Custom Search

Kamis, 17 Januari 2008

EPISTEMOLOGI UNTUK PEMBANGUNAN ETIKA BIDANG LINGKUNGAN

LATAR BELAKANG
Pembangunan sebuah masyarakat bangsa adalah proses atau perubahan yang ditempuh dan dilakukan atas dasar keinginan suatu masyarakat bangsa. Proses pembangunan tersebut harus mengubah parameter struktur/struktur dari berbagai tatanan yang ada di dalam masyarakat bangsa yang melakukan perubahan tersebut. Perubahan dapat dilakukan dengan mengintervensi ke berbagai bidang dengan tujuan keinginan yang disepakati terwujud.
[1]

Proses pembangunan tidak terlepas dari proses manajemen, yakni Perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organize). Pelaksanaan (Actuating) dan Pengendalian (Controlling). Dalam konteks manajemen strategis, maka pembangunan harus mempunyai Visi dan misi. Visi dan Misi tersebut akan dianalisis dengan Analisis Lingkungan internal dan Analisis Lingkungan Eksternal.
Telah disadari oleh pemerintah, bahwa proses manajemen pembangunan pada masa lalu lebih cenderung bersifat Teknokrasi – Bertumpu pada Rasionalitas Tekno-ekonomik dan kepakaran (seperti yng dicatat oleh Hartanto).[2]. Konsep ini seperti dicatat oleh Mochtar Mas’ud saat itu pemerintah dihadapkan pada dua pilihan strategi, yakni prioritas produktiitas atau prioritas demokrasi. Keduanya bersifat zero sum game, artinya jika yang satu dipilih maka yang lainnya harus dipinggirkan. Pemerintah memilih produktivitas dengan keyakinan demokrasi akan tercapai tatkala produktivitas menghasilkan tingkat kemakmuran. Namun, seperti yang dapat dilihat bersama, strategi tersebut gagal dengan akibat riilnya krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997 sampai akhirnya orde baru runtuh.[3]
Faktanya, konsekuensi dari kegagalan pembangunan seperti ini berimplikasi kepada seluruh sektor pembangunan. Tulisan ini mencoba mengkaji kegagalan pembangunan dalam tinjauan kebijakan publik ala Vening.

Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah (regional development) sebagai upaya untuk memacu perkembangan sosio-ekonomi, mengurangi kesenjangan, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah, sangat diperlukan karena kondisi sosial-ekonomi, budaya dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Dengan kata lain, pembangunan nasional tidak dapat disamaratakan pada seluruh wilayah, akan tetapi harus disesuaikan dengan kondisi-kondisi tersebut. Inilah sesungguhnya yang merupakan argumentasi akan perlunya suatu pengembangan wilayah.


Begitu pula sifat pengembangan wilayah berbeda dengan pembangunan sektoral, karena yang pertama sangat berorientasi pada issues (permasalahan) pokok wilayah secara saling terkait, sementara yang disebutkan terakhir sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor itu, tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya.
Namun demikian, walaupun berbeda dalam orientasi keduanya saling melengkapi; dalam arti bahwa pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa pembangunan sektoral, sementara pembangunan sektor tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya pembangunan sektor itu sendiri. Bahkan hal ini dapat mencip-takan perselisihan (konflik) kepentingan antarsektor-sektor tersebut, yang pada gilirannya akan kontra-produktif dengan pengembangan wilayah. Singkat kata, pengembangan wilayah seyogianya menjadi acuan (referensi) pembangunan sektor, dan samasekali bukan penjumlahan dari pembangunan sektor-sektor pada suatu wilayah tertentu.

TINJAUAN KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan publik yang akan dipakai mengacu kepada buku Memahami Analisis Kebijakan : Kasus Reformasi Indonesia (Partowidagdo) yang dibuat berdasarkan Weimer (1989).[4] Faktor-faktor yang akan dijadikan alat analisis adalah Kegagalan Pemerintah dan Kegagalan Pasar.

Kegagalan Pemerintah, meliputi Birokrasi dan desentralisasi, sedangkan kegagalan pasar meliputi Barang Publik, Eksternalitas.

