satu cetakan) dari kapasitas pelayanan pelayanan sampah = 3500 orang.

d. Bahan / daur ulang sampah untuk pembuatan kompos adalah sampah organik pilihan dari sampah dapur, sisa makanan, sisa kulit buah-buahan atau sayuran potongan rumput atau daun-daunan ± 30% dari sampah pasar ± 60%.

e. Bahan daur ulang yang tak dapat dikomposkan adalah kertas, plastik, logam dan lain-lain untuk ;

sampah rmah tangga 70%

sampah pasar 60%

Manajemen pengoperasian PSOMB perlu didukung oleh

  • instansi pengelola PSOMB yang mendanai (lembaga swadaya masyarakat, dinas kebersihan atau swasta)
  • biaya pengelolaan yang memadai baik untuk biaya modal kerja, biaya operasi maupun biaya pemeliharaan
  • adanya aspek pengaturan yang mendukung khususnya dalam kaitannya dengan masalah pemasaran kompos
  • peran serta masyarakat sangat diharapkan dalam pemilihan sampah di sumber baik dilaksanakan di rumah tangga maupun pada lokasi pengomposan


2.2. Ketentuan Teknis

Pengomposan adalah suatu proses biologis, dimana berbagai mikroorganisme aerob inemegang peranan penting, untuk menguraikan senyawa-senyawa yang terkandung dalam sisa-sisa bahan organik, maka diperlukan suatu kondisi ideal agar proses tersebut dapat berlangsung optimal, ketentuan teknis yang mendukung pengoperasian PSOMB secara optimal khususnya dalam hal pengoperasian produksi kompos, dapat dilihat dalam uraian berikut;

a. Ketentuan bahan baku

Untuk pengomposan optimum, dibutukan bahan baku organik yang memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. keseragaman jenis sampah (sayur mayur, sisa makanan kecuali tulang besar, sisa buah-buahan, sisa daging, daun-daunan / rumput dan lain-lain, baik dari sampah rumah tangga maupun pasar.

  2. sampah yang berasal dari sampah rumah tangga atau sampah pasar

  3. usia sampah tidak lebih dari dua hari, sehingga belum mengalami pembusukan atau mengandung larva lalat

  4. nilai C/N antara 30 - 35 : 1

bila C/N rendah, maka perlu ditambahkan bahan C/N yang tinggi dengan perbandingan seperti contoh perhitungan sebagai berikut :

• perbandingan C/N ideal + 30:1 dari serbuk gergaji (segar) kadar C tinggi dan sisa makanan (kadar C rendah) maka untuk mendapatkan perbandingan ideal dibutuhkan percampuran agar menjadi rata-rata 30:1

C/N sisa makanan =15:1

C/N serbuk gergaji (segar) = 511:1

Rumus percampuran : 30

Y =1

15X + 511 =30X + 30

511 -30 = 30X- 15X

481 = 15X

X = 481/15 =32,07

Maka percampuran bahannya sebagai berikut ;

Sisa makanan = 32,07bagian

Serbuk gergaji = 1 bagian

Berikut beberapa nilai C/N rasio dari berbagai bahan organic yang dapat dikomposkan untuk acuan proses pengomposan di lapangan

o

Jenis Bahan

Nilai C/N rasio

1

Kotoran manusia (dibiarkan)

6

2

Kotoran manusia (dihancurkan)

16

3

Humus

10

4

Sisa dapur / makanan

15

5

Rumput segar

11

6

Sisa buah-buahan

35

7

Sampah segar

25

8

Limbah sayuran

11-12

9

Perdu / semak

40-80

10

Batang jagung

60

11

Jerami

30-80

12

Jerami jelai

68

13

Kulit kentang

25

14

Serbuk gergaji

511

  1. kelembaban / kadar air sampah 50%, bila nilainya diatas 50% maka ditambah dengan bahan yang mempunyai sifat menyerap air, seperti dedak dan lainnya dengan dosis 5% dari bahan yang akan diolah (contohnya 200 kg bahan sampah organik + 10kg dedak)

  2. EM4 ; bagi pengomposan dengan ataupun tanpa dedak dosis EM4 0,75% dengan ketinggian tumpukan 0,8m yang diberi pipa-pipa aerasi

  3. glukosa (gula) sebagai bahan makanan utam mikroorganisme 10 sendok makanan per 200 kg sampah air sebagai pelarut

  4. bagi pengomposan dengan dedak 10 1/200 kg sampah bagi pengomposan tanpa dedak 2,5 - 5 1/200 kg sampah

  5. kantong-kantong plastik (kapasitas 3 kg kompos)

b. ketentuan lahan yang dibutuhkan untuk PSOMB

b.l. bangunan PSOMB seluas 102 m2 (pengomposan dengan dedak) terdiri dari

PERUNTUKAN RUANG LAHAN

LUAS

%

Areal pencurahan sampah / pemilahan

9

9

Areal pengomposan

62

61

Tempat barang lapak (cetakan)

4

4

Areal penyaringan / pengemasan

9

9

Gudang

12

11

kantor

6

6

JUMLAH

100

100

harga per m2 bangunan adalah sebesar Rp. 153.000,- (harga pada bulan Juni 1999, Kotamadya Bandung) dengan spesifikasi ;

  • Pondasi batu kali

  • Lantai dasar beton tumbuk

  • Konstruksi bangunan shelter (penutup) tinggi 3m dari kayu kelas II (tanpa dinding)

  • Penutup atap asbes gelombang kecil

  • dinding bata merah diplester dan di cat khusus untuk gudang dan bangunan kantor.

