Edi Purwanto
Staf Pengajar Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur – Universitas Diponegoro
ABSTRAK
Salah satu upaya untuk mencoba memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui peta mental manusia sebagai pengamat. Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, jarak dan susunan dalam lingkungan fisik (kota). Peta mental mempunyai konsep dasar yang disebut dengan imagibilitas atau kemampuan untuk mendatangkan kesan. Imagibilitas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan legibilitas, atau kemudahan untuk dapat dipamahi / dibayangkan dan dapat diorganisir menjadi satu pola yang koheren. Agar suatu kota dapat dengan mudah dipahami citranya, maka kota tersebut harus mempunyai karakter, karena karakter kota diperlukan untuk memberikan pemahanan tentang identitas kota, sesuai dengan potensi yang ada. Dalam hal ini, karakter merupakan jiwa, perwujudan watak, baik secara fisik maupun non-fisik, yang memberikan citra dan identitas kota.
Kata kunci: citra, peta mental, imagibilitas, legibilitas.
ABSTRACT
One of expediences in trying to understand the image of urban environment can be conducted by the way of
knowing the cognition map of human as the observer. Cognition maps discuss about the way the observer get, organize, store, and recall the information about location, distance and the structure of physical environment (urban). Cognition maps had a basic concept called imageability or the ability of inviting impression. Imageability has a very close correlation with legibility, or the ease of having understanding/image and can be organized into one coherent pattern. In order one city can easily understood with the image, so the city must have character because the character of a city is needed for giving understanding about the identify of city, in accordance with the exisiting potensial. In this case, the character is the soul, the realization of character, both physically and non-physically, giving some image and identity of city.
Keywords: image, cognition map, imageability, legibility
Kevin Lynch dalam bukunya yang terkenal dengan judul “The Image of The City” (1960) telah melakukan penelitian tentang citra kota di kota-kota : Boston, New Jersey dan Los Angeles. Pada perkembangan selanjutnya penelitian Kevin Lynch dilanjutkan oleh beberapa peneliti lain di kota-kota Amerika Utara dan Eropa (Pocock, 1987) dengan tetap menggunakan metode yang sama seperti yang digunakan oleh Kevin Lynch.
Tulisan ini disusun oleh penulis berdasarkan beberapa studi kepustakaan yang berkaitan dalam rangka memberikan wawasan kepada calon peneliti di Indonesia yang berminat untuk mengembangkan penelitian pemahaman citra kota. Dengan demikian munculnya pertanyaan yang timbul dalam benak seorang calon peneliti bagaimana suatu kota yang telah direncanakan dan dirancang oleh ahlinya dapat dipahami oleh masyarakat luas akan dapat dilakukan dengan mudah.
PENDEKATAN TEORI
1. Upaya pemahaman kota
Lingkungan fisik kota terbentuk oleh berbagai unsur tiga dimensi: sifat rancangan; lokasi dan kaitan posisi elemen satu dengan elemen lainnya, merupakan faktor penentu kejelasan ciri-sifat lingkungan tersebut (Sudrajat, 1984). Meskipun unsur pembentuk lingkungan perkotaan di berbagai tempat pada dasarnya relatif sama, tetapi susunannya selalu berlainan, sehingga bentuk, struktur dan pola lingkungan yang dapat dipahami dan dicerna manusia pada tiap lingkungan kota senantiasa berbeda-beda.
Dibandingkan dengan bentuk lingkungan binaan yang lain, ciri khas kota sebagai karya arsitektur tiga dimensi terletak pada konstruksi keruangannya yang mempunyai skala luas dan rumit. Kota, selain sebagai obyek persepsi dan tempat berperilaku warga yang beraneka ragam, juga merupakan sasaran tindakan para perencana dan perancang kota yang secara langsung ataupun tidak langsung mengubah struktur kota berdasarkan alasannya masing-masing, sehingga meskipun lingkungan perkotaan secara garis besar nampak selalu mantap dan utuh, dalam kenyataannya senantiasa mengalami perubahan didalamnya.
Hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan perkotaan merupakan proses dua arah yang konstruktif, didukung baik oleh cirisifat yang dapat memberikan image (citra) lingkungan, maupun oleh ciri-sifat kegiatan dan kejiwaan manusia. Dalam hubungan timbal balik tersebut, lingkungan perkotaan tampil dengan ciri-sifat sebagai berikut (Ittleson dalam Sudrajat, 1984):
Upaya pemahaman lingkungan perkotaan dapat dijelaskan melalui model kerja yang terdiri dari lima komponen (Sudrajat, 1984), yaitu: (1) komponen lingkungan perkotaan; (2) ciri-sifat manusia sebagai pengamat; (3) matra hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan; (4) citra lingkungan; dan (5) tujuan utama pemahaman lingkungan perkotaan.
Upaya pemahaman citra kota bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan dan kesejahteraan hidup manusia mempunyai empat tujuan utama, yaitu:
2. Hubungan antara Manusia dengan Lingkungannya
Holahan (1982), menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungan yang menurutnya bersifat saling menyesuaikan dan dengan kemampuan kognisi yang dipunyainya, manusia selalu berikhtiar untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya. Rapoport (1982) berpendapat bahwa para perancang cenderung bereaksi terhadap lingkungan dengan istilah persepsual, sedangkan publik menikmati dan para pemakai bereaksi terhadap lingkungan dengan istilah assosiasional.