1. Barang Publik
Barang publik, dapat diklasifikasikan dalam dua karakteristik, yakni (1) Rivalry dan (2) Excludability. Kedua konsep ini dapat dilihat pada Weimer dan Vining.
[5]
Rivalry means that what one person consumes cannot be consumed by anyone else. Excludability means that some particular person has exclusive control over the good”
Dari kedua karakteristik di atas, maka jalan merupakan bagian dari barang public.


2. Eksternalitas
Eksternalitas adalah hasil atau keluaran yang terjadi karena kegiatan apa pun, dimana hasil tersebut bukanlah tujuan yang diinginkan dari kegiatan tersebut. Dalam Weimer dan Vining, dikemukakan hubungan antara produser dan consumer yang merupakan implikasi dari terbentuknya eksternalitas. Terbentuknya eksternalitas merupakan imteraksi antara dua stakeholders, yakni produser dan konsumer. Kedua interaksi tersebut dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :
[6]



3. Birokrasi
Peran administrator dalam birokrasi pemerintahan secara khusus adalah kemampuannya untuk mendesain strategi usaha berencana yang mendorong ke arah pembaharuan dan pembangunan, dalam berbagai kebijaksanaan atau dalam suatu rencana maupun implementasinya. Fungsi birokrasi sendiri dapat digambarkan sebagai :

The permanent officials can do much to maintain interest among political leaders in administrative reform movement. They should stimulate the formulation and implementation of reform measures within the public service itself, and train their subordinates in the value and proper utilization of new methods. Leadership in administrative reforms is thus demanded of both the political leaders and the chief officials of the career service. But it reform is actually to take place, the will for improvement need to be encouraged among officials at every levels.
[7]

4. Barang yang diproduksi Pemerintah Lokal
Barang yang diproduksi langsung oleh negara adalah setua pemerintahan itu sendiri. Leman dalam Weimer mengkategorikan 10 barang yang diproduksi oleh pemerintah lokal, yakni : (1) Memfasilitasi komersial; (2) Mengatur tanah publik; (3) Mengkonstruksi pekerjaan umum dan mengatur property; (4) Penelitian dan pengujian; (5) Asisten teknik; (6) Hukum dan keadilan; (7) Pelayanan kesehatan, pelayanan sosial; (9) Pendidikan dan pelatihan; (10) Mendukung administrasi internal yang dibutuhkan.[8]

Penanggulangan Kegagalan Pemerintah dalam perspektif weberian
Bagi Weber, terdapat tipe ideal bagi birokrasi. Tipe tersebut akan didekati dari beberapa ciri birokrasi, yaitu :
  1. Kegiatan-kegiatan reguler yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang dibagi dalam eberapa cara tertentu sebagai tugas-tugas jabatan.
  2. Pengorganisasian jabatan-jabatan mengikuti prinsip hirarkhi.
  3. Operasi atau pelaksanaan kegiatan dikendalikan oleh suatu system peraturan yang konsisten.
  4. Pejabat ideal dalam suatu birokrasi melaksanakan kewajiban di dalam semangat formalistic impersonality.
  5. Penempatan kerja di dalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi teknis dan dilindungi terhadap pemberhentian sewenang-wenang.
  6. Birokrasi murni dari suatu administrasi dilihat dari penglihatan teknis agar dapat memenuhi efisiensi yang tertinggi.

Namun, birokrasi pemerintahan merupakan organisasi-organisasi sektor publik yang secara langsung menjadi objek dari kontrol politik mengingat posisi mereka sebagai pihak yang memberikan pelayanan dalam bidang-bidang yang menjadi monopoli. Sektor publik seperti ini menyaratkan adanya organisasi yang tersenbtralisasi dan menyerap sumber-sumber daya melalui cara – cara yang memaksa, seperti pajak. Keputusan yang diambil pun lebih tergantung keputusan sosial dari pada keputusan individual.

Unsur paksaan ini memungkinkan negara melengkapi aparatnya dengan kekuasaan yang bersifat monopoli, sehingga sebagai konsekuensi logis, para individu dan masyarakat terikat untuk membayar gaji para pejabat sekaligus menikmati dan memanfaatkan pelayanan apapun kualitasnya. Dengan demikian sistem dari negara modern haruslah memiliki pengawasan birokratik dari bawah untuk menghindari unsur paksaan dari sistem politik.

