Custom Search

Selasa, 29 Januari 2008

Tanya Kenapa? Kagak Ngarti!!! (By Nugon)

Masih seputar training... ada uneg-uneg entah dari atasan yang mengirim personilnya untuk mengikuti training, atau dari partisipan itu sendiri – bisa atasan atau pun staff biasa – yang mengikuti training….yaitu Kagak Ngarti! Yap , benar! Bukan hal asing bagi penulis mendengar kalimat tersebut, bahwa dari mulut partisipan sendiri, atau pihak yang mengirim partisipan, sering mengeluhkan bahwa materi training yang diberikan belum atau tidak dimengerti.

Partisipan sering kali berada di `kehampaan` tatkala mengikuti training, dan anehnya lagi entah pasrah atau menikmati, tidak bertanya kepada trainer apa yang tidak dipahaminya. Salah Siapa? Bisa jadi trainer yang punya andil; bisa jadi partisipan; dan bisa jadi keduanya; atau mungkin dari pihak lain yang terlibat terutama dalam melakukan negosiasi untuk melaksanakan training, yaitu umumnya para sales dari training provider, dan juga pihak HRD dari partisipan.


Partisipan punya andil dalam masalah ini. Bisa jadi karena tidak termotivasi untuk mengikuti training. Bisa jadi karena tidak bisa berkonsentrasi lantaran banyak interupsi, terutama urusan kantor. Ini sering terjadi, terlebih pada training on-site/in-house; atau karena kondisi suasana lingkungan tempat training kurang kondusif.

Selain itu partisipan tidak mengerti karena pada saat mengikuti training tidak melakukan analisa secara 5 W + H, yaitu What, When, Why, Who, Where, How (mohon maaf kalau urutan mungkin tidak tepat). Bila diperas (meminjam istilah Orde lama), seseorang…siapa pun yang ingin belajar, harus menanyakan Why, What, How. Masih ingin diperas lagi? Tanya Kenapa? Yah, pertanyaan yang harus dilontarkan adalah Why (Kenapa). Sayangnya sejauh pengalaman penulis, banyak partisipan yang lebih senang berdialog dalam kebisuan, menikmati kehampaan.

Sebagai contoh, teman penulis yang merupakan trainer networking (trainer CISCO) menjelaskan (dan semoga penulis menyampaikan ulang dengan baik dan benar) mengenai kenapa ada topologi Star beserta teknologi network device pendukung semisal Hub, Switch, dan Router. Ini semua karena dilatarbelakangi oleh beberapa issue yang dihadapi oleh beberapa topologi seperti Ring dan Bus, yaitu bila salah satu point/node terganggu maka keseluruhan network akan terganggu/putus.

Sebuah contoh lagi, kenapa ada konsep dan teknologi Directory Services semisal Active Directory Services di Microsoft Windows platform? Dikembangkan untuk mengatasi kelemahan pada konsep dan teknologi Workgroup. Karena bila kita menginginkan semua PC dalam workgroup dapat saling sharing resource mereka, maka perlu melakukan setting dan konfigurasi yang identik pada semua PC, terutama yang terkait pada proses autentikasi, dengan cara meregister semua user account dan password secara identik di semua PC dalam workgroup.

Contoh yang lain, kenapa ada Relational Database? Diciptakan untuk mengatasi kelemahan cara mengakses dan mengkombinasikan beberapa kelompok data (table) yang terjadi di model Hierarchical Database (berbentuk Tree). Relational Database mengkombinasikan beberapa table (yaitu dengan klausa Join dan Union ) dengan memanfaatkan konsep matematika relasional, terutama dengan teknik Cartesian Product.

Masih banyak contoh lain yang sejenis, yang akan kita dapatkan di berbagai website atau buku-buku bacaan IT, yang intinya menerangkan Why (Kenapa) muncul konsep dan teknologi tersebut, yaitu untuk menjawab tantangan dan mungkin juga kelemahan yg dihadapi oleh teknologi sebelumnya.

Partisipan yang ingin mengikuti training sebaiknya memperkecil gap ketidaktahuan, misalnya dengan mencari artikel ringan terkait pendefinisian (What) topik yang akan dibahas pada training, atau sistematika topik tersebut. Bisa kita cari pada website semisal http://en.wikipedia .org , http://whatis. techtarget. com , http://techrepublic .
com.com , atau http://www.ilmukomp uter.com, dan sebagainya. Buku yang termasuk dalam kategori “For Dummies” juga sangat membantu untuk mengurangi gap tersebut. Bahkan penulis menganggap orang yang mengarang buku “For Dummies” ini jenius, karena bisa mencerahkan orang yang tadinya belum tahu sama sekali. Bisa dijajal, misalnya bisa mencoba ke http://www.flazx. com/index. php , lalu search “For Dummies”.


Dari Trainer, andil terbesar yang membuat partisipan tidak paham adalah tidak menjelaskan secara Top-Down, dari hal yang mendasar, umum…lalu dirinci secara bertahap sampai ke tahap terdetail yang mudah diserap oleh partisipan. Selain itu juga banyak kejadian trainer menerangkan dengan jargon yang tidak dimengerti partisipan. Semestinya trainer menerangkan dengan menggunakan analogi (qiyas) dengan hal-hal yang akrab di benak partisipan.

Sebagai contoh, ada beberapa kejadian training dan perkuliahan database yang mengajarkan materi index secara mendetail, bahkan terlalu detail, padahal kebanyakan dari mereka awam terhadap hal tersebut. Dan hal ini dikeluhkan oleh partisipan atau mahasiswa karena menyebabkan mereka tidak mengerti terhadap apa yang diajarkan. Bahkan yang lebih menarik, ada beberapa orang dari mereka yang tidak mempunyai bayangan tentang apa itu index. Mungkin ada baiknya pengajar memberikan asosiasi dan analogi, dengan cara membandingkan index database dengan yellowpages, atau katalog di perpustakaan. Dengan analogi tersebut dijelaskan secara bertahap proses kegunaan index, tipe index, cara membuat dan merubah isi index. Sejauh ini tips ini penulis lakukan dan mendapatkan hasil yang cukup menggembirakan.

Atau contoh lain, bagaimana menjelaskan konsep IP Address terhadap orang yang awam terhadap konsep network, bahkan mungkin awam terhadap produk dan teknologi IT. Bila kita langsung menjelaskan secara mendetail IP Address, Subnet Mask, dan seterusnya… bisa jadi mungkin yang mendengarkan tetap membisu dalam ketidaktahuan. Mungkin perlu diberi analogi biar mereka mempunyai bayangan terhadap apa yang akan dibicarakan. Misalnya dengan memberikan analogi bahwa IP Address semisal alamat rumah, terutama nama jalan dan nomor rumah; sedangkan Subnet Mask semisal kode pos atau no blok, dan sebagainya. Setelah mereka punya gambaran, baru kita berikan penjelasan teknis setahap demi setahap.

Trainer juga sebaiknya menerangkan contoh skenario implementasi dari materi training, dan jika perlu menambahkan tips and trick untuk mengurangi kelemahan materi training tersebut. Juga ada bagusnya trainer memberikan semacam pra dan pasca test untuk mengetahui level pengetahuan dari partisipan. Selain itu juga penting di awal training untuk menanyakan profile dari partisipan beserta harapan dan issue-issue yang sering dihadapi yang mempunyai relevansi dengan materi training tersebut.


Kemudian bisa jadi Trainer dan partisipan punya andil dalam kasus ini…yaitu Kenapa Tak Tanya? Mestinya saling bertanya, saling memberikan feedback, saling merespon, berkomunikasi untuk mengetahui sejauh mana kegiatan training tersebut efektif. Kuesioner yang diisi secara jujur dirasakan cukup membantu dalam menganalisa hasil training, bahkan jika diperlukan dapat dilakukan setiap hari. Selain itu juga penting memberikan sekilas review di awal training dimulai atau di penghujung hari sebelum training ditutup.

Selanjutnya untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kasus ini, sebaiknya pihak lain yang terlibat dalam proses negosiasi pelaksanaan training, terutama sales dan pihak HRD, seharusnya membahas secara detail beberapa aspek, terutama mencakup: silabus, metode pengajaran, profil partisipan yang sesuai, dan sebagainya. Mungkin sebelum menyebarkan info seputar training, ada baiknya melakukan update knowledge terkait training tersebut, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dan sejenisnya. Bisa juga dari pihak training provider mempresentasikan dulu apa yang ditawarkan sehingga dari pihak partisipan mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi training tersebut.

Bagaimana? Silahkan menanggapi apa yang penulis telah utarakan di atas. Silahkan, demi menambah wawasan kita semua.


Salam,


Nugon (Nugroho Laison)

Jumat, 18 Januari 2008

RELASI PERDAGANGAN DENGAN KUALITAS LINGKUNGAN

Latar Belakang
Kegiatan industri di seluruh planet muka bumi ini sedang berlomba-lomba meningkatkan daya saingnya dalam kerangka globalisasi dan perdagangan terbuka. Di samping itu meningkatnya kerusakan lingkungan sebagai akibat kegiatan manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya menambah kepedulian terhadap pentingnya internalisasi lingkungan ke dalam segala kegiatan.

Pendekatan ekolabeling terus berkembang di seluruh dunia, dan memaksa para pelaku industri dan perdagangan untuk merubah produk yang tidak lagi berwawasan lingkungan menjadi produk berwawasan lingkungan. Pendekatan produksi bukan lagi hanya product quality dan least cost, tetapi juga harus mengandung environment quality.

Pendapatan Nasional
Pendapatan nasional merupakan nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam sesuatu perekonomian di dalam masa satu tahun. Untuk menghitungnya, tiga cara dapat digunakan: cara pengehtaran, can produksi dan ,cara pendapatan. Masing-masing cara ini akan menghasilkan nilai pendapatan nasional yang berbeda. Sebabnya adalah karena setiap cara itu menghitung pen­dapatan nasional dari sudut pandangan yang berbeda-beda. :

  1. Dengan cara produksi yang dihitung adalah nilai produksi yang diciptakan oleh faktor-faktor produksi yang ada di suatu negara, tanpa membedakan apakah faktor produksi itu milik orang luar negeri atau warganegara negara itu sendiri.
  2. Dengan cara pengeluaran yang dihitung adalah nilai produksi yang diciptakan oleh faktor-faktor produksi yang dimiliki deh seluruh warganegara negara yang bersangkutan. Berarti dalam cara perhitungan yang kedua ini tidak termasuk pendapatan warganegara asing atau modal luar negeri yang terdapat di negara itu, tetapi termasuk pendapatan modal dan warganegara negara itu dari luar negeri.
  3. Dengan cara ketiga, yaitu cara pendapatan, yang dihitung adalah pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa.[1]
Angka total pendapatan atau produk national bruto (GNP—Gross National Products) per kapita merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolok ukur tingkat esejahteraan ekonomi penduduk di suatu negara. Konsep GNP itu sendiri merupakan indikator atas besar-kecilnya aktivitas perekonomian secara keseluruhan. GNP adalah nilai moneter (dalam satuan uang) atas segenap kegiatan ekonomi yang dimiliki oleh penduduk suatu negara, tanpa harus dikurangi oleh depresiasi atas stok modal domestik.

Sedangkan yang disebut sebagai produk domestik bruto (GDP—Gross Domestic Products) adalah nilai total egenap utput akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian (baik itu yang dilakukan oleh penduduk warga negara maupun orang - orang dari negara lain yang bermukim di negara bersangkutan.[2]

Jadi, GNP sama dengan GDP ditambah pendapatan milik penduduk domestik yang dikirimkan dari negara lain berkat kepemilikan mereka atas faktor-faktor produksi (terutama modal dan tenaga kerja) di luar negeri—dikurangi dengan pendapatan milik orang asing (atau lebih tepatnya perusahaan-perusahaan asing} berkat kepemilikannya terhadap faktor-faktor produksi yang ada di negara tersebut.

Menurut cara produksi, pendapatan nasional dihitung dengan menentukan dan selanjutnya menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sek­tor produktif yang ada dalam perekonomian. Biasanya sektor-sektor produktif tersebut dibedakan menjadi beberapa sektor berikut:
  • pertanian, kehutanan dan perikanan;
  • pertambangan;
  • industri pengoiahan (manufacturing);
  • perusahaan listrik, air dan gas;
  • industri bangunan;
  • pengangkutan dan penggudangan;
  • perdagangan;
  • bank, badan keuangan dan real estate;
  • Pemilikan rumah;
  • adminittrasi negara dan pertahanan; dan
  • jasa-jasa lainnya.

Maka untuk menghitung pendapatan nasional dengan cara produk­si, pertama-tama yang harus dilakukan ialah menentukan nilai produksi yang diciptakan dalam tiap-tiap sektor di atas. Pendapatan nasional diperoleh dengan menjumlahkan nilai produksi yang tercipta dalam sektor-sektor tersebut. Nilai yang diperoleh dinamakan Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Pro­duct (GDP).[3]

Pendekatan Kusnetz
Menurut Kusnetz, meningkatnya laju pendapatan per kapita, diversifikasi sektor kegiatan ekonomi dan realokasi sumber daya dan dana dalam proses diversifikasi itu, aglomerasi penduduk di lingkungan kota dan sekitamya, segala sesuatunya berkaitan dengan revolusi teknologi. Sejak awal era pertumbuhan, perkembangannya ditandai oleh banyaknya penemuan-penemuan baru serta inovasi-inovasi yang diterapkan dalam kegiatan ekonomi. Tenaga manusia dan hewan sebagai unsur ketenagaan dalam proses ekonomi di-ganti oleh tenaga uap dan listrik dengan batu bara sebagai bahan bakar utama. Kemudian hal itu disusul oleh peranan minyak bumi dan gas alam. Bahan mineral semakin berarti sebagai bahan baku dalam produksi berbagai jenis barang. Mekanisasi membawa perluasan skala produksi dan perubahan pada organisasi usaha. Semuanya itu disertai oleh pengembangan teknik yang baru di bidang transportasi dan komunikasi.

Dalam pandangan Kuznets era pertumbuhan tidak hanya ditandai oleh peran industri manufaktur dan konstruksi. Hal yang tidak kurang penting artinya ialah modernisasi teknologis di bidang pertanian dan bidang pro­duksi primer pada umumnya. Selain itu, kini semakin menonjol arti dan peranan pemasaran dan teknologi komunikasi. Perkembangan tersebut menyebabkan bahwa pola kegiatan ekonomi modem melintasi batas-batas antarnegara. Sebagai konsekuensi logis dari proses pertumbuhan yang dimaksud, perekonomian dunia dewasa ini berada pada tahap interdependensi dan globalisasi yang masih terus berlangsung.[4]

Pertumbuhan Endogen
Menurut teori neoklasik tradisional, rendahnya rasio modal-tenaga kerja di banyak negara berkembang menjanjikan tingkat pengembalian investasi (return on investment) yang sangat tinggi. Lebih lanjut juga ditegaskan bahwa reformasi pasar sebagaimana dianjurkan oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Intemasional (IMF) kepada negara-negara berkembang yang terlilit utang akan memacu kegiatan investasi, meningkatkan produktivitas, dan memperbaiki standar hidup masyarakat secara keseluruhan.

Namun pada kenyataannya, meskipun sudah melakukan liberalisasi perdagangan dan pembukaan pasar-pasar domestik, pertumbuhan di banyak negara berkembang tetap saja berjalan lambat atau bahkan macet sama sekali. Mereka juga gagal menarik penanaman modal asing, dan justru mengalami masalah pelarian modal (capital flight) dari dalam negeri. Perilaku yang aneh atas arus-arus permodalan Dunia Ketiga (yakni, modal itu justru mengalir dari negara miskin ke negara kaya, bukannya sebaliknya) merupakan sumber rangsangan berikutnya yang cukup kuat bagi kemunculan pendekatan atau aliran pemikiran baru yang kelima mengenai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Pendekatan baru ini adalah konsep pertumbuhan endogen (endogenous growth) atau, secara lebih sederhana, disebut teori pertumbuhan baru (new growth theory). Meskipun sosoknya masih dalam proses pengembangan dan belum cukup kokoh seperti halnya keempat pendekatan yang lain, teori pertumbuhan yang baru ini merupakan komponen kunci dalam teori-teori pembangunan. [5]

Teori pertumbuhan yang baru menyajikan suatu kerangka teoretis untuk menganalisis apa yang disebut sebagai pertumbuhan endogen atau proses pertumbuhan GNP yang bersumber dari suatu sistem yang mengatur proses produksi. Kontras dengan teori neoklasik tradisional, model-model pertumbuhan endogen menyatakan bahwa pertumbuhan GNP itu sebenamya merupakan suatu konsekuensi alarniah atas adanya ekuilibrium jangka panjang. Motivasi pokok tumbuhnya teori baru ini adalah untuk menjelaskan ketimpangan pertumbuhan ekonomi antamegara dan mengapa konsep pertumbuhan itu sendiri sedemikian penting. Secara lebih spesifik, para teoretis pertumbuhan endogen itu berusaha menjelaskan berbagai faktor yang menentukan besar-kecilnya, tingkat pertumbuhan GDP yang sebelumnya memang belum ditelaah, dalam persamaan pertumbuhan neoklasik Solow, hal itu hanya dinyatakan sebagai sesuatu yang bersifat eksogen (residu Solow).

Sistem Terpadu Pembangunan
Sistem pembangunan merupakan sebuah keterkaitan antara kondisi eksisting lingkungan, investasisert resiko sebagai bagian dari investasi. Pada dasarnya investasi ada, jika ada jaminan keuntungan dalam berusaha. Keuntungan merupakan fungsi produksi, harga, dan pendapatan pemerintah dari pajak dan bukan pajak. Produksi terjadi karena ada investasi, dan produksi membutuhkan sumber daya alam dan sumber daya manusia.[6]


Hubungan Efek Aktivitas dan Valuasi Ekonomi

Menurut Poernomosidhi (1981) aktivitas dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor, yakni capital, Natural Resources, Community, dan Environment.[7] Aktivitas ini adalah upaya untuk merealisasikan tujuan pembangunan nasional. (Gambar 2)

Valuasi ekonomi adl nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar & mengenal sasaran.

Secara garis besar nilai ini dibagi ke dalam dua macam, yaitu nilai manfaat (use value) dan bukan nilai manfaat (non use value).

Use Value (UV) terdiri atas :

Nilai manfaat langsung, direct use value (DUV) adalah output (barang dan jasa) yang terkandung dalam suatu sumberdaya yang secara langsung dapat dimanfaatkan.
Nilai manfaat tidak langsung, indirect use value (IUV) adalah barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang tidak secara langsung da
pat diambil dari sumberdaya alam tersebut.

Definisi ;
Adalah suatu cara penilaian atau upaya kuantifikasi barang dan jasa sumberdaya alam dan lingkungan ke nilai uang (monetize), terlepas ada atau tidaknya nilai pasar terhadap barang dan jasa tersebut. Nilai ekonomi diukur dalam terminologi sebagai kesediaan membayar (willingness to pay) untuk mendapatkan komoditi tersebut.

