Custom Search

Jumat, 28 Desember 2007

Sistem Pemerintahan Komunitas di NAD

Struktur yang mengatur tata cara komunitas menyelenggarakan kehidupannya, baik ke dalam maupun ke luar, adalah sistem pemerintahan komunitas (community governance system). Sistem pemerintahan komunitas mengatur dan mengurus berbagai aspek kehidupan warganya, sejak lahir sampai wafat, fisik dan spiritual. Hal demikian terjadi karena, sejatinya, komunitas di masa lalu merupakan suatu kesatuan yang lengkap, suatu kuasi-negara, yang relatif independen. Pada saat ini, tingkat kekokohan (robustness) sistem pemerintahan komunitas dapat berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Namun bagaimanapun situasinya pada komunitas dampingan, pelaksana program perlu memahami dan menempatkan sistem pemerintahan komunitas yang berlaku sebagai mitra kerja dalam upaya memenangkan penerimaan dan dukungan warga komunitas secara luas. Hanya dengan demikian, tujuan jangka panjang program dapat dipenuhi.

Sistem pemerintahan komunitas di NAD, berbeda. Ilustrasi berikut hanya menggambarkan sistem yang berlaku di NAD. Namun demikian, unsur-unsur pokok sistem pemerintahan komunitas tersebut, atau kerangka generiknya, umumnya berlaku.


  1. Satuan terdepan sistem pemerintahan komunitas di NAD adalah gampong. Gampong adalah satu kesatuan kemasyarakatan yang dapat mengatur dan mengurus-diri sendiri. Di atas gampong terdapat mukim; mukim adalah gabungan beberapa gampong, yang dipimpim oleh imeum mukim. Namun sejak pemberlakuan struktur pemerintahan desa menurut UU 5/1979, pemerintahan mukim tidak diakui keberadaannya, dan karena itu secara perlahan melemah[1].
  2. Sistem pemerintahan komunitas memiliki 4 unsur pokok sebagai suatu sistem administrasi publik yang baik dan lengkap, yaitu adanya: bidang-kelola yang jelas, aturan-main yang mendasari, landasan nilai dan norma aturan-main dimaksud, dan wujud organisasional. Berkaitan dengan bidang kelola, pemerintahan komunitas menangani berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi (mata pencaharian), sistem kepercayaan, dan pelembagaan reproduksi sosial. Untuk menjamin berjalannya sistem pemerintahan tersebut, pemerintahan komunitas juga mengatur peradilan adat, atau mekanisme penyelesaian konflik di luar-pengadilan.
  3. Aturan-main (rules, rules-in-use) yang mendasari sistem pemerintahan komunitas adalah apa yang dikenal sebagai adat-istiadat (poteu meureuhom)[2]. Secara bertahap sejak pemberlakuan UU 22/1999, yang diamandemen dengan UU 32/2004, adat-istiadat mulai diganti dengan peraturan desa (qanun). Adat-kebiasaan dan qanun secara umum mengatur apa yang harus, boleh, dan terlarang dilakukan oleh warga komunitas, lengkap dengan sanksi bagi pelanggarnya. Landasan nilai dan norma yang mendasari aturan-main tersebut adalah ajaran Islam[3]. Artinya, adat-istiadat atau qanun yang menyimpang dari syariat Islam dengan sendirinya harus dihapuskan.
  4. Wujud organisasional sistem pemerintahan komunitas dapat dikenali di tingkat gampong. Gampong dipimpin oleh seorang keucik, yang, dalam menjalankan tugasnya, memiliki sejumlah aparatur pelaksana, seperti: a). keujreun blang: pengatur bidang tanaman pangan dan irigasi; b). keujreun meuih: pengatur bidang pertambangan; c). panglima laot: koordinator kegiatan mata pencaharian di laut; d). peutua seunebok: pejabat pengatur sistem perladangan dan pembukaan ladang baru; e). pawang glee: pengatur pemanfaatan areal hutan dan kelestarian fungsi hutan; f). raja kuala: pengatur tambatan perahu dan pukat di muara; dan g). haria peukan: pengelola pasar/pengutip retribusi pasar. Setiap kategori pengatur diadakan sesuai keperluannya. Gampong pinggir hutan mungkin memiliki pawang glee; sementara, gampong pinggir pantai memiliki panglima laot. Namun secara umum, di tiap gampong dikenal sejumlah pengatur yang menjalankan tugas-tugas khusus tertentu.
  5. Di luar aparatur pemerintahan komunitas, tiap gampong juga memiliki penasehat. Penasehat bukanlah perangkat pelaksana[4] dalam sistem pemerintahan gampong. Termasuk kategori penasehat adalah imeum meunasah, tengku dayah dan tuha peut.
    · imeum meunasah: pemimpin kegiatan di lingkungan meunasah/mesjid, atau kehidupan keagamaan secara umum, di gampong tersebut. Pentingnya meunasah dalam kehidupan gampong tidak hanya karena fungsinya sebagai tempat ibadah, namun juga karena merupakan pusat komunikasi dan informasi, balai musyawarah, tempat penyelesaian perkara, dan pusat kegiatan komunitas lainnya.
    · tengku dayah: pemimpin dayah (pesantren), yaitu lembaga pendidikan non-formal, berbasis agama, dan umumnya berasrama;
    · tuha peut atau tuha lapan: petua gampong, atau orang-orang yang dipandang patut dituakan karena pemahamannya yang mendalam tentang adat-istiadat dan agama. Tuha peut bertugas memberikan nasehat, diminta atau tidak, dalam bidang adat, agama, dan kehidupan kampung umumnya, dan dapat menjadi majelis dalam sistem peradilan adat;
  6. Di luar fungsi di atas, terdapat pula fungsi yang menjembatani keluarga (private domain) dan masyarakat (public domain). Di berbagai komunitas, fungsi ini diperlukan untuk menjamin bahwa perilaku individu/keluarga sejalan dengan harapan komunitas; dan sebaliknya, kepentingan individu/keluarga terwakili di ranah publik[5]. Di NAD, fungsi ini dijalankan oleh panglima kawon, yaitu kepala/pemimpin suatu keluarga besar. Seorang panglima kawon adalah wali bagi anggota keluarga besarnya.
  7. Demikianlah, maka secara generik pelaksana program perlu mengidentifikasi 4 unsur utama sistem pemerintahan komunitas, yaitu: a). bidang kelola; b). aturan-main yang berlaku; c). nilai dan norma yang mendasari; dan d). Wujud organisasional. Bagian dari wujud organisasional ini adalah kepemimpinan (dalam organisasi).
  8. Sebagai pranata yang relatif otonom di masa lalu, sistem pemerintahan komunitas tidak memerlukan dukungan-eksternal yang kuat untuk menjamin eksistensinya. Namun tidaklah demikian di masa sekarang. Sejalan dengan melemahnya otonomi dimaksud[6], maka dukungan dimaksud semakin diperlukan.