Penanggulangan Kegagalan Pasar
1. Pengembangan Wilayah sebagai Barang Publik
Pengembangan wilayah di masa yang akan datang seyogianya harus merupakan suatu kerangka untuk tindakan-tindakan bagi terbentuknya suatu Pembangunan Lokal (Local Development), yang diartikan sebagai penumbuhan suatu lokalitas secara sosial-ekonomi dengan lebih mandiri, berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya, baik sumber daya alam, geografis, kelembagaan, kewiraswastaan pendidikan tinggi, asosiasi profesi maupun lainnya. Hal ini harus dilakukan pada skala yang kecil (skala komunitas). Titik sentralnya adalah mengorganisasi serta mentransformasi potensi-potensi ini menjadi penggerak bagi pembangunan lokal. Jelas upaya ini harus ditumbuhkembangkan terutama oleh masyarakat lokal (local community) itu sendiri. Untuk itu sangat diperlukan kehadiran para penggagas yang mampu bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk menggerakan pembangunan lokal tersebut. Dengan demikian apa dan bagaimana suatu rencana pengembangan wilayah akan dilakukan haruslah dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri mengenai apa dan bagaimana hal tersebut harus dan akan dilakukan.

Pada konteks sosio-ekonomi dan budaya yang berbeda, di Eropa Barat sebenarnya pengembangan wilayah dengan basis pada local development, telah berhasil menciptakan distrik-distrik industri yang berkembang dengan pesat dan mandiri, seperti tersebar di Jerman dan Italia. Sangat mungkin gagasan ini dapat disesuaikan untuk tujuan pengembangan wilayah di negara berkembang, seperti Indonesia, tentu saja bukan untuk ditiru mentah-mentah.

2. Eksternalitas
Untuk memahami eksternalitasi, maka terlebih dahulu harus memahami hubungan antara sistem ekonomi dan lingkungan.
Untuk mengeliminir faktor eksternalitas, dapat dimasukkan melalui penghitungan aspek lingungan dalam sistem produksi.


SKENARIO[9]
Skenario Pertama : Residualisasi ‘Welfare State’
Dalam skenario ini pemerintah dan masyarakat menganut paradigma individualisme. Pada intinya skenario ini berprinsip bahwa suatu pelayanan termasuk pelayanan untuk sektor publik hanya dapat diperoleh atau diterima bagi mereka yang mampu membayar. Dengan kata lain, suatu pelayanan dapat diberikan berdasarkan kemampuan dan keinginan pengguna untuk membayar (customers’ willingness and ability to pay). Oleh karena itu, dalam skenario ini terdapat fragmentasi atau pembedaan pasar untuk masing-masing level masyarakat dengan kemampuan ekonomi tertentu. Bagi mereka yang relatif mampu atau berpendapatan tinggi akan memperoleh layanan yang baik sedangkan yang tidak mampu atau memiliki pendapatan rendah hanya akan mendapat layanan publik yang sifatnya residual dimana pelayanan tersebut hanya meliputi level dasar akibat minimnya dana atau terbatasnya anggaran untuk pengadaan fasilitas yang dapat mereka peroleh.

Skenario dua : Privatisasi dan Aspek Kedermawanan Dalam Penyediaan Pelayanan Publik
Skenario ini menempatkan pemerintah pada kedudukan yang memegang nilai atau paradigma individualis sedangkan masyarakat pada kedudukan yang memegang nilai atau paradigma kolektivisme. Perbedaan paradigma tersebut memberikan implikasi pada termarjinalkannya pemerintah akibat banyaknya masyarakat yang secara sukarela mau membantu upaya penyediaan pelayanan publik. Oleh karena itu, pemberdayaan otoritas lokal dimana masyarakat sebagai penggerak utamanya dapat dijadikan sebagai landasan kebijakan dalam penyediaan publik. Dalam kondisi tersebut pemerintah dapat bertanggung jawab atas segala aktivitas badan-badan swasta yang memiliki kedermawanan untuk mengurus penyediaan pelayanan publik melalui organisasi-organisasi tertentu.