Aspek persepsual adalah isyarat yang mulamula diperhatikan dan diperbedakan. Aspek assosiasional mengambil persamaan diantara isyarat-isyarat dan memakainya dengan hubungan yang bermanfaat atau penggabungan bermanfaat. Proses dasar yang menyangkut interaksi manusia dengan lingkungannya adalah informasi tentang lingkungan yang diperoleh melalui proses persepsi (Lang, 1987).
a. Persepsi
Persepsi dapat diartikan sebagai pengamatan yang secara langsung dikaitkan dengan suatu makna tertentu. Proses yang melandasi persepsi berawal dari adanya informasi dari lingkungan. Rapoport (1982) berpendapat bahwa persepsi menggambarkan pengalaman langsung indera manusia terhadap lingkungan bagi mereka yang ada didalamnya dalam waktu tertentu. Tidak semua rangsang (informasi) diterima dan disadari oleh individu, melainkan diseleksi berdasarkan orientasi nilai yang dimilikinya dan juga pengalaman pribadi. Keseluruhan informasi yang telah menyatu menjadi sesuatu yang utuh, kemudian diberi tafsiran (interpretasi makna), antara lain atas dasar orientasi nilai dan pengalaman pribadi individu. keluaran keseluruhan proses ini adalah pengangkapan/ penghayatan. Antara seleksi, pembualatan dan tafsiran menjadi hubungan ketergantungan (interdependen), namun ciri khas individualnya diperoleh dari orientasi nilai dan pengalaman pribadi.
b. Kognisi
Menurut Rapoport (1982), kognisi adalah cara yang digunakan manusia untuk menjelaskan bagaimana manusia memahami, menyusun dan mempelajari lingkungan dan menggunakan petapeta mental untuk menegosiasikannya. Berdasarkan definisi tersebut, yang ada pada individu manusia sebenarnya satu sistem kognisi. Sistem tersebut merupakan hasil proses kognitif yang terdiri dari kegiatan-kegiatan :
Peta mental mempunyai pengertian yaitu satu upaya pemahaman suatu tempat khususnya terhadap kota. Istilah diatas berpegang kepada definisi dan teori yang dirintis oleh David Stea dan Roger Down. Mereka mendefinisikan satu pengertian:
"Proses yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi relatif dan tanda-tanda tentang lingkungan
geografis kita" (Holahan, 1982).
Peta mental merupakan proses aktif yang dilakukan oleh pengamat, oleh karena itu penghayatan pengamat terhadap lingkungan perkotaan terjadi secara spontan dan langsung. Spontanitas tersebut terjadi karena pengamat selalu menjajaki (eksplorasi) lingkungannya dan dalam penjajakan itu pengamat melibatkan setiap
obyek yang ada di lingkungannya dan setiap obyek menonjolkan sifat-sifatnya yang khas untuk pengamat bersangkutan.
Holahan (1982), menyebutkan bahwa peta mental sebagai komponen dasar dalam manusia beradaptasi dengan lingkungan kotanya. Disamping itu peta mental dipandang sebagai persyaratan baik untuk kelangsungan hidup manusia maupun untuk perilaku spasial setiap harinya, dinayatakan pula bahwa peta mental adalah representasi individu yang tertata dari beberapa bagian lingkungan geografisnya.
Daya cipta akibat proses penghayatan, pengamatan dan pengenalan (kognisi) lingkungan kota terbentuk atas unsur-unsur yang diperoleh dari pengalaman langsung, apakah seseorang telah mendengar mengenai suatu tempat, dan dari informasi yang dia bayangkan (Neiser dalam Lang, 1987). Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pengamat tidak hanya seorang yang tinggal dan berada di dalam kota tertentu, dapat juga seorang pengamat yang tidak tinggal di kota tersebut tetapi mengetahui cukup banyak tentang kota tersebut apakah dari pengalaman langsung atau mendengar berdasarkan informasi tertentu sehingga ia mencoba untuk membayangkan. Informasi yang diperoleh melalui pengalaman langsung disebut dengan informasi pratama, menyajikan pengetahuan lingkungan perkotaan secara teraga kepada pengamat.
Sedangkan informasi yang diperoleh melalui komunikasi disebut sebagai informasi dwitia, meyajikan pengetahuan lingkungan perkotaan secara simbolik kepada pengamat, yang isinya merupakan pelaporan atau penilaian pengalaman orang lain tentang suatu tempat atau suatu ruang (Sudrajat, 1984).
Milgram, Evans, Lee, Michelson, Orleans dan Appleyard (dalam Holahan, 1982) mencoba untuk mengadakan penelitian pemahaman kota dengan menekankan kepada perbedaan kemampuan individual pengamat. Hasilnya adalah terdapat korelasi yang sangat erat antara sistem aktivitas individual dengan daya kognisi yang dimiliki individual tentang lingkungan fisiknya. Kemampuan individu pengamat dalam menghayati, memahami dan mengenali kota selalu berbeda-beda. Faktor-faktor yang membedakan antara lain:
1). Gaya hidup
2). Keakraban dengan kondisi lingkungan
3). Kekraban sosial
4). Kelas sosial
5). Perbedaan seksual
Masalah yang umum dalam pemetaan kognitif adalah "memberi nilai" detail dari gambaran tentang areal (konteks) yang dipersoalkan (sebuah lingkungan perkotaan). Kerancuan ini seringkali membuat realibilitas
rendah didalam "pemberian nilai" tersebut. Kerancuan lain adalah bahwa beberapa pengamat tidak menggambar "peta-peta"-nya dengan cukup baik untuk menginterpretasikan apa yang dimaksud. Bechtel (1987) memberi petunjuk bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini adalah melatih para peneliti yang menyimpulkan data dalam hal kejelasan dan konsistensi terhadap apa yang disimpulkan. Sedangkan Pocock (1978) memberi petunjuk bahwa akurasi hasil pemetaan kognitif seyogyanya tidak mendasarkan kepada pembuatan sketsa peta saja namun pengamat diberikan stimulus terlebih dahulu agar daya cipta tentang suatu lingkungan fisik tertentu dapat diingat, dihayati dan dikenali dengan lebih baik.