Sumber : TTG Bidang PErsampahan. Puslitbang Permukiman Dep. PU

Pengolahan Sampah Organik dengan Metode Biologi

1. Ruang lingkup

Ruang lingkup pengaturan dalam tata cara pengoperasian pengomposan sampah organik dengan metode biologis (PSOMB) ini mencakup ketentuan umum dan ketentuan teknis pengoperasian pengomposan sampah organik kota skala lingkungan dengan metode biologis termasuk pengerjaannya, meliputi ;

  • Manajemen pengoperasian PSOMB
  • Persyaratan bahan baku sampah
  • Bangunan dan peralatari PSOMB yang disyaratkan
  • Kapasitas produksi kompos
  • Tahapan dan perlakuan selama proses pengomposan
  • Kualitas kompos


2. Pengertian

    1. Pengolahan sampah organik dengan metode biologis adalah model usaha pemanfaatan sampah organik melalui kegiatan daur ulang dengan pembuatan kompos.

    2. Kompos adalah bentuk akhir dari bahan-bahan organik setelah mengalami proses pembusukan dan berfungsi sebagai penyubur tanah.

    3. Peruntukan ruang untuk PSOMB adalah tata letak ruang untuk pencurahan sampah. pemilahan, penumpukan residu, tumpukan kompos aktif, penyaringan dan pengemasan serta gudang dan kantor.

    4. Pengomposan adalah proses biologis terjadinya penguraian senyawa-senyawa yang terkandung pada pembusukan sampah karena adanya kegiatan jasad renik dengan menghasilkan produk kompos yang aman.

    5. Pemilahan sampah adalah langkah untuk memilah bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan untuk proses pengomposan serta bahan organik untuk daur ulang lainnya.

    6. Pembalikan adalah cara pengadukan tumpukan sampah yang berfungsi untuk menurunkan suhu dan aerasi.

    7. Pematangan kompos adalah tahapan proses untuk memastikan bahan sampah telah menjadi kompos stabil.

    8. Pengayakan adalah cara untuk memperoleh ukuran partikel kompos yang kecil.

KETENTUAN UMUM

2.1. Ketentuan Umum

Teknologi pengolahan sampah dengan metode PSOMB merupakan pemanfaatan sampah untuk mendapatkan kompos yang dapat dimanfaatkan sebagai ;

  • Soil conditioner yang berfungsi memperbaiki struktur tanah terutama bagi tanah kering dan ladang

  • Soil ameliorator berfungsi mempertinggi kemampuan penukaran kation baik tanah ladang maupun tanah sawah


Selain itu upaya ini juga untuk mengurangi volume sampah yang harus diangkut dari timbunan ke TPA sehingga dapat menghemat lahan TPA sekaligus menguangi biaya pengangkutan sampah.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, ketentuan umum mengenai proses PSOMB adalah sebagai berikut;


a. lokasi PSOMB harus sedekat mungkin dengan pelayanan sampah, sehingga sumber sampah organik mudah diperoleh sebagai bahan pengomposan.

b. Luas lahan yang dibutuhkan minimum 125m2.

c. Kapasitas produksi minimum 3m3/hari = ± 600kg (satu cetakan) dari kapasitas pelayanan pelayanan sampah = 3500 orang.

d. Bahan / daur ulang sampah untuk pembuatan kompos adalah sampah organik pilihan dari sampah dapur, sisa makanan, sisa kulit buah-buahan atau sayuran potongan rumput atau daun-daunan ± 30% dari sampah pasar ± 60%.

e. Bahan daur ulang yang tak dapat dikomposkan adalah kertas, plastik, logam dan lain-lain untuk ;

sampah rmah tangga 70%

sampah pasar 60%


Manajemen pengoperasian PSOMB perlu didukung oleh

instansi pengelola PSOMB yang mendanai(lembaga svvadaya tnasyarakat, dinas kebersihan atau swasta)

biaya pengelolaan yang memadai baik untuk biaya modal kerja, biaya operas! maupun biaya pemeliharaan

adanya aspek pengaturan yang mendukung khususnya dalam kaitannya dengan masalah pemasaran kompos

peran serta masyarakat sangat diharapkan dalam pemilihan sampah di sumber baik dilaksanakan di rumah tangga maupun pada lokasi pengomposan