Kegunaan :

  • Sebagai alat bantu untuk dapat memanfaatkan barang dan jasa SDA dan lingkungan secara bijaksana dan proporsional (wise and proportional).
  • Sebagai pintu gerbang proses internalisasi biaya lingkungan dan sosial ke dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan sebagai upaya nyata implementasi konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
  • Nilai manfaat pilihan, option value (OV) adalah potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari suatu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan diwaktu mendatang dengan asumsi sumberdaya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen. Nilai ini merupakan kesanggupan individu untuk membayar atau mengeluarkan sejumlah uang agar dapat memanfaatkan potensi SDA di waktu mendatang.
Non-use value (NUV) terdiri atas :
  • Nilai pewarisan, baquest value (BV) adalah nilai yang berkaitan dengan perlindungan atau pengawetan (preservation) suatu sumberdaya agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang sehingga mereka dapat mengambil manfaat daripadanya sebagai manfaat yangtelah diambil oleh generasi sebelumnya.
  • Nilai keberadaan, existence value (EV) adalah nilai keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil daripadanya. Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai relijius yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam.

Secara umum penghitungan ini memakai model :
TEV = UV + NUV
TEV = (DUV + IUV + OV) +EV
Dimana,
UV = use value (nilai kegunaan = DUV + IUV + OV)
NUV = no use value (nilai non pakai = EV)
DUV = direct use value (nilai pakai langsung
)
IUV = indirect use value (nilai pakai tidak langsung)
OV = option value (nilai pilihan)
EV = existence value (nilai eksistensi)

Pada teori manajemen, secara umum telah diketahui terdapat empat tahapan secara umum, yakni Perencanaan, Pengorganisasian, Pelaksanaan dan Pengendalian. Keempat unsur tersebut akan sangat tergantung dalam deret waktu. Sehingga keluaran (output) yang dihasilkan merupakan tujuan dari manajemen itu sendiri.Namun, seringkali keluaran – keluaran yang ada, juga menghasilkan residu. Residu ini merupakan keluaran yang tidak diharapkan, atau dalam bahasa valuasi ekonomi disebut dengan eksternalitas. Secara umum konsep keluaran yang ada berdasarkan deret waktu dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini :[8]




Model Frankel dan Rose
Pada model Frankel dan Rose, di dapatkan dua buah model matematika, yakni model Pertumbuhan (GDP/Populasi) dalam (1), yakni :

dan Model Kehancuran Lingkungan, yaitu :


Sehingga, secara umum Hubungan antara Perdagangan [(Ekspor – Impor)/GDP] adalah :



Model Alternatif
Kualitas lingkungan juga dapat diterapkan dengan menghitung efek dari sistem alamiah dan sistem fisik dari aktivitas ekonomi. Perilaku sistem ini dapat dilihat melalui pendekatan Operation Research, Sistem Dinamik dan Model Input-Output. Konsep ini secara umum merupakan pendekatan efek langsung dan tidak langsung dari aktivitas sistem ekonomi (perdagangan dan jasa) yang kompleks. (Gambar 4) :[9]




Secara operasional, gambar 4 di atas, dapat dilihat keluaran serta residual efek eksternalitas yang berbentuk polusi udara, air maupun penurunan kualitas lahan (efek eksternalitas, seperti CO, CO2, NOX, SO2, Debu, dll) :
[10]




Daftar Pustaka
[1] Sukirno, Sadono. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan. Jakarta : Bima Grafika – Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Halaman 17.
[2] Todaro, Michael P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta : Penerbit Erlangga 1999. Halama 46
[3] Sukirno, Op. Cit. Halaman 18. Kesebelas Sektor yang dimaksud di atas, dapat dilihat secara rinci dalam table input – output yang dikkeluaran BPS. Untuk menganalisis sektor tersebut, dapat digunakan matrik Leontif, untuk melihat nilai index dari sector yang diinginkan.
[4] Djojohadikusumo, Sumitro. Perkembangan Pemikiran Ekonomi : Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta : LP3ES. Halaman 56 – 57.
[5] Todaro, Op. Cit. Halaman 109.
[6] Partowidagdo, Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan. Bandung : Program Studi Pembangunan ITB.
[7] Poernomosidhi Hadjisaroso. Regional Development Structure. Paper. 1981.
[8] Hufscmid, Maynard. Et. Al. Environment Natural Systems and Development : An Economic Valuation Guide. John Hopkins University Press. 1983. Halaman 114 – 115.
[9] Hufscmid, Maynard. Et. Al. Environment Natural Systems and Development : An Economic Valuation Guide. John Hopkins University Press. 1983. Halaman 52 – 53.
[10] Ibid. 286 – 319.
[11] Ibid. 286 – 295

Kamis, 17 Januari 2008

FENOMENA MUDIK : PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAH???

Oleh : Agus Syamsudin 
Hujan Batu di Negeri Sendiri Lebih Enak Dari Pada Hujan Emas di Negeri Orang Lain (Pepatah) 

Pendahuluan
Fenomena mudik sudah menjadi trend dan bahkan budaya masyarakat Indonesia. Kebutuhan mudik dilandasi oleh semangat silaturahmi dari masyarakat perantau kepada masyarakat yang ditinggalinya. Silaturahmi tersebut membawa beberapa implikasi, pertama pengaruh budaya kota yang dibawa ke desa atau kampung halaman; kedua pengaruh ‘kemapanan’ ekonomi yang dibawa masyarakat kota untuk diperkenalkan ke masyarakat desa.
Hal lain yang cukup menarik dari budaya mudik ini dapat dilihat dari jumlah antrian kendaraan dari kota-kota besar seperti Jakarta yang menyebar keseluruh penjuru. Untuk mudik ke arah Banten sampai Pulau Sumatra, akan terlihat antrian kendaraan di sepanjang jalan tol Tangerang – Merak. Sampai di Pelabuhan Merak, antrian kendaraan akan lebih memadat, karena kebutuhan masing-masing kendaraan untuk ikut di dalam Feri penyebrangan. Untuk mudik ke arah selatan, seperti ke Bogor, Sukabumi, Bandung lewat jalur Cianjur/Sukabumi/Jonggol, maka antrian kendaraan sudah dapat dibayangkan. Sedangkan pada hari-hari biasa jalur puncak merupakan daerah rawan macet. Jalur menuju Jawa juga terdapat beberapa titik rawan macet.
Tulisan ini mencoba menggambarkan dampak ekonomi dari kemacetan jalan akibat mudik, yang membawa implikasi kepada pemberdayaan masyarakat di sekitar tempat kemacetan. Pemberdayaan dalam fenomena ini lebih cenderung kepada pemberdayaan sesaat, yang mengikuti trend tahunan. 


Budaya Pemberdayaan
Sesungguhnya dalam bangsa Indonesia mempunyai prinsip hidup, sikap hidup, falsafah hidup yang dipakai oleh beberapa suku bangsa Indonesia. Dimana prinsip hidup tersebut dituangkan dalam ajaran nilai-nilai kesepakatan hidupnya, adat istiadatnya, hukum adatnya, yang dapat menjadi modal kekuatan pemberdayaan, atau di sisi lain mungkin merupakan kelemahan yang harus diatasi permasalahannya. Siri orang bugis, profesionalitas orang Jawa, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung orang minangkabau. Beberapa istilah ini menjelskan bahwa faktor dasar pemberdayaan telah lama hidup di hati masyarakat Indonesia.
Dampak modernisasi menimbulkan perubahan perilaku masyarakat. Bagi masyarakat yang yang tidak stabil akan memahami modernisasi dan perubahan sebagai seusatu yang ‘ditakuti’ dan dimusuhi. Sedangkan bagi masyarakat yang relatif telah siap untuk berubah dan melakukan perubahan, maka modernisasi dipahami sebagai sebuah proses alamiah. Masyarakat seperti ini telah siap menghadapi segala bentuk perubahan.
Konsekuensi yang buruk dari perubahan dan modernisasi adalah ketimpangan ekonomi, timbulnya kelas sosial yang makin melebar, sehingga menimbulkan – secara perlahan ‘api dalam sekam’ – kegelisahan masyarakat. Potensi seperti inilah yang akan menimbulkan berbagai konflik di masyarakat. Modal Dasar Pemberdayaan
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan difahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati harus menghasilkan.
Proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat ini diarahkan untuk membentuk kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh masyarakat. Proses transformasi itu harus digerakkan oleh rakyat sendiri.
Pengertian pemupukan modal seperti itu menunjukkan bahwa bantuan dana, sarana dan prasarana harus dikelola secara tertib dan transparan dengan berpegang pada lima prinsip pokok. Pertama mudah diterima dan didayagunakan oleh masyarakat sebagai pelaksana dan pengelola (acceptable). Kedua dapat dikelola dan dipertanggungjawabkan (accountable). Ketiga membeikan pendapatan yang memadai dn mendidik masyarakat untuk mengelola kegiatan secara ekonomis (profitable). Keempat hasilnya dapat dilestarikan oleh masyarakat sendiri sehingga menciptakan pemupukan modal dalam wadah lembaga sosial ekonomi setempat. Kelima pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat dengan mudah digulirkan dan dikembangkan oleh msyarakat dalam lingkup yang lebih luas (replicable).[1]
Dalam proses perubahan dan pembedayaan diperlukan komunitas yang disebut para agen penggerak. Dalam menumbuhkan partisipasi di masyarakat, agen penggerak ini emegang peranan yang penting. Terdapat 4 peran utama dari agen penggerak tersebut, yaitu pertama katalisator : menggunakan masyarakat agar mau melakukan perubahan; kedua pembantu penyebaran inovasi serta memberi petunjuk bagaimana mengenali dan merumuskan kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan, mendapatkan sumber-sumber yang relevan, memilih dan mengevaluasi; Ketiga sebagai pemecah masalah; keempat sebagai penghubung dengan sumber-sumber yang diperlukan.[2] 