Menurut Bechtel (1987), responden/pengamat yang terlibat dalam penelitian pemahaman lingkungan (kota) disebut dengan isitilah "research participants", digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Mahasiswa yang berasal dari universitas (university samples), terdiri dari :
1). Mahasiswa bagian arsitektur, desain dan perencanaan;
2). Mahasiswa diluar bagian tersebut diatas
b. Kelompok ahli lingkungan (environmental professionals)
c. Warga yang bertempat tinggal (community samples)
4. Hubungan citra kota dengan identitas dan karakter kota
Menurut Pocock (1978), citra adalah merupakan hasil dari adaptasi kognitif terhadap kondisi yang potensial mengenai stimulus pada bagian kota yang telah dikenal dan dapat dipahami melalui suatu proses berupa reduksi dan simplifikasi. Lynch (dalam Pocock, 1978), berpendapat bahwa citra merupakan suatu senyawa dari atribut-atirbut dan pengertian fisik, tetapi secara sengaja memilih untuk berkonsentrasi pada fungsi bentuk, dengan mengembangkan hipotesis bahwa pengatahuan manusia mengenai kota merupakan fungsi dari imageabilitasnya. Citra kota ditentukan oleh pola dan struktur lingkungan fisik yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor: sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, adat isitiadat serta politik yang pada akhirnya akan berpengaruh pula dalam penampilan (performance) fisiknya.
Menurut Budihardjo (1991), terdapat 6 tolok ukur yang sepantasnya digunakan dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan citra kota , yaitu :
1). Nilai kesejarahan; baik dalam arti sejarah perjuangan nasional (Gedung Proklamasi, Tugu Pahlawan) maupun sejarah perkembangan kota (Kota Lama di Semarang, Kawasan Malioboro di Yogyakarta)
2). Nilai arsitektur lokal/tradisional; (terdapat keraton, rumah pangeran)
3). Nilai arkeologis; (candi-candi, benteng)
4). Nilai religiositas; (masjid besar, tempat ibadah lain)
5). Nilai kekhasan dan keunikan setempat; baik dalam kegiatan sosial ekonomi maupun sosial budaya
6). Nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimiliki.
Kualitas fisik yang diberikan oleh suatu kota dapat menimbulkan suatu image yang cukup kuat dari seorang pengamat. Kualitas ini disebut dengan imageability (imagibilitas) atau kemampuan mendatangkan kesan. Imagibilitas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan legibility (legibilitas), atau kemudahan untuk dapat dipamahi/dikenali dan dapat diorganisir menjadi satu pola yang koheren.
Citra terhadap suatu kota berkaitan erat dengan tiga komponen, yaitu: identitas dari beberapa obyek/elemen dalam suatu kota yang berkarakter dan khas sebagai jatidiri yang dapat membedakan dengan kota lainnya; struktur, yaitu mencakup pola hubungan antara obyek/elemen dengan obyek/elemen lain dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada; makna merupakan pemahaman arti oleh pengamat terhadap dua komponen (identitas dan struktur kota) melalui dimensi: simbolik , fungsional, emosional, historik , budaya, politik
(Sudrajat,1984).
".......... kota yang begitu mudah untuk dibayangkan ketinggian daya cipta yang ada didalamnya serta kehidupan sekitarnya dan kompleks gedung-gedungnya atau interior gedung-gedungnya adalah salah satu hal yang dianggap sebagai sistem komponen yang terstruktur secara baik yang saling berkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya" (Lynch dalam Lang, 1987).
Mengacu telaah teori Lynch, suatu bentuk kota merupakan produk dari konsep keteraturan berupa geometri dan organik , sedang falsafah yang mendasari adalah orientasi, dan orientasi dapat terbentuk melalui waktu dan jarak. Kota akan lebih tepat bila dipandang sebagai suatu loka (loci, place, tempat). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kota tersebut menyediakan ruang (space) untuk kegiatan, untuk orientasi, disamping mempunyai karakter (character) sebagai jiwa tempat, untuk identifikasi (Schulz, 1980). Karakter yang spesifik dapat membentuk suatu identitas, yang merupakan suatu pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah perkotaan, yang secara umum disebut a sense of place.
Identitas kota menurut Kevin Lynch :
".... tidak dalam arti keserupaan suatu obyek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan obyek lain serta pengenalannya sebagai entitas tersendiri" (Lynch, 1960)
" .... identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas
sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri (Lynch, 1972).
Inti dari penelitian Lynch berkaitan dengan pengidentifikasian berbagai elemen struktur fisik sejumlah kota yang menjadikan kota-kota tersebut menjadi dapat digambarkan dan dibayangkan citranya. Lynch (1960) menyimpulkan bahwa ada lima kategori elemen yang dipergunakan orang untuk menstrukturkan
gambaran kognisi dari sejumlah tempat.
Elemen-elemen dasar tersebut adalah:
a. Tanda-tanda yang Mencolok (Landmark)
Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena mereka membantu orangorang untuk mengarahkan diri dan mengenal suatu daerah dalam kota. Sebuah landmark yang baik adalah elemen yang berbeda tetapi harmonis dalam latar belakangnya. Termasuk dalam kategori landmark adalah: gedung, patung, tugu, jembatan, jalan layang, pohon, penunjuk jalan, sungai dan lampu-lampu hias.
Menurut Portoeous (1977) (dalam Lang, 1987), landmark adalah merupakan rujukan (referensi) yang merupakan tanda-tanda atau petunjuk eksternal bagi para pengamat dan itu dibuat secara tunggal karena mempunyai maksud agar mudah dibedakan secara visual dengan yang lainnya.
b. Jalur-jalur Jalan (path)
Adalah jalur-jalur sirkulasi yang digunakan oleh orang untuk melakukan pergerakkan. Sebuah kota mempunyai jaringan jalur utama (major routes) dan sebuah lingkungan (minor routes). Sebuah bangunan mempunyai beberapa jalur utama yang digunakan untuk mencapainya dan bergerak darinya. Sebuah jaringan jalan raya kota adalah jaringan pathway untuk seluruh kota.
c. Titik Temu antar Jalur (nodes)
Sebuah nodes adalah pusat aktivitas yang sesungguhnya adalah sebuah tipe dari landmark tetapi berbeda karena fungsinya yang aktif. Nodes dapat juga berupa perempatan atau pertigaan.