2.2. Ketentuan Teknis


Pengomposan adalah suatu proses biologis, dimana berbagai mikroorganisme aerob inemegang peranan penting, untuk menguraikan senyawa-senyavva yang terkandung dalam sisa-sisa bahan organik, maka diperlukan suatu kondisi ideal agar proses tersebut dapat berlangsung optimal, ketentuan teknis yang mendukung pengoperasian PSOMB secara optimal khususnya dalam hal pengoperasian produksi kompos, dapat dilihat dalam uraian berikut;


a. Ketentuan bahan baku

Untuk pengomposan optimum, dibutukan bahan baku organik yang memenuhi

syarat sebagai berikut:

  1. keseragaman jenis sampah (sayur mayur, sisa makanan kecuali tulang besar, sisa buah-buahan, sisa daging, daun-daunan / rumput dan lain-lain, baik dari sampah rumah tangga maupun pasar.

  2. sampah yang berasak dari sampah rumah tangga atau sampah pasar

  3. usia sampah tidak lebih dari dua hari, sehingga belum mengalami pembusukan atau mengandung larva lalat

  4. nilai C/N antara 30 - 35 : 1

bila C/N rendah, maka perlu ditambahkan bahan C/N yang tinggi dengan perbandingan seperti contoh perhitungan sebagai berikut : • perbandingan C/N ideal + 30:1 dari serbuk gergaji (segar) kadar C tinggi dan sisa makanan (kadar C rendah) maka untuk mendapatkan perbandingan ideal dibutuhkan percampuran agar menjadi rata-rata 30:1

C/N sisa makanan =15:1

C/N serbuk gergaji (segar) = 511:1


Rumus percampuran : 30

Y =1

15X + 511 =30X + 30

511 -30 = 30X- 15X

481 = 15X

X = 481/15 =32,07


Maka percampuran bahannya sebagai berikut ;

Sisa makanan = 32,07bagian

Serbuk gergaji = 1 bagian


Berikut beberapa nilai C/N rasio dari berbagai bahan organic yang dapat dikomposkan untuk acuan proses pengomposan di lapangan


No


Jenis Bahan


Nilai C/N rasio


1


Kotoran manusia (dibiarkan)


6


2


Kotoran manusia (dihancurkan)


16


3


Humus


10


4


Sisa dapur / makanan


15


5


Rumput segar


11


6


Sisa buah-buahan


35


7


Sampah segar


25


8


Limbah sayuran


11-12


9


Perdu / semak


40-80


10


Batang jagung


60


11


Jerami


30-80


12


Jerami jelai


68


13


Kulit kentang


25


14


Serbuk gergaji


511



  1. kelembaban / kadar air sampah 50%, bila nilainya diatas 50% maka ditambah dengan bahan yang mempunyai sifat menyerap air, seperti dedak dan lainnya dengan dosis 5% dari bahan yang akan diolah (contohnya 200 kg bahan sampah organik + 10kg dedak)

  2. EM4 ; bagi pengomposan dengan ataupun tanpa dedak dosis EM4 0,75% dengan ketinggian tumpukan 0,8m yang diberi pipa-pipa aerasi

  3. glukosa (gula) sebagai bahan makanan utam mikroorganisme 10 sendok makanan per 200 kg sampah air sebagai pelarut

  4. bagi pengomposan dengan dedak 10 1/200 kg sampah bagi pengomposan tanpa dedak 2,5 - 5 1/200 kg sampah

  5. kantong-kantong plastik (kapasitas 3 kg kompos)


b. ketentuan lahan yang dibutuhkan untuk PSOMB

b.l. bangunan PSOMB seluas 102 m2 (pengomposan dengan dedak) terdiri dari

PERUNTUKAN RUANG LAHAN


LUAS


%


Areal pencurahan sampah / pemilahan


9


9


Areal pengomposan


62


61


Tempat barang lapak (cetakan)


4


4


Areal penyaringan / pengemasan


9


9


Gudang


12


11


kantor


6


6


JUMLAH


100


100



harga per m2 bangunan adalah sebesar Rp. 153.000,- (harga pada bulan Juni 1999, Kotamadya Bandung) dengan spesifikasi ;

  • Pondasi batu kali

  • Lantai dasar beton tumbuk

  • Konstruksi bangunan shelter (penutup) tinggi 3m dari kayu kelas II (tanpa dinding)

  • Penutup atap asbes gelombang kecil

  • dinding bata merah diplester dan di cat khusus untuk gudang dan bangunan kantor.