Skenario tiga : Retensi dari ‘welfare state’
Pemerintah dan masyarakat dalam skenario ini sama-sama memiliki paradigma atau tata nilai kolektivisme. Pemerintah dalam hal ini disyaratkan mempunyai kemampuan untuk merespon opini masyarakat terutama untuk konteks penyediaan pelayanan publik. Pengurangan atau pembatasan penyediaan pelayanan sektor publik dianggap sebagai kegiatan yang bersifat counter-productive dalam skenario ini. Dengan demikian, penyediaan sektor publik harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu mendorong produktifitas masyarakat tersebut. Oleh karena itu, suatu kebijakan dalam penyediaan pelayanan publik seharusnya disusun sebagai koalisi antara pemerintah dan masyarakat. Di lain pihak, pemerintah sendiri juga harus mampu memberikan dukungan penuh terhadap seluruh aspek penyediaan pelayanan publik yang merupakan fungsi utama dari welfare state. Dengan kata lain, dalam skenario ini welfare state justru merupakan suatu sistem politik yang harus dipertahankan atau suatu sistem yang sifatnya retensif.

Skenario keempat : ‘Welfare state’ yang persuasif
Mengingat dalam skenario ini pemerintah merupakan pihak yang memiliki nilai kolektivis sedangkan masyarakat memiliki nilai individulis, pemerintah dituntut untuk dapat bersikap persuasif dalam menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat sehingga mereka rela membayar pajak untuk penyediaan pelayanan publik tersebut. Upaya persuasif yang dilakukan pemerintah dapat berupa peningkatan pelayanan dari sektor publik yang sudah ada. Hal tersebut dapat didukung dengan menerapkan kebijakan penyediaan sektor publik yang berorientasi pada pengguna yang bersifat individualis (customer-oriented).

PENUTUP
Sebagai penutup dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, pengembangan wilayah di masa yang telah lalu, baik secara sadar direncanakan maupun tidak, yang terlampau menekankan faktor investasi dari luar sebagai pendorong utama, ternyata kurang dapat memberdayakan perekonomian wilayah maupun masyarakat lokal. Ke-dua, skala pengembangan wilayah yang terlalu besar kurang dapat memberikan tempat pada pengembangan masyarakat di wilayah itu, karena orientasi yang berbeda. Pada gilirannya bahkan hal ini telah menumbuhkan kekecewaan dan ketidakpuasan pada masyarakat lokal. Ketiga, di masa yang akan datang pengembangan wilayah harus berorientasi pada pembangunan lokal (local development) dengan tujuan untuk mendorong partisipasi masyarakat lokal, guna mengembangkan sumber-sumber yang ada secara lebih mandiri, dengan inisiatif yang tumbuh secara lokal pula.


PUSTAKA
[1] Sasmodjo, Saswinadi. Pengantar Mata Kuliah Science, Teknologi dan Pembangunan.
[2] Hartanto, Frans Mardi. Pengantar Mata Kuliah Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan.
[3] Dikutip dari Nugroho, Riant. Reinventing Indonesia. Menata Ulang Manajemenpemerintahan untuk membangun Indonesia Baru dengan keunggulan Global. Elex Media Computindo. 2001.
[4] Partowidagdo, Widjajono. Analisis Kebijakan : Kasus Reformasi Indonesia. Studi Pembangunan ITB – 1998. yang diadopsi berdasarkan Weimer, David L and Aidan R. Vining. Policy Anaysis Consepts And Practise. Prentice Hall International, Inc. 1989.
[5] Weimer L. David dan Aidan R. Vining. Policy Analysis : Consepts and Practice. Prentice - Hall International, Inc. Halaman 40.
[6] Ibid. Halaman 56 - 57
[7] United Nations, A. Handbook of Public Administration : Current and Practice with Special Reference to Developing Countries (New York : Department of Economic and Social Affairs, United Nations, 1961) dalam Bintoro Tjokroamidjojo. Pengantar Adminsitrasi Pembangunan. LP3ES.Oktober 1978.
[8] Vining. Op. Cit. Halaman 159 - 160.
[9] Kebijakan Publik oleh FTSP ITB

Tidak ada komentar:

Model Pengembangan Rantai Pasok Rumput Laut oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guna Pemenuhan Kebutuhan Rumput Laut Dan Produk Turunannya

Denny Noviansyah Abstrak Indonesia sebagai negara Maritim mempunyai Panjang pantai seluas 95.181 km 2 . Pesisir pantai mempunyai berbagai je...