d. Batas-batas Wilayah (edges)
Edges membedakan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya, misalnya daerah pemukiman dibatasi oleh sungai, daerah pertokoan dibatasi oleh gerbang-gerbang tol menuju tempat parkir, atau pagar lapangan golf yang luas membatasi wilayah perindustrian terhadap wilayah pemukiman.
e. Distrik (district)
Distrik adalah wilayah-wilayah homogen yang berbeda dari wilayah-wilayah lain, misalnya pusat perdagangan ditandai oleh bangunan-bangunan bertingkat dengan lalu-lintas yang padat dan daerah-daerah kantor-kantor kedutaan besar negara asing ditandai oleh rumahrumah besar dengan halaman-halaman luas serta jalan-jalan lebar bertipe boulevard (dengan taman atau pohon-pohon di jalur tengah) serta kawasan khusus atau bersejarah yang terdiri dari sekumpulan bangunan-bangunan kuno/bersejarah.
Suatu kontribusi khusus dari teori Gestalt mengenai pemahaman lingkungan merupakan aplikasi dari "prinsip-prinsip organisasi" yang melandasinya yang memungkinkan individu pengamat untuk melihat suatu kumpulan stimuli tersendiri sebagai satu pola yang holistik (Pocock, 1978).
Gambaran tentang teori organisasi visual Gestalt dapat diperinci sebagai berikut (Pocock, 1978):
Dari keseluruhan penelitian tentang peta mental dan orientasi manusia dalam tatanan lingkungan membuktikan bahwa teori organisasi visual Gestalt adalah merupakan pemerkira (prediktor) terhadap gambaran rinci (feature) dari sebuah kota yang mempunyai pengaruh penting bagi orang-orang yang akan mediami atau menyelidiki tentang elemen-elemen dan sistem yang terdapat dalam kota tertentu (
5. Aspek Pengukuran dalam Pemahaman Citra (image) Kota
Kemampuan pengamat dalam memahami citra (image) suatu kota selalu berbeda atau bersifat subyektif, karena daya kognisi sangat tergantung kepada pengalaman, akibatnya muncul masalah tentang cara pengukuran, dalam hal ini terdapat beberapa pendekatan, yaitu:
Secara mendasar terdapat dua macam tipe pertanda (sign process) apabila berkaitan dengan stimuli, yaitu (Pocock, 1978):
a. Sinyal, merupakan stimulus langsung dari lingkungan; pengamat pada dasarnya berada di lapangan. Namun demikian terdapat kendala dan masalah yang berat yang berasosiasi dengan pendekatan ini, baik teknis maupun finansial;
b. Simbol, merupakan pengganti untuk sinyal secara langsung, sebagai contoh simbol dapat berupa foto, peta, sketsa atau label verbal yang berkaitan dengan suatu area atau tempat. Simbol digunakan untuk membangkitkan respon pengamat.
Craig (dalam Pocock, 1987), merumuskan adanya tipologi pada metode-metode presentasi stimulus yang disajikan kepada pengamat dalam pemahaman citra kota, yaitu:
KESIMPULAN
Hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan perkotaan merupakan proses dua arah yang konstruktif, didukung baik oleh cirisifat yang dapat memberikan image (citra) lingkungan, maupun oleh ciri-sifat kegiatan dan kejiwaan manusia.
Salah satu upaya untuk mencoba memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui peta mental manusia sebagai pengamat. Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, jarak dan susunan dalam lingkungan kota.
Citra terhadap suatu kota berkaitan erat dengan tiga komponen, yaitu: identitas dari beberapa obyek/elemen dalam suatu kota yang berkarakter dan khas sebagai jatidiri yang dapat membedakan dengan kota lainnya; struktur, yaitu mencakup pola hubungan antara obyek/ elemen dengan obyek/elemen lain dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada; makna merupakan pemahaman arti oleh pengamat terhadap dua komponen (identitas dan struktur kota) melalui dimensi: simbolik , fungsional, emosional, historik , budaya, politik .
Penelitian tentang citra kota menjadi sangat penting untuk mengetahui apakah produk rancangan suatu kota berhasil/tidak berhasil dipahami oleh masyarakat luas sebagai pengamat.
bagus ardian, 6 September 2007, jam 17:28:48
dari : http://www.p2kp.org/forumdetil.asp?mid=29829&catid=23&
Staf Pengajar Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur – Universitas Diponegoro
ABSTRAK
Salah satu upaya untuk mencoba memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui peta mental manusia sebagai pengamat. Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, jarak dan susunan dalam lingkungan fisik (kota). Peta mental mempunyai konsep dasar yang disebut dengan imagibilitas atau kemampuan untuk mendatangkan kesan. Imagibilitas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan legibilitas, atau kemudahan untuk dapat dipamahi / dibayangkan dan dapat diorganisir menjadi satu pola yang koheren. Agar suatu kota dapat dengan mudah dipahami citranya, maka kota tersebut harus mempunyai karakter, karena karakter kota diperlukan untuk memberikan pemahanan tentang identitas kota, sesuai dengan potensi yang ada. Dalam hal ini, karakter merupakan jiwa, perwujudan watak, baik secara fisik maupun non-fisik, yang memberikan citra dan identitas kota.
Kata kunci: citra, peta mental, imagibilitas, legibilitas.
ABSTRACT
One of expediences in trying to understand the image of urban environment can be conducted by the way of
knowing the cognition map of human as the observer. Cognition maps discuss about the way the observer get, organize, store, and recall the information about location, distance and the structure of physical environment (urban). Cognition maps had a basic concept called imageability or the ability of inviting impression. Imageability has a very close correlation with legibility, or the ease of having understanding/image and can be organized into one coherent pattern. In order one city can easily understood with the image, so the city must have character because the character of a city is needed for giving understanding about the identify of city, in accordance with the exisiting potensial. In this case, the character is the soul, the realization of character, both physically and non-physically, giving some image and identity of city.