Selasa, 05 Februari 2008

Pendekatan Sosio Kultural dalam Pembangunan Permukiman

Sebagai suatu bentuk kebijakan, pembangunan mempunyai arti yang positif bagi peningkatan dan kemajuan masyarakat, kerena pada hakekatnya pembangunan merupakan usaha terencana yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup, kualitas kehidupan dan martabat manusia. Dengan kata lain, tujuan pembangunan ditekankan pada peningkatan kualitas harkat dan martabat manusia di segala aspek, baik aspek fisik, ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Namun di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hakekat atau pengertian pembangunan tersebut seringkali disederhanakan oleh berbagai pihak, termasuk para penentu kebijakan di lingkungan birokrasi pemerintahan. Secara sengaja atau tidak, pembangunan seringkali hanya diinterpretasikan sebagai pembangunan fisik dan ekonomi saja, seperti pembangunan: jalan, gedung-gedung, pasar-pasar, jembatan, industrialisasi dan lain-lain. Walapun terlihat sepele, penyerderhanaan tersebut mempunyai konsekuensi yang besar terhadap cara pandang pihak-pihak tersebut dalam mengimplementasikan kebijakan di lapangan dan konsistensinya dalam mengarahkan tujuan dan sasaran pembangunan yang pada hakekatnya untuk kepentingan peningkatan kehidupan masyarakat.

Paling tidak terdapat dua konsekuensi yang muncul sebagai akibat dari hasil proses penyederhanaan tersebut:
  1. Konsekuensi terhadap proses pembangunan. Penyederhanaan ini mengakibatkan proses pembangunan hanya dilihat dalam perspektif perubahan masyarakat yang bersifat partial, bukan holistic. Pembangunan fisik dengan demikian hanya dilihat dalam perspektif teknikal saja dan kurang mempertimbangkan perspektif humanitas dan sosio-kultural masyarakat
  2. Konsekuensi terhadap hasil pembangunan. Penyederhanan ini mengakibatkan keberhasilan pembangunan hanya dilihat atau dinilai dari banyaknya fasilitas fisik yang telah dibangun. Padahal dalam kenyataannya, hal tersebut tersebut kurang merefleksikan keadaan yang sesungguhya dimana keberhasilan pembangunan infrastruktur fisik pada dasarnya sangat terkait erat dengan pemanfaatan infrastruktur tersebut oleh masyarakat. Karena itu, bisa saja disuatu daerah telah banyak fasilitas yang dibangun, namun dampak positif dari pembangunan tersebut bagi peningkatan kehidupan masyarakat sangat kecil.
Keadaan ini tentunya harus segera diperbaiki dengan cara memperluas dan mengikutsertakan pendekatan socio-cultural dan socio-economy dalam pendekatan pembangunan yang telah ada.
Pendekatan socio-cultural dalam pembangunan sendiri dapat diartikan sebagai usaha untuk mempertimbangkan aspek aspek sosio-kultural dan menggali nilai-nilai kultural serta pengetahuan lokal yang positif di dalam masyarakat yang berguna dalam proses pembangunan, termasuk pada pembangunan prasarana fisik. Dengan cara ini pengabaian terhadap aspek sosio-kultural masyarakat dalam pembangunan dapat dihindarkan. Sebagai hasilnya akan tercipta keseimbangan dan sinergi antara pendekatan technical dan sosio-cultural. Bila hal ini dapat diwujudkan maka pembangunan infrastruktur fisik akan lebih dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan akan terjadi perubahan kondisi sosio cultural masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai dengan fase-fase yang diharapkan dalam pembangunan

Senin, 04 Februari 2008

PEMBANGUNAN BERDIMENSI SOSIAL EKONOMI (By Fajar Rusman)

PEMBANGUNAN BERDIMENSI SOSIAL EKONOMI DI INDONESIA DALAM KENYATAAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT (IPM,IKM,UPM)
By. Fajar Rusman

A. Kemiskinan Sebagai Masalah Sosial
Kalau kita berbicara tentang kemiskinan, masalah yang paling dominan adalah ekonomi, kebutuhan dasar manusia untuk hidup, yakni pangan, sandang, papan (PSP). Makan nomor satu, sessudah itu pakaian, dan lalu rumah. Kemiskinan bukan produk tunggal dari faktor-faktor ekonomi saja. Faktor-faktor di luar ekonomi seperti kurangnya kapital sosial atau kapital-kapital lainnya yang terkait langsung dengan alam sekitar seperti sumber alam, bencana alam. Kondisi kemiskinan di Indonesia juga tidak sama untuk setiap masyarakat. Ada yang rajin bekerja, ada pula yang agak malas.

Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik menunjukan pada ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (BPS 2002:1). Dengan menganalisis kebutuhan tersebut, BPS menentukan garis kemiskinan yang dapat dipakai sebagai patokan untuk melihat berapa banyak orang miskin yang ada di Indonesia. Adapun garis kemiskinan ini tidak sama untuk setiap Propinsi. Perbedaan garis kemiskinan lebih menunjukkan pada perbedaan indeks biaya hidup. Misalnya biaya hidup di Jakarta jauh lebih tinggi daripada di NTT. Tetapi tetap keduanya sama-sama miskin. Walaupun penentuan garis kemiskinan itu tidak hanya meliputi makan saja, tetapi garis kemiskinan menunjukkan juga kemampuan produktif orang-orang itu, yang besar kemungkinan hanya didukung oleh kurang dari 2100 kalori per hari. Mereka ini masuk dalam katagori rentan sakit, rentan terjerumus ke dalam pelbagai kesulitan ekonomi, atau dalam bahasa Robert Chabers terjebak dalam empat dari lima perangkap kemiskinan. Dan untuk hampir semua kabupaten di Indonesia perangkap yang kelima yakni isolasi, juga merupakan bagian dari kemiskinan itu sendiri.

Pertanyaan teoritik yang paling penting untuk dikemukakan tentunya; apakah mereka itu miskin karena struktur sosial dan apakah dalam struktur sosial yang mereka miliki itu masih ada kekuatan yang dapat diandalkan menjadi kapital sosial? Ada beberapa kesulitan yang pasti sudah terbayang. Pertama, struktur sosial masyarakat-masyarakat itu pasti berlainan, kedua, sumber daya manusia yang terulur melalui pengukuran Indeks Pembangunan Manusia, juga berbeda-beda, malah ada yang kelihatan janggal. Ketiga, sumber daya alam juga berlainan. Misalnya di Papua dan Maluku sangat kaya dengan sumber daya alam, sedangkan di NTT sebaliknya.

Salah satu prinsip yang diterapkan orang dalam pembangunan dengan menggunakan pendekatan community developmen, adalah mengandalkan kekuatan yang ada pada orang miskin itu sendiri. Dalam program P2KP kekuatan itu ada pada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang anggota-anggotanya adalah orang-orang miskin.

Sesuia dengan prinsip self-fulfilling prophecy, program pengentasan kemiskinan akan berjalan efektif sdan efisien kalau pada orang miskin itu sudah ada dasar kebiasaan bekerja. Berhasilnya program pengembangan kapital manusia dan kapital sosial tergantung antara lain pada potensi yang ada pada masyarakat itu sendiri seperti yang tergambar dari Indeks Pembangunan Manusianya (human Development Index).

Nampaknya hubungan antara kemiskinan dan IPM tidak harus konsisten. Komponen penghitungan IPM terdiri dari angka harapan hidup, angka melek hurup, rata-rata lama sekolah, komsumsi per kapita.

B. Modal Sosial dan Pembangunan Manusia
Dalam konteks pembangunan manusia, Modal sosial memiliki pengaruh yang sangat menentukan. Disuatu komunitas yang memilki Modal Sosial rendah hampir dapat dipastikan kualitas pembangunan manusianya akan jauh tertinggal. Beberapa dimensi yang sangat dipengaruhi oleh Modal Sosial antara lain kemampuannya untuk menyelesaikan berbagai problem kolektif, mendorong roda perubahan yang cepat di tengah masyarakat memperluas kesadaran bersama bahwa banyak jalan yang bisa dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki nasib secara bersama-sama, memperbaiki mutu kehidupan. Suatu kelompok masyarakat yang memilki Modal Sosial tinggi akan membuka menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan lebih mudah.
Sebuah kewajaran apabila laporan rutin Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mengenai indikator sosial ekonomi mematik diskusi kontroversial negara-negara yang dari tahun ke tahun menurun peringkat kesejahteraannya, atau istilah PBB adalah pembangunan manusia (human development). Tidak terkecuali Indonesia.

Untuk sekadar diketahui, arsitek awal dari indikator sosial ekonomi adalah seorang Mahbub ul Haq, mantan Kepala Bappenas-nya Pakistan pada tahun 1970-an. Lain dari kebanyakan ekonom arus utama, pada tahun 1970 ul Haq melalui bukunya, Tirai Kemiskinan, menyampaikan kritiknya yang pedas akan kecenderungan para ahli dan politikus mengukur keberhasilan kinerja ekonomi sosial negara menurut indikator rata-rata GNP (pendapatan nasional bruto) dan anak turunannya ala ekonomi makro John Maynard Keynes: seperti tingkat inflasi, pengangguran, investasi, tingkat pembelanjaan pemerintah, tingkat konsumsi dan posisi neraca perdagangan saja.

Ukuran "rata-rata" jelas menegasikan fakta tidak adanya pembagian akses kehidupan dan pendapatan yang merata. "Rata-rata" juga mengandaikan bahwa semua orang sama. Padahal faktanya, sebagaimana dikatakan oleh Amartya Sen dalam bukunya, Inequality Reexamined, banyak unsur ketidaksamaan atau ketidakmerataan di antara warga manusia, kendati ada faktor-faktor bawaan-asali yang sama.

