Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik menunjukan pada ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (BPS 2002:1). Dengan menganalisis kebutuhan tersebut, BPS menentukan garis kemiskinan yang dapat dipakai sebagai patokan untuk melihat berapa banyak orang miskin yang ada di Indonesia. Adapun garis kemiskinan ini tidak sama untuk setiap Propinsi. Perbedaan garis kemiskinan lebih menunjukkan pada perbedaan indeks biaya hidup. Misalnya biaya hidup di Jakarta jauh lebih tinggi daripada di NTT. Tetapi tetap keduanya sama-sama miskin. Walaupun penentuan garis kemiskinan itu tidak hanya meliputi makan saja, tetapi garis kemiskinan menunjukkan juga kemampuan produktif orang-orang itu, yang besar kemungkinan hanya didukung oleh kurang dari 2100 kalori per hari. Mereka ini masuk dalam katagori rentan sakit, rentan terjerumus ke dalam pelbagai kesulitan ekonomi, atau dalam bahasa Robert Chabers terjebak dalam empat dari lima perangkap kemiskinan. Dan untuk hampir semua kabupaten di Indonesia perangkap yang kelima yakni isolasi, juga merupakan bagian dari kemiskinan itu sendiri.
Pertanyaan teoritik yang paling penting untuk dikemukakan tentunya; apakah mereka itu miskin karena struktur sosial dan apakah dalam struktur sosial yang mereka miliki itu masih ada kekuatan yang dapat diandalkan menjadi kapital sosial? Ada beberapa kesulitan yang pasti sudah terbayang. Pertama, struktur sosial masyarakat-masyarakat itu pasti berlainan, kedua, sumber daya manusia yang terulur melalui pengukuran Indeks Pembangunan Manusia, juga berbeda-beda, malah ada yang kelihatan janggal. Ketiga, sumber daya alam juga berlainan. Misalnya di Papua dan Maluku sangat kaya dengan sumber daya alam, sedangkan di NTT sebaliknya.
Salah satu prinsip yang diterapkan orang dalam pembangunan dengan menggunakan pendekatan community developmen, adalah mengandalkan kekuatan yang ada pada orang miskin itu sendiri. Dalam program P2KP kekuatan itu ada pada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang anggota-anggotanya adalah orang-orang miskin.
Sesuia dengan prinsip self-fulfilling prophecy, program pengentasan kemiskinan akan berjalan efektif sdan efisien kalau pada orang miskin itu sudah ada dasar kebiasaan bekerja. Berhasilnya program pengembangan kapital manusia dan kapital sosial tergantung antara lain pada potensi yang ada pada masyarakat itu sendiri seperti yang tergambar dari Indeks Pembangunan Manusianya (human Development Index).
Nampaknya hubungan antara kemiskinan dan IPM tidak harus konsisten. Komponen penghitungan IPM terdiri dari angka harapan hidup, angka melek hurup, rata-rata lama sekolah, komsumsi per kapita.
B. Modal Sosial dan Pembangunan Manusia
Dalam konteks pembangunan manusia, Modal sosial memiliki pengaruh yang sangat menentukan. Disuatu komunitas yang memilki Modal Sosial rendah hampir dapat dipastikan kualitas pembangunan manusianya akan jauh tertinggal. Beberapa dimensi yang sangat dipengaruhi oleh Modal Sosial antara lain kemampuannya untuk menyelesaikan berbagai problem kolektif, mendorong roda perubahan yang cepat di tengah masyarakat memperluas kesadaran bersama bahwa banyak jalan yang bisa dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk memperbaiki nasib secara bersama-sama, memperbaiki mutu kehidupan. Suatu kelompok masyarakat yang memilki Modal Sosial tinggi akan membuka menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan lebih mudah.
Sebuah kewajaran apabila laporan rutin Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) mengenai indikator sosial ekonomi mematik diskusi kontroversial negara-negara yang dari tahun ke tahun menurun peringkat kesejahteraannya, atau istilah PBB adalah pembangunan manusia (human development). Tidak terkecuali Indonesia.