[1] A. Rani Usman. 2003. Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi, dan Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bab III, hal 43 – dst. Meskipun demikian, ditegaskan pula bahwa kewibawaan imeum mukim di beberapa tempat tertentu masih diakui, dan lazimnya diminta pandangannya oleh aparatur pemerintahan tingkat kabupaten ke bawah.
[2] Di berbagai komunitas di Sumatera Barat dan Jambi, adat-kebiasaan ini memiliki 3 kategori: adat yang sebenar-benarnya adat, adat yang diadatkan, dan adat yang diperadatkan. Ketiganya memiliki tingkat keberlakuan berbeda. Hanya adat yang sebenar-benarnya adat yang lazimnya menjadi landasan hukum adat. Implikasinya, sanksi bagi penyimpangan yang terjadi juga berbeda.
[3] A. Rani Usman, Op.cit. hal: 107-108
[4] Tidak dikenal konsep pemisahan kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dalam sistem pemerintahan komunitas, sekarang maupun di masa lalu. Seorang keucik di masa lalu, selain menjadi kepala pemerintahan, juga adalah pemimpin peradilan adat dan terlibat dalam musyawarah untuk menentukan arah pengaturan gampong ke depan.
[5] Lihat: Erwin Fahmi. 2002. “Pengaturan dan Pengurusan Sendiri Di Desa Pulau Tengah, Jambi dan Kontribusinya bagi Administrasi Publik”. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
[6] Selo Soemardjan. 2000. “Adakah Itu, Otonomi Desa?”. Dalam Kompas, 9 Oktober. UU 32/2004 pasal-pasal: 203 (tentang kewenangan memilih kepala desa), 206 (tentang urusan yang menjadi kewenangan desa), 209 (tentang BPD), dan 212 (keuangan desa), dengan jelas menyebutkan, sampai tingkat tertentu, kewenangan komunitas untuk mengatur dan mengurus-dirinya sendiri diakui.

Tidak ada komentar:

Model Pengembangan Rantai Pasok Rumput Laut oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guna Pemenuhan Kebutuhan Rumput Laut Dan Produk Turunannya

Denny Noviansyah Abstrak Indonesia sebagai negara Maritim mempunyai Panjang pantai seluas 95.181 km 2 . Pesisir pantai mempunyai berbagai je...