Oleh karena itu, tindakan afirmatif bagi sekelompok masyarakat yang terpinggirkan adalah perlu sebagai syarat dasar pemberdayaan dan demokrasi. Belum lagi kalau kita berbicara tentang tingkat kesejahteraan atau "pembangunan manusia", jelaslah bahwa pendapatan (GNP) hanyalah salah satu indikator-simpul dari banyak indikator lainnya

PEMBANGUNAN manusia tumbuh dari keprihatinan bahwa setelah berpuluh tahun para anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan pembangunan, kemiskinan masih belum juga tertanggulangi. Negara maju makin maju dan makin kaya. Sebaliknya banyak negara sedang berkembang makin ketinggalan dan kesejahteraannya makin memprihatinkan.

Salah satu sebab penting ialah terlalu dominannya pembangunan ekonomi yang mengejar kekayaan materiil dan uang yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB). Sementara itu, keberhasilan pembangunan kesejahteraan masyarakat tidak ada tolok ukurnya, sehingga tersisihkan. Untuk mengatasi kelemahan ini, Mahbul Ul Hak di Program Pembangunan PBB (UNDP) memelopori sebuah konsep baru yang disebut pembangunan manusia (human development). Pembangunan manusia menekankan, kekayaan utama sebuah negara adalah rakyatnya. Tujuan pembangunan ialah untuk membangun sebuah lingkungan yang memberdayakan rakyat untuk menikmati kehidupan panjang yang sehat dan kreatif, sehingga kualitas sumberdaya manusia, baik sebagai kekuatan sosial-budaya maupun ekonomi, negara tersebut akan meningkat.

Pada tahun 1990 diumumkan laporan pertama pembangunan manusia UNDP dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Danny Setiawan, Gubernur Jawa Barat, menegaskan bahwa kebijakan pembangunan Jawa Barat difokuskan pada peningkatan IPM ( 5 Agustus 2006). Saya sarankan agar laju peningkatan kenaikan IPM dapat lebih besar diperlukan perubahan dalam kebijakan umum pembangunan ( 15 Agustus 2006).

Indikator pembangunan manusia mengalami evolusi. Pada tahun 1995 ditambahkan dua indikator, yaitu Indeks Pembangunan-terkait Gender (IPG) dan Ukuran Pemberdayaan Gender (UPM) dan pada tahun 1997 ditambah lagi dengan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), sehingga indikator selengkapnya pembangunan manusia menurut UNDP ialah IPM, IPG, UPM, dan IKM.

IPG dan UPM lahir dari keprihatinan adanya diskriminasi gender laki-laki dan perempuan. Sangat umum terdapat perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan. Di negara kita, misalnya, pada keluarga berpendapatan rendah yang dana pendidikannya terbatas, anak laki-laki didahulukan untuk bersekolah daripada anak perempuan. Dalam dunia ekonomi untuk pekerjaan yang sejenis, upah perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Posisi kepemimpinan dalam ekonomi dan politik juga didominasi oleh laki-laki. Ini tampak jelas di kabinet, keanggotaan DPR/DPRD dan pimpinan universitas.

Diskriminasi tidaklah etis. Lagi pula peran sosial-ekonomi-budaya perempuan adalah besar. Misalnya, perempuan lebih dekat dengan balita daripada laki-laki, sehingga pendidikan awal sosial-ekonomi-budaya manusia sangat dipengaruhi oleh perempuan. Jika perempuan sehat, berpendidikan dan berwawasan luas, generasi yang akan datang pun akan sehat, berpendidikan dan berwawasan luas. Sejarah juga menunjukkan adanya pemimpin perempuan yang tangguh. Misalnya Cut Nya Din sebagai panglima perang serta Dewi Sartika dan Kartini sebagai pelopor pendidikan. Dengan demikian dengan melakukan kesetaraan gender, potensi pada perempuan yang jumlahnya sedikit lebih dari 50% jumlah penduduk kita akan dapat berkembang dengan baik untuk pembangunan nusa dan bangsa. Sebaliknya dengan melakukan diskriminasi gender kita kehilangan potensi itu.

Seperti halnya dengan IPM, IPG terdiri atas 3 indikator, yaitu indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks pendapatan. Hanya, pada IPG diperinci antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, indeks harapan hidup masing-masing untuk laki-laki dan perempuan serta indeks bersekolah masing-masing juga untuk laki-laki dan perempuan. Makin dekat nilai IPG pada IPM, makin besar adanya kesetaraan gender.

UPG dihitung dari persentase perempuan yang menjadi anggota parlemen, menduduki posisi kepemimpinan administratif dan pengelolaan (management) serta kedudukan profesional dan teknis.

IKM mengukur indikator kelayakan hidup (decent life) dalam bidang serupa dengan IPM, yaitu panjang hidup, pengetahuan dan kualitas hidup, tetapi dipandang dari sudut negatif atau kekurangan (deprivation). Dalam hal panjang hidup yang diukur ialah persentase orang yang tidak dapat diharapkan umurnya akan lebih dari 40 tahun.