Kesempatan dalam Kesempitan
Sebuah proses alamiah, bahwa jika terjadi sebuah kejadian ditempat umum, maka akan ada orang yang memanfaatkan kejadian tersebut. Pemanfaat kejadian ada yang disebut eksploitator dan fasilitator. Eksploitator adalah pemanfaat kejadian untuk melakukan pengayaan bagi dirinya sendiri. Sedangkan fasilitator adalah pemanfaat kejadian yang melihat sebuah kesempatan akan berguna bagi dirinya dan khalayak ramai. Perbedaan mentalitas dan sikap ini yang akan menentukan keberhasilan pendampingan dan pemberdayaan seorang agen perubah.[3
Dalam kondisi yang sangat macet, maka ada kebutuhan psikologis bagi pengendara mobil di jalan tol untuk melakukan penyegaran walaupun untuk sesaat saja. Kebutuhan psikologis tersebut yang akan membawa kenikmatan dalam berkendaraan bagi pengendara mobil di jalan tol.
Bayangkan dalam satu kali kasus kemacetan dalam jalan tol sepanjang satu kilometer dengan jumlah lajur mobil sebanyak empat. Panjang mobil rata-rata 2.5 meter. Maka terdapat sejumlah 1600 mobil yang mengalami kemacetan pada saat itu.[4] Pada saat macet tersebut merupakan surga bagi warga disekitar untuk berjualan barang-barang yang dianggap dibutuhkan oleh masyarakat atau pengendara mobil yang lelah akibat kemacetan.
Katakanlah dalam satu mobil yang berisi seorang ayah, seorang ibu dan dua orang anak membutuhkan sebungkus Gehu (Toge Tahu) yang berisi 6 buah tahu seharga Rp. 1.000,00. Keuntungan dari setiap bungkus gehu adalah Rp. 200,00. Maka jika 50% dari jumlah mobil yang mengalami kemacetan itu membeli Gehu, maka proses jual beli Gehu tersebut telah menguntungkan bagi pihak pedagang sebesar Rp. 80.000,00.[5]
Dapat dibayangkan lagi, jika proses kemacetan yang terjadi adalah kemacetan karena arus mudik ataupun arus balik. Omset uang yang bergerak di jalan akan sangat banyak, dan ini akan menghasilkan keuntungan bagi masyarakat yang tinggal atau rumahnya di sekitar jalan-jalan rawan kemacetan pada arus mudik.
Fenomena ini meruntuhkan mitos keenam dan ketujuh dari Ginandjar (1996) yang dikutip oleh Nasution (2001). Mitos keenam adalah masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah tidak tahu apa yang diinginkannya. Sedangkan mitos ketujuh adalah kemiskinan lahir akibat kebodohan dan kemalasan anggota-anggota masyarakat. Penutup Perlu sebuah sebuah kesadaran baru dan kebijakan baru dalam menyikapi fenomena kemacetan dan peran masyarakat untuk terlibat dalam proses pencarian nafkah. Bahwa sesungguhnya banyak fenomena disekitar kita yang dapat menjadi modal dan model bagi pemberdayaan.
Fenomena trend kemacetan menjelang arus mudik dan arus balik, dari sudut pandang masyarakat yang tinggal disekitar area yang dilewati mobil, adalah keberuntungan dan kesempatan untuk mendapatkan sedikit uang dan keuntungan. Tejadi proses jual beli, fantasticnya terjadi penyatuan kultur, antara masyarakat pembawa kendaraan dengan masyarakat yang dilewati kendaraan.
Jika model ini berlaku secara lurus, tanpa ada rekayasa dan dimanipulasi apalagi ditambahkan factor kriminalitas, maka akan terjadi paling minimal pertukaran arus uang dan informasi antar komunitas dan kelompok masyarakat. Jika ini dapat diberdayakan, maka trend mudik akan menjadi mediator cukup tangguh bagi pemberdayaan masyarakat.

[1] Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta : Cides. Halaman 149-151. [2] Nasution, Muslimin. Dr. Naskah Kuliah Pembangunan Yang Bertumpu Pada Masyarakat. Pemberdayaan Masyarakat (Tujuan Proses Pengembangan Masyarakat yang Dibangun Di Atas Realitas).. [3] Keberhasilan disini jangan diartikan sebagai keberhasilan secara ekonomi saja. Keberhasilan dalam pemberdayaan adalah keberhasilan dalam menikmati proses pemberdayaan itu sendiri. Sehingga jangan berharap kalau sebuah proses pemberdayaan akan mendapatkan hasil secara cepat (instan). Keberhasilan proses dalam pemberdayaan juga termasuk diantaranya keberhasilan spiritualitas untuk mengatur ritme pemberdayaan dan pendampingan. [4] Dalam teori antrian, diasumsikan mobil yang macet mempunyai panjang yang sama, yaitu 2,5 meter. Kemacetan terjadi sepanjang 1 km = 1000 meter. Maka jumlah kendaraan yang ada di satu lajur adalah 400 kendaraan. Jika dalam ruas jalan tol tersebut terdapat 4 lajur yang mengalami kemacetan, maka jumlah mobol yang terjebak kemacetan sebesar 1600 buah mobil. Asumsi ini sama saja, jika kendaraan yang macet pada waktu mudik dengan jumlah mobil, pajang kemacetan dan jumlah lajur yang sama. [5] 50 % dari 1600 adalah 800 jumlah mobil. Jika sebuah mobil membeli sebungkus Gehu. Maka 50 % atau 800 mobil akan membeli gehu. Sebungkus Gehu menghasilkan keuntungan Rp. 200,00 maka 800 bungkus Gehu akan menghasilkan keuntungan bersih bagi pedagang sebesar Rp. 80.000,00.

Aspek Sosek Jalan

Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung ekonomi, sosial budaya, lingkungan, politik serta pertahanan dan keamanan. Untuk menstimulan pola pembangunan daerah, diperlukan jaringan transportasi dan infrastruktur yang memenuhi syarat. Selama ini terlihat bawa perencanaan tata guna lahan kurang dipertautkan dengan rencana jaringan jalan, penyediaan air bersih, drainase dan lainnya. Tanpa dukungan jaringan transportasi dan infrastruktur, maka kondisi lingkungan tanpa sebuah pengelolaan yang komprehensif akan semakin menurun.

Menurut Hine (1982) terdapat empat (4) hal yang menyebabkan adanya demand terhadap jaringan inftastruktur jalan dan transportasi, yaitu (1) Simbol aktifitas politik pemerintah; (2) Mendukung pergerakan penumpang; (3) Mengangkut hasil – hasil pertanian; dan (4) Pergerakan produksi pertanian.

Adapun fungsi dan pelayanan dari prasarana transportasi merupakan stimulan bagi alat angkut. Hal ini telah dikomunikasikan oleh Hine, yaitu :
a) Pengiriman input dan output barang pertanian.
b) Pelayanan pembelian hasil pertanian.
c) Pengiriman barang – barang konsumer seperti minuman ringan, serta produk lainnya untuk toko – toko lokal.
d) Pelayanan perluasan pertanian dan pembangunan masyarakat.
e) Pengantaran pelayanan dan suplai – suplai untuk fasilitas kesehatan dan pendidikan di perdesaan, mencakup pergerakan menuju klinik kesehatan dan evakuasi emergensi orang sakit.

Jalan sebagai modal sosial masyarakat merupakan katalisator di antara proses produksi, pasar dan konsumen akhir. Hal ini dikuatkan oleh Ahmed (1992) dalam Edmons (1998) pada Studi Pengembangan Jaringan Jalan Melalui Pemberdayaan Potensi Masyarakat (2000) bahwa (1) Ada korelasi positif antara investasi dalam infrastruktur jalan dan pembangunan ekonomi; (2) Pengadaan infrastruktur adalah suatu syarat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial.

Dari aspek sosial budaya, keberadaan jalan membuka cakrawala masyarakat yang dapat menjadi wahana perubahan sosial, membangun toleransi, dan mencairkan sekat budaya. Hal ini terkait dengan fungsi jaringan jalan sebagai fasilitator dari operasionalisasi pelayanan transportasi, sehingga dapat meningkatkan mobilitas masyarakat dan untuk meningkatkan akses masyarakat ke berbagai lokasi fasilitas dan pelayanan sosial. Menurut Suyono Dikun (1996) :
Terdapat korelasi yang sangat dekat antara aksesibilitas wilayah yang diciptakan oleh jaringan transportasi dengan pertumbuhan perekonomiannya.

Dari aspek lingkungan, keberadaan harus dapat mendukung pembangunan berkelanjutan serta menjaga kelestarian lingkungan. Sehingga fungsi pembangunan jalan bukan sekedar meminimalisir eksternalitas negatif, melainkan juga mengoptimalkan rencana pembangunan jalan, eksternalitas positif serta menguatkan internalisasi antara kondisi sosial budaya, ekonomi serta keberlanjutan lingkungan.

Semua pusat kegiatan beserta wilayah pengaruhnya membentuk satuan wilayah pengembangan. Pusat-pusat pengembangan dihubungkan dengan jaringan jalan yang peranannya ditentukan sesuai dengan hierarkinya sebagai sistem transportasi yang pengembangannya tak dapat dipisahkan dari upaya pengembangan moda-moda transportasinya (darat, laut dan udara). Menurut Poernomosidhi (1981) aktivitas dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor, yakni capital, Natural Resources, Community, dan Environment. Aktivitas ini adalah upaya dari merealisasikan tujuan pembangunan nasional.

Di sisi lain, tingkat perkembangan suatu daerah akan dipengaruhi oleh SWP yang bersangkutan, sehingga perlu diusahakan pencapaian tingkat perkembangan antar daerah yang seimbang. Artinya dalam pembangunan diusahakan prioritas atau kesempatan diberikan kepada satuan wilayah yang kecil dan lemah untuk mengelompokkan diri agar menjadi lebih besar dan kuat. Untuk meningkatkan pelayanan pemasaran produk daerah (Hine), peranan prasarana jalan akan secara dominan mempengaruhi sistem distribusi, sehingga kebutuhan aksesibilitas serta pembangunan jalan menjadi prioritas.