Keywords: image, cognition map, imageability, legibility
Kevin Lynch dalam bukunya yang terkenal dengan judul “The Image of The City” (1960) telah melakukan penelitian tentang citra kota di kota-kota : Boston, New Jersey dan Los Angeles. Pada perkembangan selanjutnya penelitian Kevin Lynch dilanjutkan oleh beberapa peneliti lain di kota-kota Amerika Utara dan Eropa (Pocock, 1987) dengan tetap menggunakan metode yang sama seperti yang digunakan oleh Kevin Lynch.
Tulisan ini disusun oleh penulis berdasarkan beberapa studi kepustakaan yang berkaitan dalam rangka memberikan wawasan kepada calon peneliti di Indonesia yang berminat untuk mengembangkan penelitian pemahaman citra kota. Dengan demikian munculnya pertanyaan yang timbul dalam benak seorang calon peneliti bagaimana suatu kota yang telah direncanakan dan dirancang oleh ahlinya dapat dipahami oleh masyarakat luas akan dapat dilakukan dengan mudah.
PENDEKATAN TEORI
1. Upaya pemahaman kota
Lingkungan fisik kota terbentuk oleh berbagai unsur tiga dimensi: sifat rancangan; lokasi dan kaitan posisi elemen satu dengan elemen lainnya, merupakan faktor penentu kejelasan ciri-sifat lingkungan tersebut (Sudrajat, 1984). Meskipun unsur pembentuk lingkungan perkotaan di berbagai tempat pada dasarnya relatif sama, tetapi susunannya selalu berlainan, sehingga bentuk, struktur dan pola lingkungan yang dapat dipahami dan dicerna manusia pada tiap lingkungan kota senantiasa berbeda-beda.
Dibandingkan dengan bentuk lingkungan binaan yang lain, ciri khas kota sebagai karya arsitektur tiga dimensi terletak pada konstruksi keruangannya yang mempunyai skala luas dan rumit. Kota, selain sebagai obyek persepsi dan tempat berperilaku warga yang beraneka ragam, juga merupakan sasaran tindakan para perencana dan perancang kota yang secara langsung ataupun tidak langsung mengubah struktur kota berdasarkan alasannya masing-masing, sehingga meskipun lingkungan perkotaan secara garis besar nampak selalu mantap dan utuh, dalam kenyataannya senantiasa mengalami perubahan didalamnya.
Hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan perkotaan merupakan proses dua arah yang konstruktif, didukung baik oleh cirisifat yang dapat memberikan image (citra) lingkungan, maupun oleh ciri-sifat kegiatan dan kejiwaan manusia. Dalam hubungan timbal balik tersebut, lingkungan perkotaan tampil dengan ciri-sifat sebagai berikut (Ittleson dalam Sudrajat, 1984):
- Lingkungan perkotaan selalu terbuka,
- Lingkungan perkotaan selalu beraneka ragam,
- Lingkungan perkotaan selalu memberikan informasi secara langsung maupun tidak langsung,.
- Lingkungan perkotaan selalu menyajikan informasi berlebih,
- Lingkungan perkotaan selalu menyertakan tindakan,
- Lingkungan perkotaan dapat membangkitkan tindakan,
- Lingkungan perkotaan selalu memiliki atmosfir,
- Lingkungan perkotaan selalu memiliki kualitas sistemik ,
Upaya pemahaman lingkungan perkotaan dapat dijelaskan melalui model kerja yang terdiri dari lima komponen (Sudrajat, 1984), yaitu: (1) komponen lingkungan perkotaan; (2) ciri-sifat manusia sebagai pengamat; (3) matra hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan; (4) citra lingkungan; dan (5) tujuan utama pemahaman lingkungan perkotaan.
Upaya pemahaman citra kota bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan dan kesejahteraan hidup manusia mempunyai empat tujuan utama, yaitu:
- Rekognisi, untuk dapat mengetahui dimana manusia berada, apa yang tengah terjadi, dan untuk mengenali obyek umum yang ada disekitarnya.
- Prediksi, untuk dapat meramalkan apa yang mungkin atau akan terjadi.
- Evaluasi, untuk dapat menilai kualitas, kondisi, situasi, dan prospek keluaran.
- Tindakan, untuk dapat menyusun alternatif tindakan dan memutuskan apa yang akan atau harus dilakukan.
2. Hubungan antara Manusia dengan Lingkungannya
Holahan (1982), menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungan yang menurutnya bersifat saling menyesuaikan dan dengan kemampuan kognisi yang dipunyainya, manusia selalu berikhtiar untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya. Rapoport (1982) berpendapat bahwa para perancang cenderung bereaksi terhadap lingkungan dengan istilah persepsual, sedangkan publik menikmati dan para pemakai bereaksi terhadap lingkungan dengan istilah assosiasional.
Aspek persepsual adalah isyarat yang mulamula diperhatikan dan diperbedakan. Aspek assosiasional mengambil persamaan diantara isyarat-isyarat dan memakainya dengan hubungan yang bermanfaat atau penggabungan bermanfaat. Proses dasar yang menyangkut interaksi manusia dengan lingkungannya adalah informasi tentang lingkungan yang diperoleh melalui proses persepsi (Lang, 1987).
a. Persepsi
Persepsi dapat diartikan sebagai pengamatan yang secara langsung dikaitkan dengan suatu makna tertentu. Proses yang melandasi persepsi berawal dari adanya informasi dari lingkungan. Rapoport (1982) berpendapat bahwa persepsi menggambarkan pengalaman langsung indera manusia terhadap lingkungan bagi mereka yang ada didalamnya dalam waktu tertentu. Tidak semua rangsang (informasi) diterima dan disadari oleh individu, melainkan diseleksi berdasarkan orientasi nilai yang dimilikinya dan juga pengalaman pribadi. Keseluruhan informasi yang telah menyatu menjadi sesuatu yang utuh, kemudian diberi tafsiran (interpretasi makna), antara lain atas dasar orientasi nilai dan pengalaman pribadi individu. keluaran keseluruhan proses ini adalah pengangkapan/ penghayatan. Antara seleksi, pembualatan dan tafsiran menjadi hubungan ketergantungan (interdependen), namun ciri khas individualnya diperoleh dari orientasi nilai dan pengalaman pribadi.