Pengetahuan diukur dengan besarnya persentase orang dewasa yang buta huruf dan kualitas hidup diukur dengan tiga indikator, yaitu persentase orang yang tidak mendapatkan layanan air bersih, persentase orang yang tidak mendapatkan layanan kesehatan dan persentase balita yang berat badannya kurang (underweight). IPM secara implisit memerhatikan kemiskinan, sedangkan IKM dengan eksplisit terfokus pada orang miskin.

Uraian singkat di atas menunjukkan, pembangunan manusia bersifat pro-rakyat miskin dan pro-kesetaraan gender. Pembangunan yang pro-rakyat miskin merupakan landasan usaha kita untuk menanggulangi kemiskinan. Pro-rakyat miskin tidaklah berarti anti-orang kaya. Setiap orang mempunyai hak untuk menjadi kaya, selama usaha untuk menjadi kaya tidak melanggar hukum. Hak rakyat miskin untuk memperbaiki nasibnya perlu mendapatkan perhatian khusus, karena rakyat miskin adalah lemah yang disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor pendidikan yang rendah, keterampilan yang rendah pula dan modal yang lemah.

Pembangunan manusia berusaha mengatasi kelemahan itu dengan memberikan kesempatan dan fasilitas yang adil dan wajar kepada rakyat miskin. Kita sering tidak merasa bahwa kita telah mengambil hak rakyat miskin. Sebuah contoh ialah hak jalan. Banyak rakyat miskin yang berjualan dengan memikul dagangannya, misalnya seorang pedagang kacang rebus/goreng, ataupun dengan menggunakan sebuah gerobak kecil dan sepeda, misalnya pedagang bakso dan buah serta pengantar koran.

Hak mereka untuk menggunakan jalan sangatlah terbatas, karena tidak ada trotoar yang baik untuk berjalan memikul dagangan dan tidak ada pula jalur khusus di badan jalan untuk gerobak dagangan dan sepeda. Lagi pula banyak trotoar yang dipersempit untuk pelebaran jalan dan banyak mobil diparkir di tepi jalan sehingga makin mempersempit hak pedagang untuk berjalan dan menggendong/mendorong gerobak dagangannya.

Jelas, kondisi ini tidak adil. Rakyat yang bermobil tidak merasa bahwa dengan pelebaran jalan pemerintah telah mengurangi hak jalan rakyat miskin dan memberikan hak jalan tambahan itu kepada rakyat bermobil. Saran untuk memperbaiki dan memperlebar trotoar serta untuk membuat jalur khusus sepeda/gerobak dagangan selalu ditanggapi dengan sinis atau dianggap sepi dan tidak ditanggapi.

Padahal kebijakan pembangunan memperlebar dan menambah jalan baru ialah meningkatkan laju pertumbuhan jumlah kendaraan sehingga jalan yang diperlebar dan jalan baru dengan cepat mengalami kemacetan lagi. Bahkan kemacetan itu makin parah daripada sebelumnya. Lihat saja Jalan Junjunan. Sekarang Jalan Junjunan sedang diperlebar dengan mengorbankan pohon palm raja yang masih tersisa dari pelebaran yang dulu. Dapat dipastikan efek mengurangi kemacetan juga akan sebentar saja.

Pemberian fasilitas juga harus wajar dan diusahakan agar pemberian fasilitas itu bersifat mendidik dan bukannya membuat rakyat miskin menjadi tergantung pada bantuan. Bantuan pemerintah berupa bantuan tunai khusus untuk kompensasi kenaikan harga BBM adalah contoh bantuan yang tidak wajar. Rakyat dididik untuk menerima bantuan dan bukannya diberi modal untuk bekerja.

Pro-kesetaraan gender juga tidak berarti anti-laki-laki. Perempuan diberi hak dan kesempatan yang adil dan wajar. Jika dalam keluarga ada anak laki-laki dan perempuan dan dana untuk pendidikan terbatas, anak yang terpandai, inovatif, aktif, berinisiatif dan mempunyai rasa tanggungjawab yang tinggilah yang diberi prioritas, meskipun dia adalah perempuan.

Anak demikianlah yang akan meningkatkan derajat keluarga dan bangsa. Pemberian hak itu juga harus wajar, bukan semata-mata karena jenis gendernya. Misalnya, menurut pendapat saya pemberian jatah keanggotaan DPR/DPRD kepada perempuan tidaklah wajar. Jika para pemilih sudah terdidik untuk pro-kesetaraan gender, tidak perlulah ada jatah. Biarlah perempuan dan laki-laki berkompetisi dengan adil dan menunjukkan ideologi dan kemampuannya untuk pembangunan bangsa dan negara.

Tampaklah, penggunaan IPM sebagai fokus kebijakan haruslah dianggap sebagai langkah pertama dalam pembangunan manusia. Seyogyanyalah langkah itu dilengkapi dengan memperhatikan dan mengusahakan pula kenaikan indek pembangunan manusia lainnya, yaitu IPG, UPG dan IKM. Dengan kenaikan semua indeks pembangunan manusia kualitas sumberdaya manusia sebagai penggerak pembangunan ekonomi dan sosial-budaya akan meningkat. Daya saing Jawa Barat akan meningkat pula. Pembangunan akan bergerak dengan laju yang makin tinggi dengan pembagian manfaat pembangunan yang adil dan merata.

C. Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi
Modal sosial saat ini dipandang sebagai bumbu vital bagi perkembangan pembangunan ekonomi masyakarat.

Modal sosial sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Di sektor pertanian misalnya, upaya pemerintah terutama untuk meningkatkan produksi seringkali mengalami kegagalan walaupun berbagai input modal telah mengucur kepedesaan seperti pupuk, peralatan-peralatan modern irigasi modern, dan berbagai fasilitas kredit yang mleimpah. Kegagalan meningkatkan produksi sangat berkaitan erat dengan spektrum modal sosial yang sangat lemah. Faktor ini sama sekali tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Perubahan-perubahan ilim memang semakin menyulitkan petani untuk musim tanam yang tepat. Tetapi dari perubahan iklim ini pula tingkat kemasing—masingan petani untuk memulai musim tanam semakin tinggi. Dewasa ini, walupun dibeberapa daerah belum terasa, kecengrungan untuk sendiri-sendiri memulai bercocok tanam padi tumbuh dan menjadi warna baru budaya perdesaan. Antar individu dalam satu desa, kekompakan menurun drastis yang sekligus merefleksikan hilangnya kohesifitas sosial di pedesaan.


D. Pemberdayaan Masyarakat
Visi pemberdayaan masyarakat adalah terwujudnya kemandirian masyarakat berdasarkanIman dan Taqwa ”(terciptanya kondisi yang memungkinkan masyarakatnya mampu membangun diri dan lingkungannya berdasar potensi, kebutuhan, aspirasi dan kemampuan yang ada pada masyarakat, termasuk kelembagaannya)”

Sedangkan misi dari pemberdayaan masyarakat adalah
1. Mewujudkan peraturan daerah dan peratuiran desa yang memihak kepada masyarakat lemah
2. Mewujudkan pemerintahan desa lembaga kemasyarakatan yang ada di desa ke arah yang lebih baik.
3. Mengembangkan nilai-nilai agama, kebersamaan dan kegotongrongan dalam rangka pemabngunan masyarakat desa.
4. Membangkitkan dan mengembangkan potensi masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik
5. Mewujudkan pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat
(Balai Pengembangan Masyarakat Pemerintahan Bogor : 2001)

Pemberdayaan masyarakat berarti upaya untuk menguatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan. Dalam kerangka berfikir seperti ini, maka upaya pemberdayaan harus dimulai dengan menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang untuk lebih mandiri lagi.

Dalam upaya memberdayakan masyarakat ada tiga strategi yang ditawarkan (Sumodiningrat 2002 yaitu :
  1. Menciptakan suasana iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, karena sesungguhnya setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan, dalam arti tidak ada masyarakat yang tanpa potensi atau tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong , memotivasi dan membangkitkan kesadaran (Awarenes) akan potensi yang dimilikinya.
  2. Memperkuat daya yang dimiliki oleh masyarakat (pemberdayaan). Dalam kerangka ini diperlukan langkah-langkah yang baik konkrit selain menciptakan iklim yang kondusif yang termasuk dalam kereangka ini adalah memberikan penyediaan berbagai sarana dan pembukaan akses peluang usaha agar masyarakat menjadi lebih berdaya.
  3. Memberdayakan berarti melindungi. Perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah merupakan hal yang mendasar dalam pemberdayaan masyarakat, melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena ini akan memperlemah daya yang dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya pasangan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya memiliki dua makna yaitu :
1. Meningkatkan kemampuan masyarakat (to give ability or enable) melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program pembangunan, agar kondisi kehidupan masyarakat dapat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan
2. Meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pemberian wewenang secara proposional kepada masyarakat dalam pengambilan keputusan (to give authority) dalam rangka membangun diri dari lingkungan secara mandiri.

Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat berarti memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan :
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat melelui pemberian input berupa bantuan dana pembangunan prasarana dan sarana baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan) serta pengembangan lembaga penelitian dan pemasaran di daerah.
Melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada mayarakat yang lemah untuk mencegak persaingan atau menutupi dari interaksi.

Model Pengembangan Rantai Pasok Rumput Laut oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guna Pemenuhan Kebutuhan Rumput Laut Dan Produk Turunannya

Denny Noviansyah Abstrak Indonesia sebagai negara Maritim mempunyai Panjang pantai seluas 95.181 km 2 . Pesisir pantai mempunyai berbagai je...