Permasalahannya, tujuan untuk mencapai kesimbangan antar wilayah sulit didapatkan, setelah pengembangan dan pembangunan prasarana wilayah dilakukan. Sebagai contoh, Pengembangan Wilayah di Pulau Jawa, dimana wilayah kondisi geografis dan kontur alam serta lanskap daerah utara relatif lebih datar serta pengembangan potensi ekonomi telah tumbuh dan berkembang, apalagi kondisi ini ditunjang prasarana transportasi. Sehingga kawasan utara Jawa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Situasi ini sangat berbeda dengan wilayah selatannya yang topografinya berbukit-bukit cenderung menjadi wilayah terisolir meskipun memiliki berbagai potensi sumber daya alam (terbarukan dan tidak terbarukan) yang cukup baik.

Kondisi kesenjangan tersebut memberi sebuah pemikiran bagi pemerintah untuk memberikan prioritas program penanganan dan pembangunan jalan. Diharapkan program dapat membuka memberikan akses ke daerah terisolir sekaligus sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi disekitar wilayah pembangunan jalan.

EPISTEMOLOGI UNTUK PEMBANGUNAN ETIKA BIDANG LINGKUNGAN

LATAR BELAKANG
Pembangunan sebuah masyarakat bangsa adalah proses atau perubahan yang ditempuh dan dilakukan atas dasar keinginan suatu masyarakat bangsa. Proses pembangunan tersebut harus mengubah parameter struktur/struktur dari berbagai tatanan yang ada di dalam masyarakat bangsa yang melakukan perubahan tersebut. Perubahan dapat dilakukan dengan mengintervensi ke berbagai bidang dengan tujuan keinginan yang disepakati terwujud.
[1]

Proses pembangunan tidak terlepas dari proses manajemen, yakni Perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organize). Pelaksanaan (Actuating) dan Pengendalian (Controlling). Dalam konteks manajemen strategis, maka pembangunan harus mempunyai Visi dan misi. Visi dan Misi tersebut akan dianalisis dengan Analisis Lingkungan internal dan Analisis Lingkungan Eksternal.
Telah disadari oleh pemerintah, bahwa proses manajemen pembangunan pada masa lalu lebih cenderung bersifat Teknokrasi – Bertumpu pada Rasionalitas Tekno-ekonomik dan kepakaran (seperti yng dicatat oleh Hartanto).[2]. Konsep ini seperti dicatat oleh Mochtar Mas’ud saat itu pemerintah dihadapkan pada dua pilihan strategi, yakni prioritas produktiitas atau prioritas demokrasi. Keduanya bersifat zero sum game, artinya jika yang satu dipilih maka yang lainnya harus dipinggirkan. Pemerintah memilih produktivitas dengan keyakinan demokrasi akan tercapai tatkala produktivitas menghasilkan tingkat kemakmuran. Namun, seperti yang dapat dilihat bersama, strategi tersebut gagal dengan akibat riilnya krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997 sampai akhirnya orde baru runtuh.[3]
Faktanya, konsekuensi dari kegagalan pembangunan seperti ini berimplikasi kepada seluruh sektor pembangunan. Tulisan ini mencoba mengkaji kegagalan pembangunan dalam tinjauan kebijakan publik ala Vening.

Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah (regional development) sebagai upaya untuk memacu perkembangan sosio-ekonomi, mengurangi kesenjangan, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah, sangat diperlukan karena kondisi sosial-ekonomi, budaya dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Dengan kata lain, pembangunan nasional tidak dapat disamaratakan pada seluruh wilayah, akan tetapi harus disesuaikan dengan kondisi-kondisi tersebut. Inilah sesungguhnya yang merupakan argumentasi akan perlunya suatu pengembangan wilayah.


Begitu pula sifat pengembangan wilayah berbeda dengan pembangunan sektoral, karena yang pertama sangat berorientasi pada issues (permasalahan) pokok wilayah secara saling terkait, sementara yang disebutkan terakhir sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor itu, tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya.
Namun demikian, walaupun berbeda dalam orientasi keduanya saling melengkapi; dalam arti bahwa pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa pembangunan sektoral, sementara pembangunan sektor tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya pembangunan sektor itu sendiri. Bahkan hal ini dapat mencip-takan perselisihan (konflik) kepentingan antarsektor-sektor tersebut, yang pada gilirannya akan kontra-produktif dengan pengembangan wilayah. Singkat kata, pengembangan wilayah seyogianya menjadi acuan (referensi) pembangunan sektor, dan samasekali bukan penjumlahan dari pembangunan sektor-sektor pada suatu wilayah tertentu.

TINJAUAN KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan publik yang akan dipakai mengacu kepada buku Memahami Analisis Kebijakan : Kasus Reformasi Indonesia (Partowidagdo) yang dibuat berdasarkan Weimer (1989).[4] Faktor-faktor yang akan dijadikan alat analisis adalah Kegagalan Pemerintah dan Kegagalan Pasar.

Kegagalan Pemerintah, meliputi Birokrasi dan desentralisasi, sedangkan kegagalan pasar meliputi Barang Publik, Eksternalitas.

1. Barang Publik
Barang publik, dapat diklasifikasikan dalam dua karakteristik, yakni (1) Rivalry dan (2) Excludability. Kedua konsep ini dapat dilihat pada Weimer dan Vining.
[5]
Rivalry means that what one person consumes cannot be consumed by anyone else. Excludability means that some particular person has exclusive control over the good”
Dari kedua karakteristik di atas, maka jalan merupakan bagian dari barang public.


2. Eksternalitas
Eksternalitas adalah hasil atau keluaran yang terjadi karena kegiatan apa pun, dimana hasil tersebut bukanlah tujuan yang diinginkan dari kegiatan tersebut. Dalam Weimer dan Vining, dikemukakan hubungan antara produser dan consumer yang merupakan implikasi dari terbentuknya eksternalitas. Terbentuknya eksternalitas merupakan imteraksi antara dua stakeholders, yakni produser dan konsumer. Kedua interaksi tersebut dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :
[6]



3. Birokrasi
Peran administrator dalam birokrasi pemerintahan secara khusus adalah kemampuannya untuk mendesain strategi usaha berencana yang mendorong ke arah pembaharuan dan pembangunan, dalam berbagai kebijaksanaan atau dalam suatu rencana maupun implementasinya. Fungsi birokrasi sendiri dapat digambarkan sebagai :

The permanent officials can do much to maintain interest among political leaders in administrative reform movement. They should stimulate the formulation and implementation of reform measures within the public service itself, and train their subordinates in the value and proper utilization of new methods. Leadership in administrative reforms is thus demanded of both the political leaders and the chief officials of the career service. But it reform is actually to take place, the will for improvement need to be encouraged among officials at every levels.
[7]

4. Barang yang diproduksi Pemerintah Lokal
Barang yang diproduksi langsung oleh negara adalah setua pemerintahan itu sendiri. Leman dalam Weimer mengkategorikan 10 barang yang diproduksi oleh pemerintah lokal, yakni : (1) Memfasilitasi komersial; (2) Mengatur tanah publik; (3) Mengkonstruksi pekerjaan umum dan mengatur property; (4) Penelitian dan pengujian; (5) Asisten teknik; (6) Hukum dan keadilan; (7) Pelayanan kesehatan, pelayanan sosial; (9) Pendidikan dan pelatihan; (10) Mendukung administrasi internal yang dibutuhkan.[8]

Penanggulangan Kegagalan Pemerintah dalam perspektif weberian
Bagi Weber, terdapat tipe ideal bagi birokrasi. Tipe tersebut akan didekati dari beberapa ciri birokrasi, yaitu :
  1. Kegiatan-kegiatan reguler yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang dibagi dalam eberapa cara tertentu sebagai tugas-tugas jabatan.
  2. Pengorganisasian jabatan-jabatan mengikuti prinsip hirarkhi.
  3. Operasi atau pelaksanaan kegiatan dikendalikan oleh suatu system peraturan yang konsisten.
  4. Pejabat ideal dalam suatu birokrasi melaksanakan kewajiban di dalam semangat formalistic impersonality.
  5. Penempatan kerja di dalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi teknis dan dilindungi terhadap pemberhentian sewenang-wenang.
  6. Birokrasi murni dari suatu administrasi dilihat dari penglihatan teknis agar dapat memenuhi efisiensi yang tertinggi.

Namun, birokrasi pemerintahan merupakan organisasi-organisasi sektor publik yang secara langsung menjadi objek dari kontrol politik mengingat posisi mereka sebagai pihak yang memberikan pelayanan dalam bidang-bidang yang menjadi monopoli. Sektor publik seperti ini menyaratkan adanya organisasi yang tersenbtralisasi dan menyerap sumber-sumber daya melalui cara – cara yang memaksa, seperti pajak. Keputusan yang diambil pun lebih tergantung keputusan sosial dari pada keputusan individual.

Unsur paksaan ini memungkinkan negara melengkapi aparatnya dengan kekuasaan yang bersifat monopoli, sehingga sebagai konsekuensi logis, para individu dan masyarakat terikat untuk membayar gaji para pejabat sekaligus menikmati dan memanfaatkan pelayanan apapun kualitasnya. Dengan demikian sistem dari negara modern haruslah memiliki pengawasan birokratik dari bawah untuk menghindari unsur paksaan dari sistem politik.

Penanggulangan Kegagalan Pasar
1. Pengembangan Wilayah sebagai Barang Publik
Pengembangan wilayah di masa yang akan datang seyogianya harus merupakan suatu kerangka untuk tindakan-tindakan bagi terbentuknya suatu Pembangunan Lokal (Local Development), yang diartikan sebagai penumbuhan suatu lokalitas secara sosial-ekonomi dengan lebih mandiri, berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya, baik sumber daya alam, geografis, kelembagaan, kewiraswastaan pendidikan tinggi, asosiasi profesi maupun lainnya. Hal ini harus dilakukan pada skala yang kecil (skala komunitas). Titik sentralnya adalah mengorganisasi serta mentransformasi potensi-potensi ini menjadi penggerak bagi pembangunan lokal. Jelas upaya ini harus ditumbuhkembangkan terutama oleh masyarakat lokal (local community) itu sendiri. Untuk itu sangat diperlukan kehadiran para penggagas yang mampu bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk menggerakan pembangunan lokal tersebut. Dengan demikian apa dan bagaimana suatu rencana pengembangan wilayah akan dilakukan haruslah dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri mengenai apa dan bagaimana hal tersebut harus dan akan dilakukan.

Pada konteks sosio-ekonomi dan budaya yang berbeda, di Eropa Barat sebenarnya pengembangan wilayah dengan basis pada local development, telah berhasil menciptakan distrik-distrik industri yang berkembang dengan pesat dan mandiri, seperti tersebar di Jerman dan Italia. Sangat mungkin gagasan ini dapat disesuaikan untuk tujuan pengembangan wilayah di negara berkembang, seperti Indonesia, tentu saja bukan untuk ditiru mentah-mentah.

2. Eksternalitas
Untuk memahami eksternalitasi, maka terlebih dahulu harus memahami hubungan antara sistem ekonomi dan lingkungan.
Untuk mengeliminir faktor eksternalitas, dapat dimasukkan melalui penghitungan aspek lingungan dalam sistem produksi.


SKENARIO[9]
Skenario Pertama : Residualisasi ‘Welfare State’
Dalam skenario ini pemerintah dan masyarakat menganut paradigma individualisme. Pada intinya skenario ini berprinsip bahwa suatu pelayanan termasuk pelayanan untuk sektor publik hanya dapat diperoleh atau diterima bagi mereka yang mampu membayar. Dengan kata lain, suatu pelayanan dapat diberikan berdasarkan kemampuan dan keinginan pengguna untuk membayar (customers’ willingness and ability to pay). Oleh karena itu, dalam skenario ini terdapat fragmentasi atau pembedaan pasar untuk masing-masing level masyarakat dengan kemampuan ekonomi tertentu. Bagi mereka yang relatif mampu atau berpendapatan tinggi akan memperoleh layanan yang baik sedangkan yang tidak mampu atau memiliki pendapatan rendah hanya akan mendapat layanan publik yang sifatnya residual dimana pelayanan tersebut hanya meliputi level dasar akibat minimnya dana atau terbatasnya anggaran untuk pengadaan fasilitas yang dapat mereka peroleh.

Skenario dua : Privatisasi dan Aspek Kedermawanan Dalam Penyediaan Pelayanan Publik
Skenario ini menempatkan pemerintah pada kedudukan yang memegang nilai atau paradigma individualis sedangkan masyarakat pada kedudukan yang memegang nilai atau paradigma kolektivisme. Perbedaan paradigma tersebut memberikan implikasi pada termarjinalkannya pemerintah akibat banyaknya masyarakat yang secara sukarela mau membantu upaya penyediaan pelayanan publik. Oleh karena itu, pemberdayaan otoritas lokal dimana masyarakat sebagai penggerak utamanya dapat dijadikan sebagai landasan kebijakan dalam penyediaan publik. Dalam kondisi tersebut pemerintah dapat bertanggung jawab atas segala aktivitas badan-badan swasta yang memiliki kedermawanan untuk mengurus penyediaan pelayanan publik melalui organisasi-organisasi tertentu.

Skenario tiga : Retensi dari ‘welfare state’
Pemerintah dan masyarakat dalam skenario ini sama-sama memiliki paradigma atau tata nilai kolektivisme. Pemerintah dalam hal ini disyaratkan mempunyai kemampuan untuk merespon opini masyarakat terutama untuk konteks penyediaan pelayanan publik. Pengurangan atau pembatasan penyediaan pelayanan sektor publik dianggap sebagai kegiatan yang bersifat counter-productive dalam skenario ini. Dengan demikian, penyediaan sektor publik harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu mendorong produktifitas masyarakat tersebut. Oleh karena itu, suatu kebijakan dalam penyediaan pelayanan publik seharusnya disusun sebagai koalisi antara pemerintah dan masyarakat. Di lain pihak, pemerintah sendiri juga harus mampu memberikan dukungan penuh terhadap seluruh aspek penyediaan pelayanan publik yang merupakan fungsi utama dari welfare state. Dengan kata lain, dalam skenario ini welfare state justru merupakan suatu sistem politik yang harus dipertahankan atau suatu sistem yang sifatnya retensif.

Skenario keempat : ‘Welfare state’ yang persuasif
Mengingat dalam skenario ini pemerintah merupakan pihak yang memiliki nilai kolektivis sedangkan masyarakat memiliki nilai individulis, pemerintah dituntut untuk dapat bersikap persuasif dalam menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat sehingga mereka rela membayar pajak untuk penyediaan pelayanan publik tersebut. Upaya persuasif yang dilakukan pemerintah dapat berupa peningkatan pelayanan dari sektor publik yang sudah ada. Hal tersebut dapat didukung dengan menerapkan kebijakan penyediaan sektor publik yang berorientasi pada pengguna yang bersifat individualis (customer-oriented).

PENUTUP
Sebagai penutup dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, pengembangan wilayah di masa yang telah lalu, baik secara sadar direncanakan maupun tidak, yang terlampau menekankan faktor investasi dari luar sebagai pendorong utama, ternyata kurang dapat memberdayakan perekonomian wilayah maupun masyarakat lokal. Ke-dua, skala pengembangan wilayah yang terlalu besar kurang dapat memberikan tempat pada pengembangan masyarakat di wilayah itu, karena orientasi yang berbeda. Pada gilirannya bahkan hal ini telah menumbuhkan kekecewaan dan ketidakpuasan pada masyarakat lokal. Ketiga, di masa yang akan datang pengembangan wilayah harus berorientasi pada pembangunan lokal (local development) dengan tujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat lokal, guna mengembangkan sumber-sumber yang ada secara lebih mandiri, dengan inisiatif yang tumbuh secara lokal pula.


PUSTAKA
[1] Sasmodjo, Saswinadi. Pengantar Mata Kuliah Science, Teknologi dan Pembangunan.
[2] Hartanto, Frans Mardi. Pengantar Mata Kuliah Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan.
[3] Dikutip dari Nugroho, Riant. Reinventing Indonesia. Menata Ulang Manajemenpemerintahan untuk membangun Indonesia Baru dengan keunggulan Global. Elex Media Computindo. 2001.
[4] Partowidagdo, Widjajono. Analisis Kebijakan : Kasus Reformasi Indonesia. Studi Pembangunan ITB – 1998. yang diadopsi berdasarkan Weimer, David L and Aidan R. Vining. Policy Anaysis Consepts And Practise. Prentice Hall International, Inc. 1989.
[5] Weimer L. David dan Aidan R. Vining. Policy Analysis : Consepts and Practice. Prentice - Hall International, Inc. Halaman 40.
[6] Ibid. Halaman 56 - 57
[7] United Nations, A. Handbook of Public Administration : Current and Practice with Special Reference to Developing Countries (New York : Department of Economic and Social Affairs, United Nations, 1961) dalam Bintoro Tjokroamidjojo. Pengantar Adminsitrasi Pembangunan. LP3ES.Oktober 1978.
[8] Vining. Op. Cit. Halaman 159 - 160.
[9] Kebijakan Publik oleh FTSP ITB

Rabu, 16 Januari 2008

PERKEMBANGAN INDUSTRI PENERBANGAN DI INDONESIA

Sebelum Kemerdekaan 
Perkembangan transportasi udara di Indonesia tidak terlepas dari sejarah transportasi udara Belanda yang pada waktu itu menjajah Indonesia. Sesudah Perang Dunia I, negara di Eropa (termasuk Belanda) berlomba-lomba menghubungkan daerah jajahan mereka dengan negerinya. Dalam rangka untuk menghubungkan negerinya dengan daerah jajahannya tersebut (K. Marsono SH, LLM, Transtel Indonesia 1996:32), Belanda mengadakan penerbangan pertama ke Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1924 yang dilakukan oleh kapten penerbang A. N. G. Thomassen. Penerbangan tersebut mendarat di Cililitan, yang sekarang bernama Halim Perdana Kusuma Internasional Airport pada tanggal 24 November 1924 dengan menggunakan pesawat uadara jenis Fokker 7b.


Penerbangan komersial pertama dilakukan oleh KLM yang kembali ke Netherlands pada tanggal 23 Juli 1927, dimana penerbangan tersebut digunakan untuk mengangkut surat-surat dan kartu natal. Perusahaan ini (KLM) mempunyai tugas untuk menghubungkan Netherlands dan East Indies (Indonesia) sebagai angkutan udara internasional. Untuk angkutan udara dalam negeri East Indies (Indonesia), sebuah perusahaan penerbangan “The Royal Air Transportation Company” diberi konsesi untuk mendirikan “Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij” (KNILM) yang diberi hak monopoli untuk melakukan angkutan udara di Indonesia, KNILM didirikan pada tanggal 15 Februari 1928. 



Sesudah Kemerdekaan 
Pada tahun 1947, Direktorat penerbangan Sipil, Seksi Angkutan Udara Republik Indonesia yang dikepalai oleh A.R. Soehoed, mengirim R 1001 “Seulawah” ke Calcutta, India. Pengiriman tersebut dimaksudkan untuk menambah tanki bensin agar dapat melakukan penerbangan lebih jauh. Karena keadaan perang pada waktu itu, pesawat tersebut tidak mungkin kembali ke Indonesia, maka pesawat udara tersebut diterbangkan ke Birma untuk dioperasikan di sana.
Kegiatan operasi penerbangan di Birma sepenuhnya merupakan penerbangan niaga dengan konsesi penerbangan carter. Penerbangan inilah yang merupakan angkutan udara komersial pertama yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, pesawat tersebut kembali ke Indonesia.

Selanjutnya, pada tahun 1950 didirikan perusahaan penerbangan dengan nama Garuda Indonesia Airways N. V. (K. Martono SH, LLM., dalam tulisannya Sistem Penyelenggaraan Angkutan Udara di Indonesia, Transtel Indonesia, 1996 : 33). Perusahaan penerbangan tersebut didirikan dengan modal gabungan antara pemerintah Republik Indonesia dengan KLM. Dalam perkembangan selanjutnya perusahaan penerbangan tersebut dinasionalisasikan oleh pemerintah. Disamping Garuda Indonesia Airways, pemerintah Indonesia pada tahun 1962 mendirikan pula sebuah perusahaan penerbangan bernama PN (sekarang PT) Merpati Nusantara Airlines yang ditugaskan terutama untuk melakukan penerbangan dalam negeri (lokal).


Sesuai dengan kebijaksanaan multi airlines system (sistem banyak perusahaan penerbangan) sejak tahun 1971, lahirlah perusahaan-perusahaan penerbangan nasional, baik penerbangan berjadwal maupun tidak berjadwal. Walaupun permintaan transportasi udara telah terpenuhi, namun armada perlu lebih ditingkatkan lagi. Oleh karena itu, pemerintah membuka kesempatan bagi penerbangan umum untuk melayani kebutuhan angkutan udara perusahaan bersangkutan. Di samping penerbangan reguler tersebut, terdapat pula penerbangan haji untuk menunjang kebebasan beragama, transmigrasi untuk membantu program nasional penyebaran penduduk, penerbangan perintis untuk membuka daerah terisolir dan penerbangan individu maupun olahraga untuk mengembangkan kesadaran udara. 

Perkembangan Rute Penerbangan 
Sebagaimana ditetapkan pada Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 126 tahun 1990 tentang rute penerbangan, pembagian rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara berjadwal ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Dasar pertimbangan pembagian rute penerbangan antara lain status atau sifat perusahaan, keseimbangan supply dan demand, kepemilikan atau penguasaan pesawat subsidi silang, pangkalan induk (home base), dan kemampuan bandara.
Pada pasar jasa penerbangan di Indonesia, dewasa ini menghadapi persaingan yang semakin ketat. Dengan adanya deregulasi di bidang penerbangan, kenaikan harga minyak, serta bayangan resesi, menambah tingkat persaingan untuk bekerja dengan lebih efisien lagi. Rute penerbangan merupakan satu hal yang vital bagi perusahaan penerbangan, karena dari segi pengoperasian rute penerbangan inilah didapat revenue perusahaan. Dengan demikian, perusahaan dituntut untuk melakukan penanganan yang lebih serius dalam penentuan rute yang harus dilaluinya dengan jenis pesawat yang akan dipergunakan dalam melayani rute tersebut.

Jalur atau rute penerbangan di Indonesia terdiri dari jalur penerbangan dalam negeri (domestik), jalur penerbangan perintis dan jalur penerbangan luar negeri. Jalur penerbangan dalam negeri yang dilayani perusahaan penerbangan berjadwal menghubungkan semua kota-kota besar di seluruh Indonesia. Setiap perusahaan penerbangan berjadwal melayani jalur penerbangan yang berbeda dari jalur penerbangan perusahaan penerbangan berjadwal lain.

Jadwal yang sesuai dengan kebutuhan penumpang merupakan salah satu hal yang penting. Sebagai dasar bagi mereka untuk melakukan pemilihan pemakaian penerbangan. Untuk itu perusahaan penerbangan harus dapat mengatur penerbangan hingga dapat memberikan kepuasan kepada penumpang, yaitu berupa kesempatan yang lebih besar untuk melakukan perjalanan sesuai dengan waktu yang diperlukan yang dapat memberikan keuntungan maksimum kepada perusahaan penerbangan tersebut.
Sejalan dengan meningkatnya keperluan akan jasa transportasi udara, yaitu jalur penerbangan dalam negeri terus ditambah dari 115 rute pada tahun 1974 menjadi 240 rute pada akhir tahun 1992, yang menghubungkan 27 ibukota propinsi, 228 kota kabupaten dan 246 kota kecamatan. Beberapa jalur penerbangan perintis yang telah berkembang dijadikan bagian dari jaringan penerbangan dalam negeri. Penerbangan antara kota-kota yang lalu lintas penumpangnya padat dapat dilakukan dengan penerbangan shuttle, yaitu pesawat terbang yang berdinas atau melakukan perjalanan pulang-pergi, seperti antara Jakarta-Surabaya, Jakarta-Semarang, Jakarta-Medan, dan Jakarta-Palembang.
Dengan kepadatan jumlah penumpang pada jalur-jalur tertentu seperti tersebut di atas, maka frekuensi penerbangan ditambah menjadi lebih dari tiga kali sehari atau lebih dari lima kali sehari apabila pada waktu libur. Pada saat ini terdapat tidak kurang dari dua puluh sembilan perusahaan penerbangan nasional yang diberi konsesi penerbangan berjadwal. Dua buah perusahaan berjadwal adalah milik pemerintah (Garuda Indonesia Airways dan Merpati Nusantara Airlines), sedangkan sisanya milik perusahaan penerbangan nasional.
Sejalan dengan meningkatnya keperluan akan jasa transportasi udara, jaringan penerbangan dalam negeri terus ditambah, beberapa jalur penerbangan perintis yang telah berkembang dijadikan bagian dari jaringan penerbangan dalam negeri. Penerbangan antara kota-kota lain yang lalu lintas penumpangnya padat dilakukan dengan penerbangan shuttle, seperti rute penerbangan Rute Jakarta-Palembang. Dimana pada rute penerbangan Rute Jakarta-Palembang, jumlah penumpangnya terus meningkat sehingga frekuensi penerbangan ditambah menjadi lima kali dalam satu hari.

Sesuai dengan kebijaksanaan yang diambil Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, pada prinsipnya pihak swasta diberi kesempatan untuk lebih banyak dalam penyediaan kapasitas angkutan udara. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 126 tahun 1990 tentang rute penerbangan bagi perusahaan angkutan udara berjadwal ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Jalur penerbangan perintis yang dilayani oleh perusahaan penerbangan milik pemerintah (BUMN) seperti PT. Garuda Indonesia dan PT. Merpati Nusantara memiliki frekuensi dan kemampuan penerbangan lebih besar dibandingkan dengan perusahaan penerbangan swasta yang tidak berjadwal. Jalur penerbangan perintis dibuka dibeberapa daerah yang semula terisolasi, seperti Irian Jaya, Maluku, Kalimantan, NTT, NTB dan pantai barat Sumatera. Penerbangan perintis antar daerah hampir tidak ada, sebab penerbangan antar daerah sudah dilayani penerbangan berjadwal, dan sudah lebih dari delapan puluh lokasi dicakup dalam jaringan penerbangan perintis.
(Dari berbagai sumber)

PEMBANGUNAN EKONOMI & KEMISKINAN

Pembangunan ekonomi merupakan cara untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam definisi yang ketat, pembangunan diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional (Gross National Product) nya pada tingkat 5 sampai 7% atau bahkan lebih tinggi, jika hal itu memungkinkan. Negara-negara yang besar GNP perkapitanya (income per capita) dinilai maju sedangkan yang kecil dinilai terbelakang.

Negara-negara maju yang pembangunan ekonominya telah berkembang sejak dua abad yang lalu saat ini menjadi negara-negara kaya yang masyarakatnya hidup dalam keadaan sejahtera. Di Belanda, misalnya, rakyat yang tidak bekerjapun mendapatkan kehidupan yang layak, selain memiliki rumah, biaya hidup bulanan, biaya pendidikan anak, mereka juga mendapatkan biaya untuk berlibur. Di negara-negara berkembang hal ini tidak terjadi. Negara-negara berkembang secara mayoritas masih mengalami kemajuan ekonomi yang tidak besar akibat negara-negara ini baru saja keluar dari situasi penjajahan- rata-rata setengah abad yang lalu, serta berbagai kegagalan dalam pembangunan.

Pembangunan ekonomi dan kemiskinan merupakan hal yang saling terkait. Bagi Negara-negara berkembang pembangunan ekonomi yang ditujukan untuk mengatasi persoalan kemiskinan malah seringkali menciptakan proses kemiskinan (poverty trap) itu sendiri. Hal ini sangat terkait dengan kesalahan memilih model pembangunan maupun kesalahan akibat kelalaian dalam mengelola pembangunan itu sendiri.

Saat ini sistem pembangunan ekonomi di hampir semua Negara-negara di dunia sama, yaitu sistem ekonomi liberal. Sistem ini prinsipnya adalah model pembangunan ekonomi yang menyerahkan sistemnya pada mekanisme pasar. Artinya, pertemuan kepentingan produsen dan konsumen ditentukan pasar. Peranan pemerintah hanya sebatas fasilitator yang mengatur berlangsungnya ekonomi pasar agar tidak terdistorsi. Dalam kerangka pasar ini pula dimaksudkan alokasi resourses secara efektif terjadi dengan sendirinya tanpa perlu intervensi pemerintah. Meskipun sebenarnya negara-negara berkembang masih melakukan intervensi dalam pengelolaan ekonomi dan distribusinya.

Fredrich Hayek, Milton Friedman dan William Niskanen merupakan tokoh-tokoh aliran neoklasik pendukung sistem liberal yang mengatakan bahwa sistem ekonomi hendaklah didasarkan sepenuhnya pada pemilikan individu atas faktor-faktor produksi, mekanisme pasar dan persaingan bebas. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar. Menurut Friedrich Hayek mekanisme pasarlah yang akan menentukan optimalisasi sumber-sumber ekonomi, memecahkan kompleksitas permasalahan ekonomi dan menghadapi ketidakpastian. Sistem mekanisme pasar yang akan diatur oleh persepsi individu mengenai gejala-gejala dan pengetahuan para individu dengan sendirinya akan memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat untuk memecahkan masalah sosial. Sedangkan Milton Friedman mengatakan bahwa atas dasar kebebasan memilih seorang calon pekerja tidak akan dapat ditekan oleh seorang majikan tertentu olehkarena calon ini dapat bebas memilih untuk bekerja dengan majikan lain yang memberikan kondisi yang lebih baik padanya.

Friedman juga mengatakan
“No one buys bread knows weather the wheat from which it is made grown by a communist or republican, by a constitutionalist or a Fascist, or for that matter by a Negro or a white. This is how an impersonal market separates economics activities from political views and protects men from being discriminated against in their economic activities for reasons that are irrelevant to their productivity..”

Pernyataan ini untuk menegaskan bahwa pasar lebih unggul dibandingkan intervensi pemerintah.

Dahulu, ketika sistem komunisme masih berlangsung, sistem ekonomi terencana diberlakukan di negara-negara bekas Uni Sovyet, Cina dan Negara sosialis lainnya. Sistem pembangunan terencana mengatur perekonomian bukan dalam mekanisme pasar, melainkan direncanakan oleh pemerintah. Pemerintah menentukan kebijakan-kebijakan yang menyangkut harga, subsidi, tata niaga, alokasi dana pembangunan yang dianggap baik untuk kesejahteraan rakyat.

Kegagalan sistem komunis mensejahterakan rakyat di negara-negara tersebut, membuat sebuah persepsi hampir semua negara-negara di dunia untuk menerima aksioma bahwa ekonomi liberal adalah satu-satunya sistem ekonomi yang baik. Negara- negara barat bahkan menganggap kejatuhan Komunisme pada awal tahun 90an adalah kemenangan sistem ekonomi liberal atau kemenangan kapitalisme.

Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, saat ini menghadapi situasi dilemma dalam membangun perekonomiannya. Mengikuti sistem liberal baik sebagiannya maupun secara total pada kenyataannya tidak memberikan jawaban dalam meningkatkan kesejahteraannya. Konsep liberal yang menjamin terjadinya pemerataan dengan sendirinya melalui “trickle down effect” sampai saat ini tidak terjadi. Malah akumulasi modal dan kepemilikan serta pengaruh atas kehidupan nasional dikuasai oleh segelintir orang secara terus menerus. Keadaan ini membuat besarnya tekanan-tekanan dari kelompok aktifis non pemerintah (pressure group) untuk tidak menggunakan konsep liberal atau neoliberal secara total.

Di sisi lain, keluar dari sistem liberal akan menemui isolasi dunia, seperti yang kini masih dialami Kuba dan Korea Utara. Padahal, peranan ekonomi dunia sudah sangat dominan, yang sulit dibendung untuk mempengaruhi kehidupan ekonomi nasional. Cina sendiri yang tadinya sangat berani atas isolasi dunia, sejak akhir 80an sudah masuk kepada sistem ekonomi pasar. Ditambah pula ekonom-ekonom Negara berkembang yang menguasai birokrasi dan pembangunan umumnya hasil didikan faham neoklasik.

Pemikir pemikir ekonomi dan pembangunan dunia ketiga yang beraliran strukturalis seperti Gunder Frank, Theodonia Dos Santos, Samir Amin, Kurin, Ranjit sao, Mohammad Hatta, Sritua Arief dan Adi Sasono, dll, menentang pemberlakukan sistem ekonomi liberal sebelum problem-problem struktural di negara-negara berkembang di atasi. Problem tersebut menyangkut; pertama, kegagalan pasar, kedua, berlangsungnya kepincangan hubungan ekonomi antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, di mana negara-negara berkembang tergantung dalam hal industri keuangan dan teknologi, sehingga terjadi pertukaran yang tidak adil antara negara maju dan berkembang. Ketiga, tingginya tingkat pengangguran sehingga terjadi oversupply tenaga kerja yang pada akhirnya memperburuk nilai tawar pekerja dan pencari kerja. Keempat, terjadinya asimetri informasi yang berkaitan dengan kemudahan setiap orang mendapatkan permodalan dan akses usaha lainnya.

Pada poin pertama, kegagalan pasar terjadi di semua negara-negara berkembang. Kegagalan pasar adalah situasi di mana hukum permintaan dan penawaran tidak terjadi. Kegagalan ini terjadi akibat peraktek monopoli, monopsoni dan oligopoli. Juga proteksi pemerintah atas suatu industri (industri strategis maupun infant industry). Di pasar tenaga kerja (Labour Market) kegagalan terjadi karena umumnya terjadi over supply tenaga kerja dan rendahnya kualitas sumberdaya manusianya.

Dalam hubungan poin kedua tersebut di atas, industrialisasi yang sedang berlangsung di negara-negara berkembang tidak tumbuh untuk memperbesar kapasitas industri nasional dan peningkatan upah buruh serta daya belinya. Industrialisasi lebih dimaksudkan untuk mendorong proses relokasi industri di negara-negara maju yang sudah kurang menguntungkan dilakukan di sana. Dari sisi negara berkembang, industri ini sebagian besar hanya sebagai industri subtitusi-impor untuk mendukung konsumsi barang-barang industri yang diimpor untuk kepentingan pembangunan.

Dalam kerangka hubungan di atas pula industri yang terjadi tidak menciptakan surplus secara total, karena dari setiap modal yang diinvestasikan asing kenegara berkembang akan dikembalikan dalam perbandingan 1:2,7 (Dos Santos, kasus Amerika Latin tahun pengamatan 1946-1967, dalam dollar). Pada tahun enampuluhan angka perbandingan tersebut menjadi 1:5,4 (Dos Santos dalam Sritua Arief, 1998). Di Indonesia sendiri Sritua Arief dan Adi Sasono menghitung pada angka perbandingan 1:2 untuk tahun tujuhpuluhan dan menjadi 1:10 tahun 1999. Di dalam negeri sendiri, surplus yang diperoleh pengusaha lokal telah dibelanjakan secara konsumtif untuk barang-barang mewah. (1), (10)

Dari sisi alih teknologi pun tidak terjadi secara signifikan, oleh karena kehadiran industri yang didukung dengan hadirnya perusahaan-perusahaan asing (Multinational Corporation/ MNC) di negara berkembang tidak menempatkan negara berkembang sebagai tempat industri yang penting. Industrialisasi di negara berkembang ditopang dengan teknologi “usang” dan mesin-mesin yang sudah tidak efisien lagi untuk industri negara maju. Industri ini ditujukan untuk memproduksi barang-barang konsumsi dalam rangka kebijakan subtitusi impor yang pasarannya justru untuk negara berkembang.

Pemikir-pemikir strukturalis dunia ketiga meminta adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional. Campurtangan ini diperlukan, selain atas alasan penentangan sistem pasar bebas yang diutarakan di atas, karena model ekonomi klasik Adam Smith dan Ricardo, serta model neoklasik (competitive equilibrium model) yang tidak menghendaki campurtangan pemerintah gagal menjelaskan proses hubungan kelas dalam sistem ekonomi di negara berkembang. Menurut Sao, hubungan-hubungan ekonomi yang tidak kompetitif justru terjadi dengan adanya aliansi dari kelas tuan tanah feodal dan petani kaya dengan kelas borjuasi, aliansi kelas borjuasi dengan kelas kapitalis asing serta aliansi kelas tuan tanah feodal dan petani kaya dengan kapitalis asing. Dengan campur tangan pemerintah, kaum strukturalis berpendapat bahwa massa rakyat dapat perlindungan untuk berkompetisi dengan baik.

Ekonom besar di luar kelompok strukturalis yang mendukung adanya intervensi pemerintah adalah John Maynard Keynes. Keynes dan para pengikutnya mendukung adanya campurtangan pemerintah dari sisi yang berbeda, yaitu bagaimana pemerintah memastikan terjadinya full employment dalam system ekonomi. Untuk itu pemerintah perlu memperbesar sisi penawaran (Demand side).

Bank Dunia sendiri mendorong adanya campurtangan pemerintah, peran minimal adalah penyediaan barang-barang publik dan perlindungan si miskin dan peran aktif dapat mendorong kegiatan swasta dan redistribusi asset.

Dalam hal pengangguran, tingkat penganggguran di negara-negara berkembang sangat tinggi. Di Indonesia tingkat pengangguran mencapai angka 9,5% (2003) dan angka tersebut dapat mencapai 31 % jika dimasukkan pengangguran tidak terbuka dan setengah pengangguran. Besarnya tingkat pengangguran ini telah mengurangi daya tawar pekerja dan pencari kerja terhadap pemilik modal. Apa yang disebut Milton Friedman bahwa setiap pekerja ataupun pencari kerja pada dasarnya tidak dapat ditekan pengusaha sangat sulit dipahami dalam situasi over supply tenaga kerja tersebut. Apalagi di negara-negara berkembang, sistem jaminan sosial tidak berfungsi, sehingga keluar dari pekerjaan untuk mencari pekerjaan yang lain bukanlah pilihan yang mudah. Berbeda di negara-negara maju di mana memang supply demand tenaga kerja relative seimbang dan sistem jaminan sosial berlangsung baik. Hal ini membuat posisi tawar pekerja di negara maju terhadap pemilik modal sangat tinggi, di samping “law enforcement” mereka berjalan baik.

Model Pengembangan Rantai Pasok Rumput Laut oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guna Pemenuhan Kebutuhan Rumput Laut Dan Produk Turunannya

Denny Noviansyah Abstrak Indonesia sebagai negara Maritim mempunyai Panjang pantai seluas 95.181 km 2 . Pesisir pantai mempunyai berbagai je...