b. Kognisi
Menurut Rapoport (1982), kognisi adalah cara yang digunakan manusia untuk menjelaskan bagaimana manusia memahami, menyusun dan mempelajari lingkungan dan menggunakan petapeta mental untuk menegosiasikannya. Berdasarkan definisi tersebut, yang ada pada individu manusia sebenarnya satu sistem kognisi. Sistem tersebut merupakan hasil proses kognitif yang terdiri dari kegiatan-kegiatan :
- Persepsi;
- Imajinasi;
- Berfikir (thinking);
- Bernalar (reasoning); dan
- Pengambilan keputusan.
Peta mental mempunyai pengertian yaitu satu upaya pemahaman suatu tempat khususnya terhadap kota. Istilah diatas berpegang kepada definisi dan teori yang dirintis oleh David Stea dan Roger Down. Mereka mendefinisikan satu pengertian:
"Proses yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi relatif dan tanda-tanda tentang lingkungan
geografis kita" (Holahan, 1982).
Peta mental merupakan proses aktif yang dilakukan oleh pengamat, oleh karena itu penghayatan pengamat terhadap lingkungan perkotaan terjadi secara spontan dan langsung. Spontanitas tersebut terjadi karena pengamat selalu menjajaki (eksplorasi) lingkungannya dan dalam penjajakan itu pengamat melibatkan setiap
obyek yang ada di lingkungannya dan setiap obyek menonjolkan sifat-sifatnya yang khas untuk pengamat bersangkutan.
Holahan (1982), menyebutkan bahwa peta mental sebagai komponen dasar dalam manusia beradaptasi dengan lingkungan kotanya. Disamping itu peta mental dipandang sebagai persyaratan baik untuk kelangsungan hidup manusia maupun untuk perilaku spasial setiap harinya, dinayatakan pula bahwa peta mental adalah representasi individu yang tertata dari beberapa bagian lingkungan geografisnya.
Daya cipta akibat proses penghayatan, pengamatan dan pengenalan (kognisi) lingkungan kota terbentuk atas unsur-unsur yang diperoleh dari pengalaman langsung, apakah seseorang telah mendengar mengenai suatu tempat, dan dari informasi yang dia bayangkan (Neiser dalam Lang, 1987). Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pengamat tidak hanya seorang yang tinggal dan berada di dalam kota tertentu, dapat juga seorang pengamat yang tidak tinggal di kota tersebut tetapi mengetahui cukup banyak tentang kota tersebut apakah dari pengalaman langsung atau mendengar berdasarkan informasi tertentu sehingga ia mencoba untuk membayangkan. Informasi yang diperoleh melalui pengalaman langsung disebut dengan informasi pratama, menyajikan pengetahuan lingkungan perkotaan secara teraga kepada pengamat.
Sedangkan informasi yang diperoleh melalui komunikasi disebut sebagai informasi dwitia, meyajikan pengetahuan lingkungan perkotaan secara simbolik kepada pengamat, yang isinya merupakan pelaporan atau penilaian pengalaman orang lain tentang suatu tempat atau suatu ruang (Sudrajat, 1984).
Milgram, Evans, Lee, Michelson, Orleans dan Appleyard (dalam Holahan, 1982) mencoba untuk mengadakan penelitian pemahaman kota dengan menekankan kepada perbedaan kemampuan individual pengamat. Hasilnya adalah terdapat korelasi yang sangat erat antara sistem aktivitas individual dengan daya kognisi yang dimiliki individual tentang lingkungan fisiknya. Kemampuan individu pengamat dalam menghayati, memahami dan mengenali kota selalu berbeda-beda. Faktor-faktor yang membedakan antara lain:
1). Gaya hidup
2). Keakraban dengan kondisi lingkungan
3). Kekraban sosial
4). Kelas sosial
5). Perbedaan seksual
Masalah yang umum dalam pemetaan kognitif adalah "memberi nilai" detail dari gambaran tentang areal (konteks) yang dipersoalkan (sebuah lingkungan perkotaan). Kerancuan ini seringkali membuat realibilitas
rendah didalam "pemberian nilai" tersebut. Kerancuan lain adalah bahwa beberapa pengamat tidak menggambar "peta-peta"-nya dengan cukup baik untuk menginterpretasikan apa yang dimaksud. Bechtel (1987) memberi petunjuk bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini adalah melatih para peneliti yang menyimpulkan data dalam hal kejelasan dan konsistensi terhadap apa yang disimpulkan. Sedangkan Pocock (1978) memberi petunjuk bahwa akurasi hasil pemetaan kognitif seyogyanya tidak mendasarkan kepada pembuatan sketsa peta saja namun pengamat diberikan stimulus terlebih dahulu agar daya cipta tentang suatu lingkungan fisik tertentu dapat diingat, dihayati dan dikenali dengan lebih baik.
Menurut Bechtel (1987), responden/pengamat yang terlibat dalam penelitian pemahaman lingkungan (kota) disebut dengan isitilah "research participants", digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Mahasiswa yang berasal dari universitas (university samples), terdiri dari :
1). Mahasiswa bagian arsitektur, desain dan perencanaan;
2). Mahasiswa diluar bagian tersebut diatas
b. Kelompok ahli lingkungan (environmental professionals)
c. Warga yang bertempat tinggal (community samples)
4. Hubungan citra kota dengan identitas dan karakter kota
Menurut Pocock (1978), citra adalah merupakan hasil dari adaptasi kognitif terhadap kondisi yang potensial mengenai stimulus pada bagian kota yang telah dikenal dan dapat dipahami melalui suatu proses berupa reduksi dan simplifikasi. Lynch (dalam Pocock, 1978), berpendapat bahwa citra merupakan suatu senyawa dari atribut-atirbut dan pengertian fisik, tetapi secara sengaja memilih untuk berkonsentrasi pada fungsi bentuk, dengan mengembangkan hipotesis bahwa pengatahuan manusia mengenai kota merupakan fungsi dari imageabilitasnya. Citra kota ditentukan oleh pola dan struktur lingkungan fisik yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor: sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, adat isitiadat serta politik yang pada akhirnya akan berpengaruh pula dalam penampilan (performance) fisiknya.
