Oleh : Agus Syamsudin
Hujan Batu di Negeri Sendiri Lebih Enak
Dari Pada Hujan Emas di Negeri Orang Lain
(Pepatah)
Pendahuluan
Fenomena mudik sudah menjadi trend dan bahkan budaya masyarakat Indonesia. Kebutuhan mudik dilandasi oleh semangat silaturahmi dari masyarakat perantau kepada masyarakat yang ditinggalinya. Silaturahmi tersebut membawa beberapa implikasi, pertama pengaruh budaya kota yang dibawa ke desa atau kampung halaman; kedua pengaruh ‘kemapanan’ ekonomi yang dibawa masyarakat kota untuk diperkenalkan ke masyarakat desa.
Hal lain yang cukup menarik dari budaya mudik ini dapat dilihat dari jumlah antrian kendaraan dari kota-kota besar seperti Jakarta yang menyebar keseluruh penjuru. Untuk mudik ke arah Banten sampai Pulau Sumatra, akan terlihat antrian kendaraan di sepanjang jalan tol Tangerang – Merak. Sampai di Pelabuhan Merak, antrian kendaraan akan lebih memadat, karena kebutuhan masing-masing kendaraan untuk ikut di dalam Feri penyebrangan. Untuk mudik ke arah selatan, seperti ke Bogor, Sukabumi, Bandung lewat jalur Cianjur/Sukabumi/Jonggol, maka antrian kendaraan sudah dapat dibayangkan. Sedangkan pada hari-hari biasa jalur puncak merupakan daerah rawan macet. Jalur menuju Jawa juga terdapat beberapa titik rawan macet.
Tulisan ini mencoba menggambarkan dampak ekonomi dari kemacetan jalan akibat mudik, yang membawa implikasi kepada pemberdayaan masyarakat di sekitar tempat kemacetan. Pemberdayaan dalam fenomena ini lebih cenderung kepada pemberdayaan sesaat, yang mengikuti trend tahunan.
Budaya Pemberdayaan
Sesungguhnya dalam bangsa Indonesia mempunyai prinsip hidup, sikap hidup, falsafah hidup yang dipakai oleh beberapa suku bangsa Indonesia. Dimana prinsip hidup tersebut dituangkan dalam ajaran nilai-nilai kesepakatan hidupnya, adat istiadatnya, hukum adatnya, yang dapat menjadi modal kekuatan pemberdayaan, atau di sisi lain mungkin merupakan kelemahan yang harus diatasi permasalahannya. Siri orang bugis, profesionalitas orang Jawa, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung orang minangkabau. Beberapa istilah ini menjelskan bahwa faktor dasar pemberdayaan telah lama hidup di hati masyarakat Indonesia.
Dampak modernisasi menimbulkan perubahan perilaku masyarakat. Bagi masyarakat yang yang tidak stabil akan memahami modernisasi dan perubahan sebagai seusatu yang ‘ditakuti’ dan dimusuhi. Sedangkan bagi masyarakat yang relatif telah siap untuk berubah dan melakukan perubahan, maka modernisasi dipahami sebagai sebuah proses alamiah. Masyarakat seperti ini telah siap menghadapi segala bentuk perubahan.
Konsekuensi yang buruk dari perubahan dan modernisasi adalah ketimpangan ekonomi, timbulnya kelas sosial yang makin melebar, sehingga menimbulkan – secara perlahan ‘api dalam sekam’ – kegelisahan masyarakat. Potensi seperti inilah yang akan menimbulkan berbagai konflik di masyarakat.
Modal Dasar Pemberdayaan
Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan difahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati harus menghasilkan.
Proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat ini diarahkan untuk membentuk kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh masyarakat. Proses transformasi itu harus digerakkan oleh rakyat sendiri.
Pengertian pemupukan modal seperti itu menunjukkan bahwa bantuan dana, sarana dan prasarana harus dikelola secara tertib dan transparan dengan berpegang pada lima prinsip pokok. Pertama mudah diterima dan didayagunakan oleh masyarakat sebagai pelaksana dan pengelola (acceptable). Kedua dapat dikelola dan dipertanggungjawabkan (accountable). Ketiga membeikan pendapatan yang memadai dn mendidik masyarakat untuk mengelola kegiatan secara ekonomis (profitable). Keempat hasilnya dapat dilestarikan oleh masyarakat sendiri sehingga menciptakan pemupukan modal dalam wadah lembaga sosial ekonomi setempat. Kelima pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat dengan mudah digulirkan dan dikembangkan oleh msyarakat dalam lingkup yang lebih luas (replicable).[1]
Dalam proses perubahan dan pembedayaan diperlukan komunitas yang disebut para agen penggerak. Dalam menumbuhkan partisipasi di masyarakat, agen penggerak ini emegang peranan yang penting. Terdapat 4 peran utama dari agen penggerak tersebut, yaitu pertama katalisator : menggunakan masyarakat agar mau melakukan perubahan; kedua pembantu penyebaran inovasi serta memberi petunjuk bagaimana mengenali dan merumuskan kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan, mendapatkan sumber-sumber yang relevan, memilih dan mengevaluasi; Ketiga sebagai pemecah masalah; keempat sebagai penghubung dengan sumber-sumber yang diperlukan.[2]
Kesempatan dalam Kesempitan
Sebuah proses alamiah, bahwa jika terjadi sebuah kejadian ditempat umum, maka akan ada orang yang memanfaatkan kejadian tersebut. Pemanfaat kejadian ada yang disebut eksploitator dan fasilitator. Eksploitator adalah pemanfaat kejadian untuk melakukan pengayaan bagi dirinya sendiri. Sedangkan fasilitator adalah pemanfaat kejadian yang melihat sebuah kesempatan akan berguna bagi dirinya dan khalayak ramai. Perbedaan mentalitas dan sikap ini yang akan menentukan keberhasilan pendampingan dan pemberdayaan seorang agen perubah.[3
Dalam kondisi yang sangat macet, maka ada kebutuhan psikologis bagi pengendara mobil di jalan tol untuk melakukan penyegaran walaupun untuk sesaat saja. Kebutuhan psikologis tersebut yang akan membawa kenikmatan dalam berkendaraan bagi pengendara mobil di jalan tol.