Untuk sekadar diketahui, arsitek awal dari indikator sosial ekonomi adalah seorang Mahbub ul Haq, mantan Kepala Bappenas-nya Pakistan pada tahun 1970-an. Lain dari kebanyakan ekonom arus utama, pada tahun 1970 ul Haq melalui bukunya, Tirai Kemiskinan, menyampaikan kritiknya yang pedas akan kecenderungan para ahli dan politikus mengukur keberhasilan kinerja ekonomi sosial negara menurut indikator rata-rata GNP (pendapatan nasional bruto) dan anak turunannya ala ekonomi makro John Maynard Keynes: seperti tingkat inflasi, pengangguran, investasi, tingkat pembelanjaan pemerintah, tingkat konsumsi dan posisi neraca perdagangan saja.
Ukuran "rata-rata" jelas menegasikan fakta tidak adanya pembagian akses kehidupan dan pendapatan yang merata. "Rata-rata" juga mengandaikan bahwa semua orang sama. Padahal faktanya, sebagaimana dikatakan oleh Amartya Sen dalam bukunya, Inequality Reexamined, banyak unsur ketidaksamaan atau ketidakmerataan di antara warga manusia, kendati ada faktor-faktor bawaan-asali yang sama.
Oleh karena itu, tindakan afirmatif bagi sekelompok masyarakat yang terpinggirkan adalah perlu sebagai syarat dasar pemberdayaan dan demokrasi. Belum lagi kalau kita berbicara tentang tingkat kesejahteraan atau "pembangunan manusia", jelaslah bahwa pendapatan (GNP) hanyalah salah satu indikator-simpul dari banyak indikator lainnya
PEMBANGUNAN manusia tumbuh dari keprihatinan bahwa setelah berpuluh tahun para anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan pembangunan, kemiskinan masih belum juga tertanggulangi. Negara maju makin maju dan makin kaya. Sebaliknya banyak negara sedang berkembang makin ketinggalan dan kesejahteraannya makin memprihatinkan.
Salah satu sebab penting ialah terlalu dominannya pembangunan ekonomi yang mengejar kekayaan materiil dan uang yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB). Sementara itu, keberhasilan pembangunan kesejahteraan masyarakat tidak ada tolok ukurnya, sehingga tersisihkan. Untuk mengatasi kelemahan ini, Mahbul Ul Hak di Program Pembangunan PBB (UNDP) memelopori sebuah konsep baru yang disebut pembangunan manusia (human development). Pembangunan manusia menekankan, kekayaan utama sebuah negara adalah rakyatnya. Tujuan pembangunan ialah untuk membangun sebuah lingkungan yang memberdayakan rakyat untuk menikmati kehidupan panjang yang sehat dan kreatif, sehingga kualitas sumberdaya manusia, baik sebagai kekuatan sosial-budaya maupun ekonomi, negara tersebut akan meningkat.
Pada tahun 1990 diumumkan laporan pertama pembangunan manusia UNDP dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Danny Setiawan, Gubernur Jawa Barat, menegaskan bahwa kebijakan pembangunan Jawa Barat difokuskan pada peningkatan IPM ( 5 Agustus 2006). Saya sarankan agar laju peningkatan kenaikan IPM dapat lebih besar diperlukan perubahan dalam kebijakan umum pembangunan ( 15 Agustus 2006).
Indikator pembangunan manusia mengalami evolusi. Pada tahun 1995 ditambahkan dua indikator, yaitu Indeks Pembangunan-terkait Gender (IPG) dan Ukuran Pemberdayaan Gender (UPM) dan pada tahun 1997 ditambah lagi dengan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM), sehingga indikator selengkapnya pembangunan manusia menurut UNDP ialah IPM, IPG, UPM, dan IKM.
IPG dan UPM lahir dari keprihatinan adanya diskriminasi gender laki-laki dan perempuan. Sangat umum terdapat perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan. Di negara kita, misalnya, pada keluarga berpendapatan rendah yang dana pendidikannya terbatas, anak laki-laki didahulukan untuk bersekolah daripada anak perempuan. Dalam dunia ekonomi untuk pekerjaan yang sejenis, upah perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Posisi kepemimpinan dalam ekonomi dan politik juga didominasi oleh laki-laki. Ini tampak jelas di kabinet, keanggotaan DPR/DPRD dan pimpinan universitas.
Diskriminasi tidaklah etis. Lagi pula peran sosial-ekonomi-budaya perempuan adalah besar. Misalnya, perempuan lebih dekat dengan balita daripada laki-laki, sehingga pendidikan awal sosial-ekonomi-budaya manusia sangat dipengaruhi oleh perempuan. Jika perempuan sehat, berpendidikan dan berwawasan luas, generasi yang akan datang pun akan sehat, berpendidikan dan berwawasan luas. Sejarah juga menunjukkan adanya pemimpin perempuan yang tangguh. Misalnya Cut Nya Din sebagai panglima perang serta Dewi Sartika dan Kartini sebagai pelopor pendidikan. Dengan demikian dengan melakukan kesetaraan gender, potensi pada perempuan yang jumlahnya sedikit lebih dari 50% jumlah penduduk kita akan dapat berkembang dengan baik untuk pembangunan nusa dan bangsa. Sebaliknya dengan melakukan diskriminasi gender kita kehilangan potensi itu.
Seperti halnya dengan IPM, IPG terdiri atas 3 indikator, yaitu indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks pendapatan. Hanya, pada IPG diperinci antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, indeks harapan hidup masing-masing untuk laki-laki dan perempuan serta indeks bersekolah masing-masing juga untuk laki-laki dan perempuan. Makin dekat nilai IPG pada IPM, makin besar adanya kesetaraan gender.
UPG dihitung dari persentase perempuan yang menjadi anggota parlemen, menduduki posisi kepemimpinan administratif dan pengelolaan (management) serta kedudukan profesional dan teknis.
IKM mengukur indikator kelayakan hidup (decent life) dalam bidang serupa dengan IPM, yaitu panjang hidup, pengetahuan dan kualitas hidup, tetapi dipandang dari sudut negatif atau kekurangan (deprivation). Dalam hal panjang hidup yang diukur ialah persentase orang yang tidak dapat diharapkan umurnya akan lebih dari 40 tahun.
Pengetahuan diukur dengan besarnya persentase orang dewasa yang buta huruf dan kualitas hidup diukur dengan tiga indikator, yaitu persentase orang yang tidak mendapatkan layanan air bersih, persentase orang yang tidak mendapatkan layanan kesehatan dan persentase balita yang berat badannya kurang (underweight). IPM secara implisit memerhatikan kemiskinan, sedangkan IKM dengan eksplisit terfokus pada orang miskin.
Uraian singkat di atas menunjukkan, pembangunan manusia bersifat pro-rakyat miskin dan pro-kesetaraan gender. Pembangunan yang pro-rakyat miskin merupakan landasan usaha kita untuk menanggulangi kemiskinan. Pro-rakyat miskin tidaklah berarti anti-orang kaya. Setiap orang mempunyai hak untuk menjadi kaya, selama usaha untuk menjadi kaya tidak melanggar hukum. Hak rakyat miskin untuk memperbaiki nasibnya perlu mendapatkan perhatian khusus, karena rakyat miskin adalah lemah yang disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor pendidikan yang rendah, keterampilan yang rendah pula dan modal yang lemah.
Pembangunan manusia berusaha mengatasi kelemahan itu dengan memberikan kesempatan dan fasilitas yang adil dan wajar kepada rakyat miskin. Kita sering tidak merasa bahwa kita telah mengambil hak rakyat miskin. Sebuah contoh ialah hak jalan. Banyak rakyat miskin yang berjualan dengan memikul dagangannya, misalnya seorang pedagang kacang rebus/goreng, ataupun dengan menggunakan sebuah gerobak kecil dan sepeda, misalnya pedagang bakso dan buah serta pengantar koran.
Hak mereka untuk menggunakan jalan sangatlah terbatas, karena tidak ada trotoar yang baik untuk berjalan memikul dagangan dan tidak ada pula jalur khusus di badan jalan untuk gerobak dagangan dan sepeda. Lagi pula banyak trotoar yang dipersempit untuk pelebaran jalan dan banyak mobil diparkir di tepi jalan sehingga makin mempersempit hak pedagang untuk berjalan dan menggendong/mendorong gerobak dagangannya.
Jelas, kondisi ini tidak adil. Rakyat yang bermobil tidak merasa bahwa dengan pelebaran jalan pemerintah telah mengurangi hak jalan rakyat miskin dan memberikan hak jalan tambahan itu kepada rakyat bermobil. Saran untuk memperbaiki dan memperlebar trotoar serta untuk membuat jalur khusus sepeda/gerobak dagangan selalu ditanggapi dengan sinis atau dianggap sepi dan tidak ditanggapi.
Padahal kebijakan pembangunan memperlebar dan menambah jalan baru ialah meningkatkan laju pertumbuhan jumlah kendaraan sehingga jalan yang diperlebar dan jalan baru dengan cepat mengalami kemacetan lagi. Bahkan kemacetan itu makin parah daripada sebelumnya. Lihat saja Jalan Junjunan. Sekarang Jalan Junjunan sedang diperlebar dengan mengorbankan pohon palm raja yang masih tersisa dari pelebaran yang dulu. Dapat dipastikan efek mengurangi kemacetan juga akan sebentar saja.
Pemberian fasilitas juga harus wajar dan diusahakan agar pemberian fasilitas itu bersifat mendidik dan bukannya membuat rakyat miskin menjadi tergantung pada bantuan. Bantuan pemerintah berupa bantuan tunai khusus untuk kompensasi kenaikan harga BBM adalah contoh bantuan yang tidak wajar. Rakyat dididik untuk menerima bantuan dan bukannya diberi modal untuk bekerja.
Pro-kesetaraan gender juga tidak berarti anti-laki-laki. Perempuan diberi hak dan kesempatan yang adil dan wajar. Jika dalam keluarga ada anak laki-laki dan perempuan dan dana untuk pendidikan terbatas, anak yang terpandai, inovatif, aktif, berinisiatif dan mempunyai rasa tanggungjawab yang tinggilah yang diberi prioritas, meskipun dia adalah perempuan.
Anak demikianlah yang akan meningkatkan derajat keluarga dan bangsa. Pemberian hak itu juga harus wajar, bukan semata-mata karena jenis gendernya. Misalnya, menurut pendapat saya pemberian jatah keanggotaan DPR/DPRD kepada perempuan tidaklah wajar. Jika para pemilih sudah terdidik untuk pro-kesetaraan gender, tidak perlulah ada jatah. Biarlah perempuan dan laki-laki berkompetisi dengan adil dan menunjukkan ideologi dan kemampuannya untuk pembangunan bangsa dan negara.
Tampaklah, penggunaan IPM sebagai fokus kebijakan haruslah dianggap sebagai langkah pertama dalam pembangunan manusia. Seyogyanyalah langkah itu dilengkapi dengan memperhatikan dan mengusahakan pula kenaikan indek pembangunan manusia lainnya, yaitu IPG, UPG dan IKM. Dengan kenaikan semua indeks pembangunan manusia kualitas sumberdaya manusia sebagai penggerak pembangunan ekonomi dan sosial-budaya akan meningkat. Daya saing Jawa Barat akan meningkat pula. Pembangunan akan bergerak dengan laju yang makin tinggi dengan pembagian manfaat pembangunan yang adil dan merata.
C. Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi
Modal sosial saat ini dipandang sebagai bumbu vital bagi perkembangan pembangunan ekonomi masyakarat.
Modal sosial sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Di sektor pertanian misalnya, upaya pemerintah terutama untuk meningkatkan produksi seringkali mengalami kegagalan walaupun berbagai input modal telah mengucur kepedesaan seperti pupuk, peralatan-peralatan modern irigasi modern, dan berbagai fasilitas kredit yang mleimpah. Kegagalan meningkatkan produksi sangat berkaitan erat dengan spektrum modal sosial yang sangat lemah. Faktor ini sama sekali tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Perubahan-perubahan ilim memang semakin menyulitkan petani untuk musim tanam yang tepat. Tetapi dari perubahan iklim ini pula tingkat kemasing—masingan petani untuk memulai musim tanam semakin tinggi. Dewasa ini, walupun dibeberapa daerah belum terasa, kecengrungan untuk sendiri-sendiri memulai bercocok tanam padi tumbuh dan menjadi warna baru budaya perdesaan. Antar individu dalam satu desa, kekompakan menurun drastis yang sekligus merefleksikan hilangnya kohesifitas sosial di pedesaan.
D. Pemberdayaan Masyarakat
Visi pemberdayaan masyarakat adalah terwujudnya kemandirian masyarakat berdasarkanIman dan Taqwa ”(terciptanya kondisi yang memungkinkan masyarakatnya mampu membangun diri dan lingkungannya berdasar potensi, kebutuhan, aspirasi dan kemampuan yang ada pada masyarakat, termasuk kelembagaannya)”
Sedangkan misi dari pemberdayaan masyarakat adalah
1. Mewujudkan peraturan daerah dan peratuiran desa yang memihak kepada masyarakat lemah
2. Mewujudkan pemerintahan desa lembaga kemasyarakatan yang ada di desa ke arah yang lebih baik.
3. Mengembangkan nilai-nilai agama, kebersamaan dan kegotongrongan dalam rangka pemabngunan masyarakat desa.
4. Membangkitkan dan mengembangkan potensi masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik
5. Mewujudkan pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat
(Balai Pengembangan Masyarakat Pemerintahan Bogor : 2001)
Pemberdayaan masyarakat berarti upaya untuk menguatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan. Dalam kerangka berfikir seperti ini, maka upaya pemberdayaan harus dimulai dengan menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang untuk lebih mandiri lagi.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat ada tiga strategi yang ditawarkan (Sumodiningrat 2002 yaitu :
Menciptakan suasana iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, karena sesungguhnya setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan, dalam arti tidak ada masyarakat yang tanpa potensi atau tanpa daya. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong , memotivasi dan membangkitkan kesadaran (Awarenes) akan potensi yang dimilikinya.
Memperkuat daya yang dimiliki oleh masyarakat (pemberdayaan). Dalam kerangka ini diperlukan langkah-langkah yang baik konkrit selain menciptakan iklim yang kondusif yang termasuk dalam kereangka ini adalah memberikan penyediaan berbagai sarana dan pembukaan akses peluang usaha agar masyarakat menjadi lebih berdaya.
Memberdayakan berarti melindungi. Perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah merupakan hal yang mendasar dalam pemberdayaan masyarakat, melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena ini akan memperlemah daya yang dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya pasangan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya memiliki dua makna yaitu :
1. Meningkatkan kemampuan masyarakat (to give ability or enable) melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program pembangunan, agar kondisi kehidupan masyarakat dapat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan
2. Meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pemberian wewenang secara proposional kepada masyarakat dalam pengambilan keputusan (to give authority) dalam rangka membangun diri dari lingkungan secara mandiri.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat berarti memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan :
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat melelui pemberian input berupa bantuan dana pembangunan prasarana dan sarana baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan) serta pengembangan lembaga penelitian dan pemasaran di daerah.
Melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada mayarakat yang lemah untuk mencegak persaingan atau menutupi dari interaksi.