Menurut Budihardjo (1991), terdapat 6 tolok ukur yang sepantasnya digunakan dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan citra kota , yaitu :
1). Nilai kesejarahan; baik dalam arti sejarah perjuangan nasional (Gedung Proklamasi, Tugu Pahlawan) maupun sejarah perkembangan kota (Kota Lama di Semarang, Kawasan Malioboro di Yogyakarta)
2). Nilai arsitektur lokal/tradisional; (terdapat keraton, rumah pangeran)
3). Nilai arkeologis; (candi-candi, benteng)
4). Nilai religiositas; (masjid besar, tempat ibadah lain)
5). Nilai kekhasan dan keunikan setempat; baik dalam kegiatan sosial ekonomi maupun sosial budaya
6). Nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimiliki.
Kualitas fisik yang diberikan oleh suatu kota dapat menimbulkan suatu image yang cukup kuat dari seorang pengamat. Kualitas ini disebut dengan imageability (imagibilitas) atau kemampuan mendatangkan kesan. Imagibilitas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan legibility (legibilitas), atau kemudahan untuk dapat dipamahi/dikenali dan dapat diorganisir menjadi satu pola yang koheren.
Citra terhadap suatu kota berkaitan erat dengan tiga komponen, yaitu: identitas dari beberapa obyek/elemen dalam suatu kota yang berkarakter dan khas sebagai jatidiri yang dapat membedakan dengan kota lainnya; struktur, yaitu mencakup pola hubungan antara obyek/elemen dengan obyek/elemen lain dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada; makna merupakan pemahaman arti oleh pengamat terhadap dua komponen (identitas dan struktur kota) melalui dimensi: simbolik , fungsional, emosional, historik , budaya, politik
(Sudrajat,1984).
".......... kota yang begitu mudah untuk dibayangkan ketinggian daya cipta yang ada didalamnya serta kehidupan sekitarnya dan kompleks gedung-gedungnya atau interior gedung-gedungnya adalah salah satu hal yang dianggap sebagai sistem komponen yang terstruktur secara baik yang saling berkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya" (Lynch dalam Lang, 1987).
Mengacu telaah teori Lynch, suatu bentuk kota merupakan produk dari konsep keteraturan berupa geometri dan organik , sedang falsafah yang mendasari adalah orientasi, dan orientasi dapat terbentuk melalui waktu dan jarak. Kota akan lebih tepat bila dipandang sebagai suatu loka (loci, place, tempat). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kota tersebut menyediakan ruang (space) untuk kegiatan, untuk orientasi, disamping mempunyai karakter (character) sebagai jiwa tempat, untuk identifikasi (Schulz, 1980). Karakter yang spesifik dapat membentuk suatu identitas, yang merupakan suatu pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah perkotaan, yang secara umum disebut a sense of place.
Identitas kota menurut Kevin Lynch :
".... tidak dalam arti keserupaan suatu obyek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan obyek lain serta pengenalannya sebagai entitas tersendiri" (Lynch, 1960)
" .... identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas
sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri (Lynch, 1972).
Inti dari penelitian Lynch berkaitan dengan pengidentifikasian berbagai elemen struktur fisik sejumlah kota yang menjadikan kota-kota tersebut menjadi dapat digambarkan dan dibayangkan citranya. Lynch (1960) menyimpulkan bahwa ada lima kategori elemen yang dipergunakan orang untuk menstrukturkan
gambaran kognisi dari sejumlah tempat.
Elemen-elemen dasar tersebut adalah:
a. Tanda-tanda yang Mencolok (Landmark)
Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena mereka membantu orangorang untuk mengarahkan diri dan mengenal suatu daerah dalam kota. Sebuah landmark yang baik adalah elemen yang berbeda tetapi harmonis dalam latar belakangnya. Termasuk dalam kategori landmark adalah: gedung, patung, tugu, jembatan, jalan layang, pohon, penunjuk jalan, sungai dan lampu-lampu hias.
Menurut Portoeous (1977) (dalam Lang, 1987), landmark adalah merupakan rujukan (referensi) yang merupakan tanda-tanda atau petunjuk eksternal bagi para pengamat dan itu dibuat secara tunggal karena mempunyai maksud agar mudah dibedakan secara visual dengan yang lainnya.
b. Jalur-jalur Jalan (path)
Adalah jalur-jalur sirkulasi yang digunakan oleh orang untuk melakukan pergerakkan. Sebuah kota mempunyai jaringan jalur utama (major routes) dan sebuah lingkungan (minor routes). Sebuah bangunan mempunyai beberapa jalur utama yang digunakan untuk mencapainya dan bergerak darinya. Sebuah jaringan jalan raya kota adalah jaringan pathway untuk seluruh kota.
c. Titik Temu antar Jalur (nodes)
Sebuah nodes adalah pusat aktivitas yang sesungguhnya adalah sebuah tipe dari landmark tetapi berbeda karena fungsinya yang aktif. Nodes dapat juga berupa perempatan atau pertigaan.
d. Batas-batas Wilayah (edges)
Edges membedakan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya, misalnya daerah pemukiman dibatasi oleh sungai, daerah pertokoan dibatasi oleh gerbang-gerbang tol menuju tempat parkir, atau pagar lapangan golf yang luas membatasi wilayah perindustrian terhadap wilayah pemukiman.
e. Distrik (district)
Distrik adalah wilayah-wilayah homogen yang berbeda dari wilayah-wilayah lain, misalnya pusat perdagangan ditandai oleh bangunan-bangunan bertingkat dengan lalu-lintas yang padat dan daerah-daerah kantor-kantor kedutaan besar negara asing ditandai oleh rumahrumah besar dengan halaman-halaman luas serta jalan-jalan lebar bertipe boulevard (dengan taman atau pohon-pohon di jalur tengah) serta kawasan khusus atau bersejarah yang terdiri dari sekumpulan bangunan-bangunan kuno/bersejarah.
Suatu kontribusi khusus dari teori Gestalt mengenai pemahaman lingkungan merupakan aplikasi dari "prinsip-prinsip organisasi" yang melandasinya yang memungkinkan individu pengamat untuk melihat suatu kumpulan stimuli tersendiri sebagai satu pola yang holistik (Pocock, 1978).
Gambaran tentang teori organisasi visual Gestalt dapat diperinci sebagai berikut (Pocock, 1978):
- Proksimitas, memungkinkan individu pengamat untuk melihat elemen-elemen yang secara spasial dekat satu dengan yang lainnya apabila dikaitkan dalam satu pola;
- Similaritas, memungkinkan individu pengamat untuk melihat elemen-elemen yang serupa (mirip) dalam bentuk atau warnanya apabila dikaitkan dalam satu pola;
- Kontinuitas, memungkinkan individu pengamat untuk melihat beberap elemen yang dikelompokkan bersama-sama dalam satu barisan;
- Closure, memungkinkan individu pengamat untuk melihat elemen-elemen yang membentuk gap-gap kecil tertutup pada suatu kawasan dan melihatnya sebagai satu kesatuan.
Dari keseluruhan penelitian tentang peta mental dan orientasi manusia dalam tatanan lingkungan membuktikan bahwa teori organisasi visual Gestalt adalah merupakan pemerkira (prediktor) terhadap gambaran rinci (feature) dari sebuah kota yang mempunyai pengaruh penting bagi orang-orang yang akan mediami atau menyelidiki tentang elemen-elemen dan sistem yang terdapat dalam kota tertentu (
5. Aspek Pengukuran dalam Pemahaman Citra (image) Kota
Kemampuan pengamat dalam memahami citra (image) suatu kota selalu berbeda atau bersifat subyektif, karena daya kognisi sangat tergantung kepada pengalaman, akibatnya muncul masalah tentang cara pengukuran, dalam hal ini terdapat beberapa pendekatan, yaitu:
- Pendekatan fenomenologis, yaitu mengadakan telaah deskriptip dari pengalaman pengamat dalam menghayati suatu lingkungan kota;
- Pendekatan Fungsional, yaitu pengukuran laboratoris terhadap pengamat yang diberikan stimulus. Pendekatan ini bersifat kuantitatif;
- Gabungan pendekatan fenomenologis dan fungsional disebut dengan mekanisme persepsi kognisi.
Secara mendasar terdapat dua macam tipe pertanda (sign process) apabila berkaitan dengan stimuli, yaitu (Pocock, 1978):
a. Sinyal, merupakan stimulus langsung dari lingkungan; pengamat pada dasarnya berada di lapangan. Namun demikian terdapat kendala dan masalah yang berat yang berasosiasi dengan pendekatan ini, baik teknis maupun finansial;
b. Simbol, merupakan pengganti untuk sinyal secara langsung, sebagai contoh simbol dapat berupa foto, peta, sketsa atau label verbal yang berkaitan dengan suatu area atau tempat. Simbol digunakan untuk membangkitkan respon pengamat.
Craig (dalam Pocock, 1987), merumuskan adanya tipologi pada metode-metode presentasi stimulus yang disajikan kepada pengamat dalam pemahaman citra kota, yaitu:
- Realitas, pengamat dibawa ke lokasi untuk memberikan respon dan pengenalan terhadap obyek-obyek tertentu di kawasan tersebut.
- Ikonis, dengan cara memperlihatkan suatu seleksi dari sejumlah foto-foto area, pengamat diminta untuk mengenali obyek-obyek yang terdapat dalam foto tersebut;
- Grafis, dengan cara membuat sketsa-sketsa peta terhadap area kota dengan sedikit mengendalikan interpretasi pengamat mengenai jarak dan bentuk;
- Verbal, suatu cara penyingkapan dalam area aktual, menggunakan sejumlah pertanyaan yang diajukan terhadap pengamat yang menyangkut pengalaman/pengetahuan tentang area-area tertentu;
KESIMPULAN
Hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan perkotaan merupakan proses dua arah yang konstruktif, didukung baik oleh cirisifat yang dapat memberikan image (citra) lingkungan, maupun oleh ciri-sifat kegiatan dan kejiwaan manusia.
Salah satu upaya untuk mencoba memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui peta mental manusia sebagai pengamat. Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, jarak dan susunan dalam lingkungan kota.
Citra terhadap suatu kota berkaitan erat dengan tiga komponen, yaitu: identitas dari beberapa obyek/elemen dalam suatu kota yang berkarakter dan khas sebagai jatidiri yang dapat membedakan dengan kota lainnya; struktur, yaitu mencakup pola hubungan antara obyek/ elemen dengan obyek/elemen lain dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada; makna merupakan pemahaman arti oleh pengamat terhadap dua komponen (identitas dan struktur kota) melalui dimensi: simbolik , fungsional, emosional, historik , budaya, politik .
Penelitian tentang citra kota menjadi sangat penting untuk mengetahui apakah produk rancangan suatu kota berhasil/tidak berhasil dipahami oleh masyarakat luas sebagai pengamat.
bagus ardian, 6 September 2007, jam 17:28:48
dari : http://www.p2kp.org/forumdetil.asp?mid=29829&catid=23&
Tidak ada komentar:
Posting Komentar