Bayangkan dalam satu kali kasus kemacetan dalam jalan tol sepanjang satu kilometer dengan jumlah lajur mobil sebanyak empat. Panjang mobil rata-rata 2.5 meter. Maka terdapat sejumlah 1600 mobil yang mengalami kemacetan pada saat itu.[4] Pada saat macet tersebut merupakan surga bagi warga disekitar untuk berjualan barang-barang yang dianggap dibutuhkan oleh masyarakat atau pengendara mobil yang lelah akibat kemacetan.
Katakanlah dalam satu mobil yang berisi seorang ayah, seorang ibu dan dua orang anak membutuhkan sebungkus Gehu (Toge Tahu) yang berisi 6 buah tahu seharga Rp. 1.000,00. Keuntungan dari setiap bungkus gehu adalah Rp. 200,00. Maka jika 50% dari jumlah mobil yang mengalami kemacetan itu membeli Gehu, maka proses jual beli Gehu tersebut telah menguntungkan bagi pihak pedagang sebesar Rp. 80.000,00.[5]
Dapat dibayangkan lagi, jika proses kemacetan yang terjadi adalah kemacetan karena arus mudik ataupun arus balik. Omset uang yang bergerak di jalan akan sangat banyak, dan ini akan menghasilkan keuntungan bagi masyarakat yang tinggal atau rumahnya di sekitar jalan-jalan rawan kemacetan pada arus mudik.
Fenomena ini meruntuhkan mitos keenam dan ketujuh dari Ginandjar (1996) yang dikutip oleh Nasution (2001). Mitos keenam adalah masyarakat, khususnya masyarakat lapisan bawah tidak tahu apa yang diinginkannya. Sedangkan mitos ketujuh adalah kemiskinan lahir akibat kebodohan dan kemalasan anggota-anggota masyarakat.
Penutup
Perlu sebuah sebuah kesadaran baru dan kebijakan baru dalam menyikapi fenomena kemacetan dan peran masyarakat untuk terlibat dalam proses pencarian nafkah. Bahwa sesungguhnya banyak fenomena disekitar kita yang dapat menjadi modal dan model bagi pemberdayaan.
Fenomena trend kemacetan menjelang arus mudik dan arus balik, dari sudut pandang masyarakat yang tinggal disekitar area yang dilewati mobil, adalah keberuntungan dan kesempatan untuk mendapatkan sedikit uang dan keuntungan. Tejadi proses jual beli, fantasticnya terjadi penyatuan kultur, antara masyarakat pembawa kendaraan dengan masyarakat yang dilewati kendaraan.
Jika model ini berlaku secara lurus, tanpa ada rekayasa dan dimanipulasi apalagi ditambahkan factor kriminalitas, maka akan terjadi paling minimal pertukaran arus uang dan informasi antar komunitas dan kelompok masyarakat. Jika ini dapat diberdayakan, maka trend mudik akan menjadi mediator cukup tangguh bagi pemberdayaan masyarakat.
[1] Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta : Cides. Halaman 149-151.
[2] Nasution, Muslimin. Dr. Naskah Kuliah Pembangunan Yang Bertumpu Pada Masyarakat. Pemberdayaan Masyarakat (Tujuan Proses Pengembangan Masyarakat yang Dibangun Di Atas Realitas)..
[3] Keberhasilan disini jangan diartikan sebagai keberhasilan secara ekonomi saja. Keberhasilan dalam pemberdayaan adalah keberhasilan dalam menikmati proses pemberdayaan itu sendiri. Sehingga jangan berharap kalau sebuah proses pemberdayaan akan mendapatkan hasil secara cepat (instan). Keberhasilan proses dalam pemberdayaan juga termasuk diantaranya keberhasilan spiritualitas untuk mengatur ritme pemberdayaan dan pendampingan.
[4] Dalam teori antrian, diasumsikan mobil yang macet mempunyai panjang yang sama, yaitu 2,5 meter. Kemacetan terjadi sepanjang 1 km = 1000 meter. Maka jumlah kendaraan yang ada di satu lajur adalah 400 kendaraan. Jika dalam ruas jalan tol tersebut terdapat 4 lajur yang mengalami kemacetan, maka jumlah mobol yang terjebak kemacetan sebesar 1600 buah mobil. Asumsi ini sama saja, jika kendaraan yang macet pada waktu mudik dengan jumlah mobil, pajang kemacetan dan jumlah lajur yang sama.
[5] 50 % dari 1600 adalah 800 jumlah mobil. Jika sebuah mobil membeli sebungkus Gehu. Maka 50 % atau 800 mobil akan membeli gehu. Sebungkus Gehu menghasilkan keuntungan Rp. 200,00 maka 800 bungkus Gehu akan menghasilkan keuntungan bersih bagi pedagang sebesar Rp. 80.000,00.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar