Custom Search

Jumat, 28 Desember 2007

Sistem Pemerintahan Komunitas di NAD

Struktur yang mengatur tata cara komunitas menyelenggarakan kehidupannya, baik ke dalam maupun ke luar, adalah sistem pemerintahan komunitas (community governance system). Sistem pemerintahan komunitas mengatur dan mengurus berbagai aspek kehidupan warganya, sejak lahir sampai wafat, fisik dan spiritual. Hal demikian terjadi karena, sejatinya, komunitas di masa lalu merupakan suatu kesatuan yang lengkap, suatu kuasi-negara, yang relatif independen. Pada saat ini, tingkat kekokohan (robustness) sistem pemerintahan komunitas dapat berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Namun bagaimanapun situasinya pada komunitas dampingan, pelaksana program perlu memahami dan menempatkan sistem pemerintahan komunitas yang berlaku sebagai mitra kerja dalam upaya memenangkan penerimaan dan dukungan warga komunitas secara luas. Hanya dengan demikian, tujuan jangka panjang program dapat dipenuhi.

Sistem pemerintahan komunitas di NAD, berbeda. Ilustrasi berikut hanya menggambarkan sistem yang berlaku di NAD. Namun demikian, unsur-unsur pokok sistem pemerintahan komunitas tersebut, atau kerangka generiknya, umumnya berlaku.


  1. Satuan terdepan sistem pemerintahan komunitas di NAD adalah gampong. Gampong adalah satu kesatuan kemasyarakatan yang dapat mengatur dan mengurus-diri sendiri. Di atas gampong terdapat mukim; mukim adalah gabungan beberapa gampong, yang dipimpim oleh imeum mukim. Namun sejak pemberlakuan struktur pemerintahan desa menurut UU 5/1979, pemerintahan mukim tidak diakui keberadaannya, dan karena itu secara perlahan melemah[1].
  2. Sistem pemerintahan komunitas memiliki 4 unsur pokok sebagai suatu sistem administrasi publik yang baik dan lengkap, yaitu adanya: bidang-kelola yang jelas, aturan-main yang mendasari, landasan nilai dan norma aturan-main dimaksud, dan wujud organisasional. Berkaitan dengan bidang kelola, pemerintahan komunitas menangani berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi (mata pencaharian), sistem kepercayaan, dan pelembagaan reproduksi sosial. Untuk menjamin berjalannya sistem pemerintahan tersebut, pemerintahan komunitas juga mengatur peradilan adat, atau mekanisme penyelesaian konflik di luar-pengadilan.
  3. Aturan-main (rules, rules-in-use) yang mendasari sistem pemerintahan komunitas adalah apa yang dikenal sebagai adat-istiadat (poteu meureuhom)[2]. Secara bertahap sejak pemberlakuan UU 22/1999, yang diamandemen dengan UU 32/2004, adat-istiadat mulai diganti dengan peraturan desa (qanun). Adat-kebiasaan dan qanun secara umum mengatur apa yang harus, boleh, dan terlarang dilakukan oleh warga komunitas, lengkap dengan sanksi bagi pelanggarnya. Landasan nilai dan norma yang mendasari aturan-main tersebut adalah ajaran Islam[3]. Artinya, adat-istiadat atau qanun yang menyimpang dari syariat Islam dengan sendirinya harus dihapuskan.
  4. Wujud organisasional sistem pemerintahan komunitas dapat dikenali di tingkat gampong. Gampong dipimpin oleh seorang keucik, yang, dalam menjalankan tugasnya, memiliki sejumlah aparatur pelaksana, seperti: a). keujreun blang: pengatur bidang tanaman pangan dan irigasi; b). keujreun meuih: pengatur bidang pertambangan; c). panglima laot: koordinator kegiatan mata pencaharian di laut; d). peutua seunebok: pejabat pengatur sistem perladangan dan pembukaan ladang baru; e). pawang glee: pengatur pemanfaatan areal hutan dan kelestarian fungsi hutan; f). raja kuala: pengatur tambatan perahu dan pukat di muara; dan g). haria peukan: pengelola pasar/pengutip retribusi pasar. Setiap kategori pengatur diadakan sesuai keperluannya. Gampong pinggir hutan mungkin memiliki pawang glee; sementara, gampong pinggir pantai memiliki panglima laot. Namun secara umum, di tiap gampong dikenal sejumlah pengatur yang menjalankan tugas-tugas khusus tertentu.
  5. Di luar aparatur pemerintahan komunitas, tiap gampong juga memiliki penasehat. Penasehat bukanlah perangkat pelaksana[4] dalam sistem pemerintahan gampong. Termasuk kategori penasehat adalah imeum meunasah, tengku dayah dan tuha peut.
    · imeum meunasah: pemimpin kegiatan di lingkungan meunasah/mesjid, atau kehidupan keagamaan secara umum, di gampong tersebut. Pentingnya meunasah dalam kehidupan gampong tidak hanya karena fungsinya sebagai tempat ibadah, namun juga karena merupakan pusat komunikasi dan informasi, balai musyawarah, tempat penyelesaian perkara, dan pusat kegiatan komunitas lainnya.
    · tengku dayah: pemimpin dayah (pesantren), yaitu lembaga pendidikan non-formal, berbasis agama, dan umumnya berasrama;
    · tuha peut atau tuha lapan: petua gampong, atau orang-orang yang dipandang patut dituakan karena pemahamannya yang mendalam tentang adat-istiadat dan agama. Tuha peut bertugas memberikan nasehat, diminta atau tidak, dalam bidang adat, agama, dan kehidupan kampung umumnya, dan dapat menjadi majelis dalam sistem peradilan adat;
  6. Di luar fungsi di atas, terdapat pula fungsi yang menjembatani keluarga (private domain) dan masyarakat (public domain). Di berbagai komunitas, fungsi ini diperlukan untuk menjamin bahwa perilaku individu/keluarga sejalan dengan harapan komunitas; dan sebaliknya, kepentingan individu/keluarga terwakili di ranah publik[5]. Di NAD, fungsi ini dijalankan oleh panglima kawon, yaitu kepala/pemimpin suatu keluarga besar. Seorang panglima kawon adalah wali bagi anggota keluarga besarnya.
  7. Demikianlah, maka secara generik pelaksana program perlu mengidentifikasi 4 unsur utama sistem pemerintahan komunitas, yaitu: a). bidang kelola; b). aturan-main yang berlaku; c). nilai dan norma yang mendasari; dan d). Wujud organisasional. Bagian dari wujud organisasional ini adalah kepemimpinan (dalam organisasi).
  8. Sebagai pranata yang relatif otonom di masa lalu, sistem pemerintahan komunitas tidak memerlukan dukungan-eksternal yang kuat untuk menjamin eksistensinya. Namun tidaklah demikian di masa sekarang. Sejalan dengan melemahnya otonomi dimaksud[6], maka dukungan dimaksud semakin diperlukan.

[1] A. Rani Usman. 2003. Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi, dan Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bab III, hal 43 – dst. Meskipun demikian, ditegaskan pula bahwa kewibawaan imeum mukim di beberapa tempat tertentu masih diakui, dan lazimnya diminta pandangannya oleh aparatur pemerintahan tingkat kabupaten ke bawah.
[2] Di berbagai komunitas di Sumatera Barat dan Jambi, adat-kebiasaan ini memiliki 3 kategori: adat yang sebenar-benarnya adat, adat yang diadatkan, dan adat yang diperadatkan. Ketiganya memiliki tingkat keberlakuan berbeda. Hanya adat yang sebenar-benarnya adat yang lazimnya menjadi landasan hukum adat. Implikasinya, sanksi bagi penyimpangan yang terjadi juga berbeda.
[3] A. Rani Usman, Op.cit. hal: 107-108
[4] Tidak dikenal konsep pemisahan kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dalam sistem pemerintahan komunitas, sekarang maupun di masa lalu. Seorang keucik di masa lalu, selain menjadi kepala pemerintahan, juga adalah pemimpin peradilan adat dan terlibat dalam musyawarah untuk menentukan arah pengaturan gampong ke depan.
[5] Lihat: Erwin Fahmi. 2002. “Pengaturan dan Pengurusan Sendiri Di Desa Pulau Tengah, Jambi dan Kontribusinya bagi Administrasi Publik”. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
[6] Selo Soemardjan. 2000. “Adakah Itu, Otonomi Desa?”. Dalam Kompas, 9 Oktober. UU 32/2004 pasal-pasal: 203 (tentang kewenangan memilih kepala desa), 206 (tentang urusan yang menjadi kewenangan desa), 209 (tentang BPD), dan 212 (keuangan desa), dengan jelas menyebutkan, sampai tingkat tertentu, kewenangan komunitas untuk mengatur dan mengurus-dirinya sendiri diakui.

Pengembangan Wilayah (Deui)

Pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya perkembangan wilayah secara harmonis melalui pendekatan yang bersifat komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya (Misra R.P, ”Regional Development”,1982). Pada dasarnya pendekatan pengembangan wilayah ini digunakan untuk lebih mengefisiensikan pembangunan dan konsepsi ini tersus berkembang disesuaikan dengan tuntutan waktu, teknologi dan kondisi wilayahnya.

Banyak cara untuk mengembangkan wilayah mulai dari penggunaan konsep (alat) pembangunan sektoral, ”bassic need approach”, ”development poles” (poles de croissance) yang digagas oleh F. Perroux (1955), ”growth center” yang digagas oleh Friedman (1969) sampai kepada pengaturan ruang secara terpadu melalui proses pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) secara sinergi dengan pengembangan sumberdaya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Yang terkahir inilah yang disebut dengan penataan ruang dan sesuai Undang Undang (UU) No.24/1992 tentang penataan ruang.


Di Indonesia, dengan keluarnya undang undang ini maka pengembangan wilayah dilaksanakan melalui alat penataan ruang. Ruang adalah wadah berbagai kegiatan sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan, dan mencakup ruang daratan, lautan, dan udara beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta mahluk hidup lainnya. Sedangkan Penataan Ruang (UU No. 24/92, pasal 1) mencakup proses :
  1. Penyusunan rencana tata ruang,
  2. pemanfaatan ruang yaitu kegiatan pelaksanaan pembangunan melalui serangkaian penyusunan program pembangunan, dan
  3. pengendalian pemanfaatan ruang yaitu kegiatan pengawasan dan penertiban pelaksanaan pembangunan (termasuk didalamnya pemberian ijin lokasi dan investasi) agar sesuai dengan rencana tata ruang.
Rencana Tata Ruang sendiri adalah produk pengaturan Struktur dan Pola pemanfatan ruang. Struktur mengatur sistem pusat-pusat kegiatan beserta jaringan prasarana secara hirarkhis, dan pola pemanfaatan ruang adalah mengatur wilayah dengan satuan-satuan (deliniasi ruang) yang fungsional sesuai dengan tujuan rencana dan sesuai dengan kondisi daya dukung dan daya tampung sumber dayanya.

Kamis, 27 Desember 2007

Millenium Development Goals (MDGs)

World leaders put poverty eradication and sustainable development at the heart of the global agenda with the Millennium Development Goals (MDGs), endorsed by 189 countries at the United Nations Millennium Summit two years ago. The MDGs provide time-bound targets for combating poverty, hunger, disease, illiteracy, discrimination against women and environmental degradation, and have emerged as a key organizing framework for global and national sustainable development efforts over the next decade and beyond. Reversing environmental decline and making environmental management work for the poor is critical to achieving the MDGs, particularly the overarching goal of eradicating extreme poverty and hunger. But this requires more effective approaches to and strengthened capacities for integrating poverty eradication and environmental management at all levels of action. The relationship between the environment and MDGs is shown in Figure as below.


The Millennium Development Goals are an ambitious agenda for reducing poverty and improving live that world leaders agreed at Millennium Summit in September 2000. For an each goal one or more targets have been set most 2015, using 1990 benchmark:


  • Eradicate extreme poverty and hunger. Target for 2015. Halve the proportion of people living on lkess than a dollar a day and those who suffer from hunger.
  • Achieve universal primary education. Target for 2015. Ensure that all boys and girls complete primary school.
  • Promote gender equality and empower women. Target for 2005 and 2015. Eliminate gender disparities in primary and secondary education preferably 2005 and all level by 2015.
  • Reduce child mortality. Target for 2015. Reduce by two thirds the mortality rate among children under five.
  • Improve maternal health. Target for 2015. Reduce by three-quarters the ratio of women dying in childbirth.
  • Combat HIV, malaria and diseases. Target for 2015. Halt and begin to reserve the spread of HIV/AIDS and incidence of Malaria and other major disease.
  • Ensure environmental sustainability. Targets : (1) Integrate the principles of sustainable development into country policies and programs and reverse the loss of environmental resources; (2) By 2015, reduce by half the proportion of people without access to safe drinking water; (3) By 2020 achieve significant improvement in the lives of at least 100 million slum dwellers.
  • Develop a global partnership for development. Targets: (1) Develop further an open trading and financial system that includes a commitment to good governance, development and poverty reduction nationally and internationally; (2) Address the least developed countries special needs, and the special needs of landlocked and small island developing States; (3) Deal comprehensively with developing countries debt problems X Develop decent and productive work for youth

More integrated and inclusive approaches are needed that engage all stakeholders and address the key drivers behind environmental degradation. This poses major challenges to countries and their development partners. In describing their own poverty, the poor often highlight the crucial role of the environment and environmental change to their well-being and ability to control their lives:

  • Livelihoods - the poor often depend directly on a diversity of natural resources and ecosystem services for their livelihoods, and therefore are the most severely affected when the environment is degraded or their access to natural resources is limited or denied.
  • Health - the poor suffer most from unclean water, indoor air pollution and exposure to toxic chemicals, and environmental risk factors are major source of health problems in developing countries.
  • Vulnerability - the poor are particularly vulnerable to environmental hazards (such as floods, prolonged drought and attacks by crop pests) and environmental-related conflict and have the least means to cope when they occur.

The multidimensional and dynamic nature of these poverty-environment linkages poses two fundamental challenges for environmental management the need to manage and sustain the long-term capacity of the environment to provide the goods and services on which human development depends, and the need to ensure secure and equitable access by the poor to environmental assets and the benefits that they can provide.


A recent review of policy options to more effectively link poverty reduction and environ mental management highlights four priority areas for sustained policy and institutional change:
  • Improving governance to create a more enabling policy and institutional environment for addressing the poverty-environment concerns of the poor, with particular attention to the needs of women and children.
  • Enhancing the assets and capabilities of the poor to expand sustainable livelihood and to reduce the poor vulnerability to environmental hazards and natural resource-related conflict.
  • Improving the quality of growth to promote sound environmental management and protect the environmental assets and live hood opportunities of the poor.
  • Reforming international and industrial-country policies to address the poverty and environment concerns of developing countries and the poor and to ensure greater access to global public goods.
These policy and institutional changes are mostly outside the control of environmental institutions. More cross sectional approaches are needed that integrate poverty-environment issues into mainstream development planning and resource allocation processes-including national poverty reduction and sustainable development strategies, macroeconomic policies and sector plans and budgets. This is necessary in order to forge a more coherent and effective response to poverty-environment issues, and to ensure that adequate domestic and external resources are being allocated and effectively targeted.Meeting this challenge will require more effective partnerships between the state, civil society, the private sector, development agencies and people living in poverty.

Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya yang besar, maka perlu adanya Peraturan-peraturan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal.
Oleh Blau dan Meyer dalam Indarwanto (2001;16) dikatakan; secara praktis sebenarnya birokrasi atau pemerintahan telah diterapkan masyarakat Mesir Kuno dan Romawi Kuno berabad-abad lamanya, pada saat mereka sibuk mengatur jaringan irigasi, membagi secara adil dan membuat dam-dam(bak penampung air) telah diterapkan prinsip-prinsip pemerintahan/birokrasi. Demikian pula dikatakan oleh Indarwanto (2001;16); masyarakat Jawa Kuno yang konon dahulu Jawa Dwipa atau Pulau Jawa dijuluki sebagai Lumbung Padi di Kepulauan Nusantara ini, sebenarnya telah terbiasa dengan aturan-aturan; Jaga Tirto, Ulu-ulu atau Kuwowo bertalian dengan jaringan irigas, merupakan bentuk dari penerapan bentuk pemerintahan.
Untuk meningkatkan kinerja dari pemerintahan daerah, termasuk pemerintahan desa, pemerintah pusat beberapa kali telah mengeluarkan Undang-Undang yang berkaitan dengan hal tersebut, diantaranya Undang-Undang No, 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-Undang ini disebutkan disebutkan:
  1. Desa berdasarkan undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.
  2. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Kepala Desa bertanggung jawab pada badan perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati.
  3. Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu Kepala Desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.
  4. Sebagai perwujudan demokrasi, di Desa di bentuk Badan Perwakilan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
  5. Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa. Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintah Desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa.
  6. Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan desa, bantuan pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman Desa.
  7. Berdasarkan hak asal-usul Desa yang besangkutan, Kepala Desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari para warganya.
  8. Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang bercirikan perkotaan dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintah Kelurahan yang berada di dalam daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota.

Sedangkan pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2004 tentang Revisi Undang-Undang No. 22/1999 disebutkan:
a. Kelurahan dibentuk di wilayah Kecamatan dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah
b. Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota
c. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lurah mempunyai tugas:

  1. Pelaksanaan kegiatan pemerintah kelurahan
  2. Pemberdayaan masyarakat
  3. Pelayanan masyarakat
  4. Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum
  5. Pemeliharaan prasarana dan fasilitas umum

d. Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari PNS yang menguasai pengetahuan teknik pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
e. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui camat
f. Lurah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dibantu oleh perangkat Kelurahan
g. Untuk kelancaran tugas Lurah sebagaimana dimaksud ayat (3) dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan oleh Peraturan daerah.

Indonesia : Poverty, Disadvantage and decentralization

Poverty and Disadvantage
A recent review of the urban sector in Indonesia carried out by the Asian Development Bank (2001) indicates that at least 15.7 million urban dwellers were poor in 1999 out of a total urban population of 81.4 million (using the new SUSENAS 1998 definition of the poverty line). It has been estimated, however, that a much larger percentage of people - in fact, nearly half of the entire population is vulnerable to poverty and struggles to avoid falling back into poverty. It is also clear thai poverty will become an increasingly urban issue - the urban population has been growing al an annual rate of about 4.4% during 1990-99, and, the proportion of Indonesia's population expected to be leaving in urban settlements will increase from about 40% in 1999 to over 60% by 2025. The experience of the 1997 crisis has shown that macroeconomic shocks have a worse impact on urban areas than on rural areas where traditional support networks tend to cushion economic blows more effectively. Studies show that in 1998, GDP in urban areas declined by 18% as compared to a national GDP decline of 14%, with an increase in poverty levels in 1998 that was significantly higher in urban areas than rural areas.

The numbers and percentage of the population under the poverty line is shown in Table 1

Poverty is a multi-dimensional problem. Lacks of income or consumption are not the only indicators of poverty. Inequalities at various levels are the cause as well as consequences of poverty. The nature of poverty in Indonesia is no different; there are two central points:

  • The definition of poverty should include all dimensions of human well-being -adequate food, shelter and comfort; reduced vulnerability to external shocks; access to education, health and infrastructure; and the opportunity to participate in social and political life on an equal basis with the rest of the population.
  • A poverty reduction agenda necessarily means a governance improvement agenda. This would include: free flow of information to the poor regarding their entitlements and obligations; voice of the poor in decisions regarding allocation of public resources, program design and implementation; and accountability of decision makers for every stage of public program and project planning, budgeting, implementation and monitoring.

Decentralization
The new decentralization Laws 32 and 34 / 2004 came into effect in January 2005. The new laws envision a different definition of roles, capacities and accountabilities for local governments (kota / kabupaten) from the past, placing them squarely in charge of providing services to their citizens. Stakeholder participation and community empowerment has also been made a mandatory feature in the decentralization legislation. The new laws are ambitious in their scope and spirit. However, until now, most of the discussion and analysis has focused on a shifting of power and responsibilities from the central government to local governments, and not to local governance - i.e. the accountability and responsiveness of local governments to communities. The primary goals of decentralization - to provide bolter public services to communities - cannot be achieved without improvements in local governance.
At the center, the future role of central government in poverty reduction is under scrutiny. Similarly, the intergovernmental financial framework is under development. This affects both grant-funded activities at the local level as well as local governments' ability to fund poverty programs through loans. At the local level, there is a general scarcity of development funds across local governments as routine expenditures and salaries of civil servants swallow the major share of their revenue.

Building the capacities of local governments to deliver on these new agendas is an enormous challenge, since local governments do not have the resources to deliver all services at normal standards to their populations. Difficult tradeoffs will be required. The limited services that can be delivered by local governments at the community level will meet the demands of the population only if officials understand community priorities and are accountable to them. This, in turn, will require communities to: be organized: be able to aggregate and prioritize their needs and demands; and be able to articulate these needs and priorities to governments.

Currently, the capacity for carrying these tasks is weak, both at the local government level as well as at the community level.

Selasa, 25 Desember 2007

Executive Summary Pilot UPP - NAD

Substansi dari proses pemberdayaan masyarakat adalah terjadinya perubahan perilaku pelaku sendiri. Dengan kata lain tumbuhnya kesadaran kritis dan kesiapan masyarakat bahwa persoalan akibat bencana di wilayahnya hanya dapat diatasi oleh mereka sendiri, dengan cara; (1) membangun kembali nilai-nilai luhur universal sebagai landasan dari semua keputusan dan tindakan, (2) menemukan dan menggalang pribadi-pribadi yang komit dan memiliki integritas tinggi dalam proses rehabilitasi permukiman yg sehari-harinya merupakan pelaku nilai, (3) bertumpu pada keswadayaan masyarakat dan prinsip pembangunan organik yang berkelanjutan.

Peran dari pendampingan atau pihak luar hanyalah sebagai pelengkap dari adanya niat, prakarsa, untuk membangun kepedulian, dan komitmen masyarakat itu sendiri. Karena itu, berhasil tidaknya P2KP di suatu lokasi sasaran untuk sebagian besar justru akan sangat tergantung pada kepedulian, komitmen, motivasi dan ikhtiar masyarakat setempat. Dengan demikian, P2KP diharapkan dapat dijadikan sarana bagi proses pembelajaran masyarakat untuk terus melakukan perubahan-perubahan sendiri ke arah yang lebih baik dan efektif, baik itu menyangkut pola pikir, pola perilaku, pola tindak dan lain-lain. Inilah yang menjadi hakekat membangun masyarakat dari dalam (development from within).

Keberhasilan pelaksanaan program P2KP sangat dipengaruhi oleh kordinasi dan kerjasama semua pelaku mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Hal ini hanya dapat terjadi apabila semua stakeholders memiliki sudut pandang dan niat yang sama mengenai visi dan misi rehabilitasi permukiman pasca bencana. Oleh karena itu intensitas kegiatan sosialisasi dan kordinasi ini perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari semua pelaku P2KP.

Proses rekrutmen merupakan salah satu penentu untuk mendapatkan fasilitator yang handal, dalam arti mampu bekerja secara kelompok (Team work), juga mempunyai kemampuan dan kemauan serta kepedulian terhadap pengembangan masyarakat miskin. Strategi rekrutmen yang digunakan KMW PILOT NAD cukup efektif, hal ini dapat diketahui dari kinerja tim fasilitator rata-rata baik, bahkan beberapa fasilitator menunjukkan kinerja dan kemampuan yang sangat baik.

Sosialisasi pada dasarnya merupakan proses penyebaran dan pertukaran ide atau gagasan baru dari agen pembaharu kepada masyarakat dalam suatu sistem sosial, sehingga masyarakat yang berada di dalam sistem sosial tersebut mengalami transformasi sosial. Salah satu unsur penting yang menjadi faktor penyebab transformasi sosial, yakni adanya kegiatan sosialisasi. Paradigma sosialisasi memberikan kesadaran bahwa tidak ada strategi yang seragam untuk keanekaragaman dalam hal substansi/isi pesan, sarana, personel, tujuan dan falsafah yang dianut dalam sosialisasi.

Strategi sosialisasi didesain atas dasar paradigma sosialisasi yang memandang bahwa alternatif strategi sosialisasi terpilih merupakan muara dari dari interaksi antara landasan filosofi sosialisasi, definisi dan tujuan sosialisasi, substansi muatan atau isi materi sosialisasi, sarana dan personel serta kelompok sasaran.

Titik sentral pelatihan bagi senior fasilitator, fasilitator, relawan masyarakat, tim pemetaan swadaya, KERAP, Tim Penyusun PJP Rehabilitasi Permukiman, UPK, staf dinas/instansi kota/kabupaten adalah transformasi nilai yang diasumsikan mendukung suasana yang kondusif bagi pendekatan pembangunan bertumpu pada kelompok/community based development dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka menggapai visi, misi dan tujuan P2KP.

Pendekatan pelatihan didisain dengan menggunakan disain pelatihan yang berbasis nilai dengan focus sasaran tidak semata menggapai domain kognitif dan psiko motorik, tetapi lebih penting dari itu adalah perubahan domain afektif. Kendatipun demikian, materi dasar-dasar filosofis, teoritis, metodologis dan teknis tetap menjadi substansi pelatihan.

Pelatihan diselenggarakan dengan pendekatan andragogi dan partisipatif, mengingat peserta pelatihan adalah orang dewasa dengan latar pengalaman yang variatif. Bentuk pelatihan berupa penyampaian informasi, aspirasi dan responsi, simulasi dan praktek lapangan.

Program penyiapan masyarakat dalam rangka rehabilitasi permukiman di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, berorientasi pada proses penyiapan pengorganisasian masyarakat untuk mengorganisir dan mensinergikan warga-warga setempat yang relawan dan peduli, representatif, serta dipercaya masyarakat. Wakil-wakil warga inilah yang diorganisasikan sebagai motivator pembangunan untuk memulihkan komunitas permukiman di wilayahnya sendiri.

Wakil-wakil warga ini merupakan faktor penting dalam pelaksaan program ini, karena program ini akan berhasil dan bermanfaat apabila dikelola secara bersih, adil, jujur, benar, dapat dipercaya, ikhlas, kebersamaan, dan nilai-nilai luhur lainnya. Untuk itu masyarakat warga kelurahan sasaran Program dituntut untuk membangun pemimpin-pemimpin masyarakat sebagai pengelola dan pelaksana-pelaksana Program di tingkat masyarakat. Pemimpin-pemimpin yang dibangun di tingkat masyarakat itu harus memiliki ciri dan karakteristik yang sesuai dengan paradigma utama Program, yakni menitikberatkan pengelolaan Program berbasis pada nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Untuk menjamin keteraturan dalam pelaksanaan pemilihan Wakil warga untuk anggota KERAP perlu disepakati aturan main (Tata tertib) pemilihan KERAP, yang hal tersebut dilakukan oleh panitia yang telah terbentuk dan juga penetapan jadwal pemilihan di tingkat Dusun atau lorong dan tingkat Kelurahan.

Untuk meningkatkan pemahaman tentang mekanisme pemilihan KERAP ini dan menyeragamkan disetiap even, dilakukan kegiatan simulasi pemilihan KERAP oleh tim fasilitator kepada relawan dan panitia pemilihan KERAP. Disamping juga membagikan SOP Pembentukan KERAP dan format-format serta draft rancangan tata tertib pemilihan.

Jadwal-jadwal yang telah disepakati oleh warga selanjutnya dilakukan pemilihan secara langsung, tertulis/tertutup, tanpa kampanye, tanpa pencalonan serta rekayasa dari pihak manapun, dimana sebelum pemilihan dimulai dilakukan rembug untuk menyepakati kriteria orang yang layak dipilih oleh warga. Sebagai referensi, Konsultan telah memberikan semacam petunjuk pertanyaan kritis untuk menyadarkan warga bahwa pada dasarnya yang berhak dipilih oleh masyarakat itu adalah orang-orang yang dianggap paling jujur, dapat dipercaya, adil, tanpa pamrih dan punya kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat.

Basis nilai-nilai kemanusiaan itulah yang pada akhirnya menyadarkan masyarakat untuk bisa memilih siapa orang yang layak duduk sebagai anggota KERAP.

Setelah kriteria disepakati, panitia pemilihan membacakan tata tertib pemilihan dan melaksanakan pemilihan sesuai dengan SOP Pemilihan KERAP. Hal yang menarik dari proses pemilihan seperti ini adalah kemungkinan akan terjadinya rekayasa dan politik uang sangat kecil sekali, karena warga yang punya ambisi secara alamiah akan mundur setelah melihat kriteria yang disepakati warga.

Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan ini memang pada beberapa tempat sangat tinggi (mencapai angka 70 % dari hak pilih), namun dibeberapa tempat lainnya sangatlah kecil karena berbagai faktor seperti :

  • Tercerai berainya masyarakat pada berbagai lokasi sehingga sulit menghubungi dan menginformasikan kegiatan pemilihan KERAP
  • Pada beberapa wilayah, Respon dan partisipasi masyarakat sangat rendah.
  • Banyaknya pihak yang berjanji tapi belum ada bukti menjadikan masyarakat curiga dan terkadang antipati terhadap pertemuan-pertemuan.
  • Trauma terhadap bencana, dan lamanya hidup di tenda-tenda dan barak-barak pengungsian, karena tingkat kepercayaan mereka
  • Batasan waktu yang pendek untuk proses pendampingan sehingga terkadang belum mampu menjangkau lebih banyak warga yang memang selain kondisi tempat tinggal yang jauh juga belum normal.

Walaupun demikian pada dasarnya masyarakat di lokasi sasaran telah melaksanakan proses tersebut yang merupakan proses pembelajaran awal untuk nantinya kedepan dapat lebih disempurnakan.

Proses pemilihan KERAP dilakukan berjenjang dari mulai pemilihan wakil warga tingkat dusun/lorong hingga pemilihan anggota KERAP dari wakil-wakil warga terpilih. Dan atau proses pemilihan secara langsung di tingkat Kelurahan dimana masyarakat memilih untuk menjadi anggota KERAP berdasarkan ranking suara tertinggi sesuai dengan jumlah anggota KERAP yang disepakati. Hal ini dimungkinkan untuk jumlah penduduk dewasa (hak pilih) berkisar 100 orang atau yang masih terdata dalam beberapa lokasi tertentu untuk dijangkau, langsung dengan pemilihan atau secara door to door.

Pemimpin masyarakat adalah warga masyarakat yang dinilai dapat dipercaya dan dipilih langsung oleh masyarakat setempat untuk menjadi pelaksana-pelaksana berbagai kegiatan di wilayahnya. Termasuk kategori pemimpin-pemimpin masyarakat, diantaranya adalah relawan, wakil-wakil warga dari lorong atau dusun, Lokasi pengungsian, Barak-barak, dan pemimpin kegiatan-kegiatan sosial lainnya.

Program penyiapan masyarakat dalam rangka rehabilitasi permukiman akan berhasil dan bermanfaat bagi upaya rehabilitasi permukiman apabila dikelola secara bersih, adil, jujur, benar, dapat dipercaya, ikhlas, kebersamaan, dan nilai-nilai luhur lainnya. Untuk itu masyarakat warga kelurahan sasaran Program dituntut untuk membangun pemimpin-pemimpin masyarakat sebagai pengelola dan pelaksana-pelaksana Program di tingkat masyarakat. Pemimpin-pemimpin yang dibangun di tingkat masyarakat itu harus memiliki ciri dan karakteristik yang sesuai dengan paradigma utama Program, yakni menitik beratkan pengelolaan Program berbasis pada nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Komite Rehabilitasi Permukiman (KERAP) merupakan organisasi masyarakat yang keberadaannya bersifat ad hoc untuk mengkoordinasikan gerakan masyarakat dalam rangka rehabilitasi permukiman selama kurun waktu tertentu.

Keberadaan KERAP merupakan representasi warga yang dipilih secara langsung dan demokratis oleh masyarakat berdasarkan kriteria nilai-nilai kemanusiaan yang universal yakni ikhlas, jujur, adil dan dapat dipercaya, pada gilirannya mampu menumbuhkan rasa kekeluargaan, kebersamaan, solidaritas dan senasib sepenanggungan bagi semua anggota masyarakat.

KERAP dibangun melalui serangkaian proses pelibatan masyarakat secara langsung tanpaadanya pencalonan, kampanye dan tanpa membedakan status pendidikan, kedudukan dan jender berdasarkan kesadaran kritis masyarakat.

Pembangunan komitmen pelibatan aktif dari kelompok sasaran yang juga merupakan bagian dari pelaku dari program tidak saja memerlukan proses penyebaran informasi semata, namun lebih daripada itu diperlukan usaha-usaha penguatan dalam bentuk pelatihan. Pelatihan tidak saja diperlukan oleh fasilitator sebagai pendamping kelompok sasaran, namun juga meliputi semua elemen kelompok sasaran yang termasuk dalam organisasi program yang meliputi Relawan, KERAP, Kelompok Swadaya Masyarakat dan elemen pendukung lainnya serta keseluruhan stakeholder yang ada.

Efektifitas pelatihan, pendekatan dan metode yang digunakan serta ketepatan sasarannya akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan seluruh pelaku yang ada dalam memposisikan serta memerankan dirinya dalam struktur program. Dan pada akhirnya secara proporsional dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberhasilan program ini.

Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, masyarakat harus memperoleh peran dan kewenangan yang strategis dan menentukan. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan program / proyek ini akan berperan sejak adanya pendampingan (pemerintah dan konsultan) yang dijalankan oleh sekelompok relawan, hingga masa pelepasan (pasca dampingan) kelak. Anggota KERAP sebagai kelompok warga masyarakat yang memiliki kepedulian dan komitmen tinggi terhadap nilai-nilai universal kemanusiaan tersebut diyakini dapat diharapkan mampu berfungsi sebagai agen perubahan (agent of change) yang membawa masyarakat pada perubahan perilaku kolektif menuju suatu tatanan hidup bermasyakat yang baik.

Oleh karenanya, Anggota KERAP perlu mengembangkan kapasitasnya agar mampu menjalankan peranan dan menggunakan kewenangannya secara baik dan benar. Peningkatan pengetahuan, keterampilan, pengembangan sikap, dan kemampuan lainnya dilaksanakan melalui kegiatan sosialisasi, pelatihan, termasuk dalam bentuk coaching oleh Konsultan.

Demikian juga dengan pelaksanaan Pemetaan Swadaya (PS) dan Penyusunan Perencanaan Jangka Pendek (PJP) yang akan dilaksanakan oleh masyarakat bersama KERAP, perlu mendapatkan dukungan pendampingan oleh Fasilitator. Sehingga nantinya masyarakat dapat melakukan kajian kebutuhan pembagunan wilayahnya sendiri dengan tetap mengacu pada kebijakan pemerintah Kota Banda Aceh tentang penataan tata ruang dan wilayah.

Tujuan diselenggarakannya Pelatihan KERAP ini adalah agar Anggota KERAP memperoleh penyamaan persepsi dan peningkatan kemampuan agar mampu berperan dan menjalankan fungsinya sebagai “Dewan Amanah” bagi pelaksanaan rehabilitasi permukiman di masing-masing Kelurahan dan mampu melaksanakan Pemetaan Swadaya dan Penyusunan PJP bersama masyarakat.

Kolektifitas kepemimpinan ini penting dalam rangka memperkuat kemampuan individu untuk dapat menghasilkan dan mengambil keputusan yang lebih adil dan bijaksana oleh sebab terjadinya proses saling asuh, saling asih dan saling asah antar anggota kepemimpinan yang pada akhirnya akan menjamin terjadinya demokrasi, tanggung gugat dan transparansi. Disamping itu pola kepemimpinan kolektif ini juga merupakan disinsentif bagi para pemimpin yang justeru ingin mendapatkan kekuatan absolut di satu tangan yang pada gilirannya akan melahirkan anarki dan tirani yang mementingkan diri sendiri sehingga memperkuat ketidakadilan.

Peran utama KERAP adalah mengawal penerapan nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam proses penangulangan kemiskinan pada khususnya dan kehidupan bermasyarakat pada umumnya di kelurahan yang bersangkutan.

Pemilihan anggota KERAP dilakukan tanpa pencalonan dan tiap pemilih harus menulis nama secara rahasia, pribadi-pribadi penduduk kelurahan/desa yang dianggap memenuhi kriteria yang telah disepakati, dikumpulkan dan dihitung.

Penyusunan PJP Rehabilitasi Permukiman dianggap hal yang sangat fundamental karena PJP Rehabilitasi Permukiman di dalamnya berisi tentang prioritas masalah berdasarkan tingkat kepentingan, kemendesakan, serta kedekatannya terhadap pencapaian tujuan Rehabilitasi Permukiman; alternatif-alternatif penanganan masalah berdasarkan potensi yang ada; dan menyusun rencana kegiatan baik yang bersifat strategis sehingga apabila PJP Rehabilitasi Permukiman menyimpang dari rencana maka program Rehabilitasi Permukiman di kelurahan/desa tersebut tidak akan terarah dan terkendali dengan baik.

Jumlah pelaksanaan rembug warga tingkat kelurahan telah dilaksanakan sebanyak 1.460 kali atau rata-rata tiap kelurahan telah melaksanakan rembug sebanyak 30 kali, yang melibatkan peserta/partisipan sebanyak 36.448 orang (24.779 laki-laki dan 11.669 perempuan) atau rata-rata peserta rembug sebanyak 25 orang, dan 15.103 orang diantaranya adalah korban bencana yang tercantum dalam PS-2.

Sampai dengan akhir bulan Maret 2006, 48 KERAP (100%) telah mencairkan dana BLM tahap 1 dan tahap 2 sebanyak 42 KERAP yang seluruhnya bernilai Rp. 13.320.000.000,00. Setelah dikurangi dana untuk BOP KERAP sebesar Rp. 666.000.000,00, dana BLM tersebut disalurkan dicairkan kepada 346 KSM/Panitia sebesar Rp. 8.299.528.950 untuk kegiatan rehabilitasi permukiman dan santunan sosail sesuai dengan BAPPUK.

Rincian jumlah KSM dan rincian dana BLM yang diterima adalah sebagai berikut : KSM /Panitia Prasarana dan sarana dasar (KSM/Panitia Fisik) memanfaatkan dana BLM sebesar Rp. 8.073.213.600,00 (87,3%) untuk rehabilitasi jalan, jembatan, air bersih, drainase, MCK, pengelolaan sampah, meunasah, Balai desa, penerangan tanggul air dan gudang. Disalurkan ke KSM Sosial sebesar Rp. 226.315.350,00 (2,7%) untuk kegiatan beasiswa, santunan dan soaial lainnya.

Agar proses penyaluran dana BLM dari KERAP ke KSM dan juga pelaksanaan kegiatan KSM berjalan dengan baik sesuai dengan rencana kegiatan, maka perlu adanya pendampingan dan pengawasan oleh semua pihak, warga masyarakat dan aparat pemerintah di kelurahan sasaran

Upaya yang dilakukan KMW Pilot NAD untuk dapat menjaga dan mengendalikan terlaksananya kegiatan sesuai dengan visi, misi, prinsip dan nilai P2KP serta sesuai dengan siklus proyek terus dilakukan. Pada tahap persiapan manajemen KMW akan senantiasa melakukan tutorial terhadap Tim Fasilitator, baik itu yang dilaksanakan di kantor Pusat KMW maupun di tingkat Korkot. Disamping kepada Tim Fasilitator diberikan juga acuan pelaksanaan kegiatan yang berupa Standar Operasional Prosedur (SOP).

Adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dijadikan acuan oleh pelaku P2KP, utamanya pada setiap kegiatan Tim Fasilitator, sangat membantu terlaksananya suatu kegiatan dengan baik.

Betapapun tim KMW P2KP Pilot NAD telah berusaha mengimplementasikan segala gagasan ideal tentang P2KP, tetap saja belum merasa puas atas prestasi yang telah dicapai selama satu tahun masa kerja. Untuk itu KMW P2KP Pilot NAD menghimbau pada semua pihak yang peduli terhadap proses rehabilitasi permukiman pasca bencana, untuk berpartisipasi mengisi rongga kosong yang merupakan pekerjaan rumah kita semua.

KMW Pilot NAD telah berusaha untuk selalu dapat menempatkan diri pada sikap realistis, namun tetap optimis. Pencapaian kegiatan yang baik tetap dipandang dengan penuh keyakinan untuk bekal pendorong dalam pelaksanaan kegiatan selanjutnya, dan hasil yang kurang, tetap diterima dengan penuh kesadaran untuk bekal perbaikan kinerja pada masa pengakhiran tugas KMW.

Selama perjalanan pelaksanaan proyek P2KP Pilot NAD senantiasa melakukan evaluasi ataupun pengkajian baik terhadap kendala-kendala yang dihadapi maupun terhadap faktor-faktor pendukung yang ditemukan. Hasil evaluasi itu dijadikan sebagai masukan bagi penyempurnaan strategi dan kerangka kerja implementasi proyek untuk meningkatkan pencapaian kinerja pada tahun kedua.

Waktu pelaksanaan setiap kegiatan P2KP di Pilot NAD mengacu kepada Master Schedule P2KP Pilot NAD. Sedangkan teknis pelaksanakan kegiatan siklus proyek dilaksanakan dengan mengacu pada SOP yang disusun sebagai hasil penjabaran dari pedoman umum P2KP dan pedoman lainnya.

P2KP Pilot NAD sangat mengutamakan proses, dalam arti bahwa setiap tahapan pengembangan masyarakat yang dilaksanakan tidak dilakukan sekadar formalitas belaka. Makna atau jiwa dari setiap kegiatan diusahakan dapat menukik sampai menyentuh nurani masyarakat, sehingga betul-betul dapat menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat.

Ketepatan waktu pencapaian kegiatan antara rencana (time schedule) dengan realisasi merupakan suatu perkiraan semata yang ideal serta kajian yang berupaya untuk menyelaraskan kegiatan dengan SOK dan Master Schedule. Dalam pelaksanaannya banyak faktor yang mempengaruhi ketepatan waktu yang dapat dicapai. Namun yang paling penting P2KP Pilot NAD lebih menekankan dan berupaya memandang bagaimana proses telah dijalankan sesuai dengan SOP yang telah disusun dan disepakati bersama.

Senin, 24 Desember 2007

Pemberdayaan Masyarakat, Solusi Kemiskinan (by Vina Ramitha)

Pemberdayaan Masyarakat, Solusi Kemiskinan
Vina Ramitha

Jumat, 07 Desember 2007

Aktivitas di Perkampungan Industri Kecil, cakung, Jakarta Timur.
(iPhA/Bayu Suta)
INNChannels, Jakarta - Kemiskinan adalah permasalahan yang kompleks bagi setiap negara, terutama negara besar seperti Indonesia. Kebijakan dan penanganannya harus merata dan menyeluruh agar tidak menimbulkan kebingungan dan kekisruhan sebagai ekses negatif penanggulangannya.

“Rakyat miskin bingung karena selama ini begitu banyak petunjuk, namun pelaksanaan program-program tersebut tidak berkelanjutan,” ujar Wahnarno, asisten deputi VII Urusan Pengarus-utamaan Kebijakan dan Anggaran, Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dalam Lokakarya “Rural Volunteers’ Movement: Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan di ASEAN”, Kamis (6/12).

Salah satu solusi penanggulangan kemiskinan yang efektif, menurut Wahnarno, adalah melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Program ini merupakan konsolidasi harmonis semua program penanggulangan kemiskinan, sehingga pelaksanaannya dapat lebih efektif. Secara struktural, PNPM Mandiri berada di bawah Menko Kesra dengan berbagai tim koordinasi pada berbagai level pemerintahan.

“PNPM Mandiri ini merupakan upaya percepatan penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja yang difokuskan untuk kepentingan rakyat kecil. Ini berarti rural oriented,urban oriented, jadi mengatasi kemiskinan dari si miskin,” tutur Wahnarno. bukan

Data BPS menyebutkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2007 sebesar 37,12 juta jiwa atau 16,58% (Maret 2007). Angka ini lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu, yaitu 39,30 juta jiwa atau 17,75% dari total penduduk. Data yang diperoleh dari sensus nasional ini cukup memuaskan, walaupun keakuratan data tersebut tetap dapat diperdebatkan.

Untuk program-program penanggulangan kemiskinan, dana diambil dari APBN tahun 2007 sebesar Rp 51 triliun. Sedangkan kebutuhan anggaran untuk 2007-2009 diperkirakan sebesar Rp 32,06 triliun. Pendanaan untuk penanggulangan kemiskinan di Indonesia terpantau meningkat, namun penyalurannya disinyalir masih tidak merata dan pengelolaan program-programnya cenderung tidak efektif. Misalkan saja Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang hingga kini pelaksanaannya tidak jelas.

“Dalam PNPM Mandiri, BLT akan disempurnakan menjadi Program Keluarga Harapan (PKH). Rencananya, besar bantuan adalah 16% rata-rata pendapatan Rumah Tangga Sangat Miskin (RSTM) per tahun dengan batas minimum dan maksimum adalah 15-25%. Program ini serta program-program serupa diharapkan efektif pelaksanaannya mulai 2009,” ujar Wahnarno.

Prinsip-prinsip PNPM Mandiri adalah pemberdayaan masyarakat yang memprioritaskan kelompok masyarakat miskin. Keterlibatan masyarakat miskin itu digalakkan dengan pendampingan yang dilakukan oleh pengawas dari berbagai level pemerintahan. Sedangkan pengambilan keputusan dilaksanakan secara sederhana di tingkat lokal, yaitu oleh masyarakat sendiri dan didanai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat luas.

PNPM Mandiri akan dilaksanakan minimal hingga 2015, sejalan dengan kesepakatan Indonesia pada tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals/MDGS). Pada 2009, seluruh kecamatan di Indonesia diharapkan sudah tersentuh oleh PNPM Mandiri.

“Tahun 2007 hingga 2009, penduduk miskin akan turun sebanyak 8% atau sekitar 3% per tahun. Saat ini baru turun 1,5% per tahun,” kata Wahnarno.

Di mata Ari Perdana, ekonom Bank Dunia di Indonesia bidang Poverty Reduction and Economic Management (PREM), PNPM Mandiri memang punya potensi yang positif. “Sebab PNPM mandiri merupakan konsolidasi dari program-program pemberantasan kemiskinan yang telah berjalan selama ini,” katanya kepada INNChannels di Jakarta, Jumat (7/12) sore.

Ia mengharapkan adanya hasil yang positif sehingga dapat memaksimalkan pemberdayaan masyarakat misalnya dari segi lapangan kerja. Namun menurut dia, PNPM Mandiri perlu di scale-up sehingga tidak hanya efektif di suatu daerah saja, namun juga daerah-daerah yang lain yang sebelumnya tidak tersentuh oleh program-program pengentasan kemiskinan.

“Sesuaikan kelemahan kegiatan yang dulu dengan yang sekarang. Intinya, kita harus belajar dari pengalaman yang lalu,” tambahnya.

Pelaksanaan PNPM Mandiri harus didasarkan pada Community Based Development. “Jadi harus langsung ditujukan ke berbagai komunitas-komunitas dalam masyarakat, bukan langsung spesifik ke penduduk miskin.” Seperti yang terjadi pada Program Pemberdayaan Kecamatan (PPK) yang sudah berjalan.

Hendaknya PNPM Mandiri dapat berjalan secara harmoni dengan program-program terdahulu, misalnya BLT, jadi ada semacam hubungan yang saling melengkapi satu sama lain agar pemberdayaan masyarakat dapat berjalan dengan lancar.

Namun, Ari mengatakan program ini harus diawasi oleh berbagai kalangan secara langsung. “Jadi misalnya dalam pendanaan harus ada transparansi,” katanya. Dana yang dialokasikan untuk PNPM Mandiri sebaiknya dikucurkan secara langsung ke komunitas-komunitas yang memerlukan tanpa banyak perantara. Sehingga tidak perlu dikhawatirkan terjadi kebocoran penyaluran dana.

Pelaksanaan PNPM Mandiri ini dilakukan di segala level pemerintahan yang juga melibatkan banyak departemen. Dalam hal ini, demi suksesnya program yang diharapkan berjalan secara efektif pada 2009 ini, perlu adanya koordinasi antara lembaga-lembaga terkait. “Sebab ini adalah program lintas departemen,” kata Ari.

Ari berharap, masyarakat Indonesia akan mampu mengatasi masalah kemiskinan secara swadaya. Carut marutnya program dan pengelolaan kemiskinan, membuat Indonesia harus segera berbenah diri. Apalagi target Indonesia pada berbagai kerjasama tingkat regional menuntut adanya kesejajaran pencapaian dan kestabilan ekonomi, yang salah satu indikatornya adalah tingkat kemiskinan. Solusi yang tepat sasaran dan tepat guna, menjadi mutlak dibutuhkan. [P1]


Sumber : http://www.innchannels.com/berita.php?id=3950

Abaikan Diri Sendiri (by Neil Eskelin)

Alexander The Great, atau yang dikenal juga dengan nama Iskandar Zulkarnain, adalah raja Romawi yang sangat terkenal dengan kepemimpinannya.

Berikut adalah salah satu cerita mengenai kepemimpinannya.
Suatu waktu Alexander The Great memimpin pasukannya melintasi gurun pasir yang panas dan kering. Setelah hampir dua minggu berjalan, ia dan pasukannya kelelahan dan hampir mati karena kehausan. Tetapi Alexander tetap memimpin pasukannya untuk terus berjalan penuh semangat. Pada siang yang terik, dua orang pasukannya datang menemui Alexander dengan membawa semangkuk air yang mereka ambil dari sebuah kolam air yang telah kerontang.

Kolam air itu kering dan hanya ada sedikit air yang tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh pasukan. Melihat hal ini, Alexander membuang air itu ke gurun pasir.

Sang Raja berkata, "Tidak ada gunanya bagi seseorang untuk minum di saat banyak orang sedang kehausan!"

Demikianlah kepemimpinan itu. Anda tidak bisa memperlakukan orang-orang anda hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan anda. Anda harus menunjukkan ketulusan dan keteguhan diri anda dengan sama-sama merasakan apa yang orang-orang anda rasakan.

(Disadur dari: Neil Eskelin, Abandon Yourself!)

Noverto Aji Prasetyo
Sales Planner

PT Frisian Flag Indonesia
Jl. Raya Bogor Km. 5 Pasar Rebo
Jakarta 13760

Phone +62 (21) 8410945, 8400611 (ext. 245)
Fax +62 (21) 8410895, 8400225

mailto:noverto.prasetyo@frieslandfoods.co.id
www.frieslandfoods.co.id

Minggu, 23 Desember 2007

Birokrasi vs Birokrasi (Sebuah Curhat)

Dalam kebijakan publik versi Vening dikatakan bahwa Kegagalan pasar dan Kegagalan Pemerintah ditambah distribusi adalah faktor yang harus dilihat dalam proses pengambilan keputusan.

Sebagai upaya peningkatan kinerja dengan mempertimbangkan faktor anggaran, setiap instansi pada Tahun 2007 diwajibkan untuk mengirimkan dokumen penyerapan anggaran ke setiap Kantor KPPN paling lambat 14 Desember 2007.

(Batas waktu tersebut ditentukan oleh KPPN dengan mempertimbangkan aspek libur nasional yang akan ditetapkan dari tanggal 20 sampai dengan 26 Desember 2007.)

Dalam rangka pemantauan dan peningkatan progress penyerapan dikirimlah berbagai staff di berbagai Satuan Kerja untuk mensosialisasikan mekanisme penyerapan anggaran dengan mempertimbangkan Perdirjen Perbendaharaan No. 66/2005, Perdirjen-perdirjen khusus yang terkait dengan Loan dan Credit tertentu serta Revisi DIPA yang ditandatangani pada awal Desember 2007.

Kami dikirim ke sebuah Provinsi Baru yang diharapkan mampu terlibat dalam proses penanggulangan kemiskinan, melalui penyerapan uang masyarakat yang dititipkan pada APBN-P. Skenario optimal yang diharapkan adalah temen2 di Provinsi tersebut akan mampu memahami proses penyerapan anggaran yang akan dilakukan.

Pada tanggal 10 Desember 2007, kami melakukan sosialisasi ke beberapa rekan kerja di provinsi tersebut. Asumsi kami, dengan berbekal Revisi DIPA serta Perdirjen Perbendaharaan mereka akan mau memproses secara optimal.

Pasca sosialisasi, kami berdiskusi mengenai mekanisme dan tata cara yang akan diambil. Bukan apa2, mekanisme melalui Perdirjen Perbendaharaan tentang salah satu Credit, dapat dilakukan dengan mekanisme SPM Ls.

Apa yang terjadi .....
Temen-temen di provinsi tidak mau melakukan optimalisasi pencairan uang masyarakat, dengan alasan Atasannya di Provinsi tersebut tidak mau melakukan pencairan dengan SPM Ls. Mereka lebih senang dengan melakukan pencairan full dokumen, padahal perdirjen perbendaharaan tentang credit tersebut tidak mesti melakukan pencairan dengan full dokumen. Apa lagi dokumen tersebut hanya diverifikasi sampai ke tingkat dinas sektoral, bukan ke Kantor KPPN.

Peraturan tinggal peraturan, yang dibuat oleh Pusat. Daerah tidak melihat itu, dengan berbagai alasan yang mengada-ngada.
Sedih sekali rasanya. Ini uang masyarakat. Uang hasil hutang kita dengan negara donor. Uang yang harus dibayar oleh anak cucu kita nantinya. Temen-temen yang melakukan penghambatan tersebut, tidak sadar berapa persen tambahan bunga yang akan terjadi dalam waktu 2 bulan, disebabkan ketidak mauan untuk melakukan pencairan dana masyarakat.

Birokrasi vs Birokrasi terjadi lagi.

Semoga hal ini tidak terulang kembali. Agar pelayanan kita terhadap masyarakat dapat lebih optimal.

Semoga

PENDEKATAN PEMAHAMAN CITRA LINGKUNGAN PERKOTAAN

Edi Purwanto
Staf Pengajar Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur – Universitas Diponegoro

ABSTRAK
Salah satu upaya untuk mencoba memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui peta mental manusia sebagai pengamat. Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, jarak dan susunan dalam lingkungan fisik (kota). Peta mental mempunyai konsep dasar yang disebut dengan imagibilitas atau kemampuan untuk mendatangkan kesan. Imagibilitas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan legibilitas, atau kemudahan untuk dapat dipamahi / dibayangkan dan dapat diorganisir menjadi satu pola yang koheren. Agar suatu kota dapat dengan mudah dipahami citranya, maka kota tersebut harus mempunyai karakter, karena karakter kota diperlukan untuk memberikan pemahanan tentang identitas kota, sesuai dengan potensi yang ada. Dalam hal ini, karakter merupakan jiwa, perwujudan watak, baik secara fisik maupun non-fisik, yang memberikan citra dan identitas kota.

Kata kunci: citra, peta mental, imagibilitas, legibilitas.

ABSTRACT
One of expediences in trying to understand the image of urban environment can be conducted by the way of
knowing the cognition map of human as the observer. Cognition maps discuss about the way the observer get, organize, store, and recall the information about location, distance and the structure of physical environment (urban). Cognition maps had a basic concept called imageability or the ability of inviting impression. Imageability has a very close correlation with legibility, or the ease of having understanding/image and can be organized into one coherent pattern. In order one city can easily understood with the image, so the city must have character because the character of a city is needed for giving understanding about the identify of city, in accordance with the exisiting potensial. In this case, the character is the soul, the realization of character, both physically and non-physically, giving some image and identity of city.
Keywords: image, cognition map, imageability, legibility

Kevin Lynch dalam bukunya yang terkenal dengan judul “The Image of The City” (1960) telah melakukan penelitian tentang citra kota di kota-kota : Boston, New Jersey dan Los Angeles. Pada perkembangan selanjutnya penelitian Kevin Lynch dilanjutkan oleh beberapa peneliti lain di kota-kota Amerika Utara dan Eropa (Pocock, 1987) dengan tetap menggunakan metode yang sama seperti yang digunakan oleh Kevin Lynch.
Tulisan ini disusun oleh penulis berdasarkan beberapa studi kepustakaan yang berkaitan dalam rangka memberikan wawasan kepada calon peneliti di Indonesia yang berminat untuk mengembangkan penelitian pemahaman citra kota. Dengan demikian munculnya pertanyaan yang timbul dalam benak seorang calon peneliti bagaimana suatu kota yang telah direncanakan dan dirancang oleh ahlinya dapat dipahami oleh masyarakat luas akan dapat dilakukan dengan mudah.


PENDEKATAN TEORI
1. Upaya pemahaman kota
Lingkungan fisik kota terbentuk oleh berbagai unsur tiga dimensi: sifat rancangan; lokasi dan kaitan posisi elemen satu dengan elemen lainnya, merupakan faktor penentu kejelasan ciri-sifat lingkungan tersebut (Sudrajat, 1984). Meskipun unsur pembentuk lingkungan perkotaan di berbagai tempat pada dasarnya relatif sama, tetapi susunannya selalu berlainan, sehingga bentuk, struktur dan pola lingkungan yang dapat dipahami dan dicerna manusia pada tiap lingkungan kota senantiasa berbeda-beda.

Dibandingkan dengan bentuk lingkungan binaan yang lain, ciri khas kota sebagai karya arsitektur tiga dimensi terletak pada konstruksi keruangannya yang mempunyai skala luas dan rumit. Kota, selain sebagai obyek persepsi dan tempat berperilaku warga yang beraneka ragam, juga merupakan sasaran tindakan para perencana dan perancang kota yang secara langsung ataupun tidak langsung mengubah struktur kota berdasarkan alasannya masing-masing, sehingga meskipun lingkungan perkotaan secara garis besar nampak selalu mantap dan utuh, dalam kenyataannya senantiasa mengalami perubahan didalamnya.

Hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan perkotaan merupakan proses dua arah yang konstruktif, didukung baik oleh cirisifat yang dapat memberikan image (citra) lingkungan, maupun oleh ciri-sifat kegiatan dan kejiwaan manusia. Dalam hubungan timbal balik tersebut, lingkungan perkotaan tampil dengan ciri-sifat sebagai berikut (Ittleson dalam Sudrajat, 1984):

  1. Lingkungan perkotaan selalu terbuka,
  2. Lingkungan perkotaan selalu beraneka ragam,
  3. Lingkungan perkotaan selalu memberikan informasi secara langsung maupun tidak langsung,.
  4. Lingkungan perkotaan selalu menyajikan informasi berlebih,
  5. Lingkungan perkotaan selalu menyertakan tindakan,
  6. Lingkungan perkotaan dapat membangkitkan tindakan,
  7. Lingkungan perkotaan selalu memiliki atmosfir,
  8. Lingkungan perkotaan selalu memiliki kualitas sistemik ,

Upaya pemahaman lingkungan perkotaan dapat dijelaskan melalui model kerja yang terdiri dari lima komponen (Sudrajat, 1984), yaitu: (1) komponen lingkungan perkotaan; (2) ciri-sifat manusia sebagai pengamat; (3) matra hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan; (4) citra lingkungan; dan (5) tujuan utama pemahaman lingkungan perkotaan.
Upaya pemahaman citra kota bagi pemenuhan kebutuhan, kelangsungan dan kesejahteraan hidup manusia mempunyai empat tujuan utama, yaitu:
  1. Rekognisi, untuk dapat mengetahui dimana manusia berada, apa yang tengah terjadi, dan untuk mengenali obyek umum yang ada disekitarnya.
  2. Prediksi, untuk dapat meramalkan apa yang mungkin atau akan terjadi.
  3. Evaluasi, untuk dapat menilai kualitas, kondisi, situasi, dan prospek keluaran.
  4. Tindakan, untuk dapat menyusun alternatif tindakan dan memutuskan apa yang akan atau harus dilakukan.
Keempat tujuan utama pemahaman citra perkotaan diatas dibutuhkan manusia sebagai pengamat dalam memenuhi tuntutan kecenderungannya untuk selalu: menafsirkan peristiwa baru ke dalam peristilahan yang sederhana dan sudah dikenal, melakukan kategori penilaian, membuat pembedaan, penentuan dan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan perkotaannya.

2. Hubungan antara Manusia dengan Lingkungannya
Holahan (1982), menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungan yang menurutnya bersifat saling menyesuaikan dan dengan kemampuan kognisi yang dipunyainya, manusia selalu berikhtiar untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya. Rapoport (1982) berpendapat bahwa para perancang cenderung bereaksi terhadap lingkungan dengan istilah persepsual, sedangkan publik menikmati dan para pemakai bereaksi terhadap lingkungan dengan istilah assosiasional.

Aspek persepsual adalah isyarat yang mulamula diperhatikan dan diperbedakan. Aspek assosiasional mengambil persamaan diantara isyarat-isyarat dan memakainya dengan hubungan yang bermanfaat atau penggabungan bermanfaat. Proses dasar yang menyangkut interaksi manusia dengan lingkungannya adalah informasi tentang lingkungan yang diperoleh melalui proses persepsi (Lang, 1987).

a. Persepsi
Persepsi dapat diartikan sebagai pengamatan yang secara langsung dikaitkan dengan suatu makna tertentu. Proses yang melandasi persepsi berawal dari adanya informasi dari lingkungan. Rapoport (1982) berpendapat bahwa persepsi menggambarkan pengalaman langsung indera manusia terhadap lingkungan bagi mereka yang ada didalamnya dalam waktu tertentu. Tidak semua rangsang (informasi) diterima dan disadari oleh individu, melainkan diseleksi berdasarkan orientasi nilai yang dimilikinya dan juga pengalaman pribadi. Keseluruhan informasi yang telah menyatu menjadi sesuatu yang utuh, kemudian diberi tafsiran (interpretasi makna), antara lain atas dasar orientasi nilai dan pengalaman pribadi individu. keluaran keseluruhan proses ini adalah pengangkapan/ penghayatan. Antara seleksi, pembualatan dan tafsiran menjadi hubungan ketergantungan (interdependen), namun ciri khas individualnya diperoleh dari orientasi nilai dan pengalaman pribadi.

b. Kognisi
Menurut Rapoport (1982), kognisi adalah cara yang digunakan manusia untuk menjelaskan bagaimana manusia memahami, menyusun dan mempelajari lingkungan dan menggunakan petapeta mental untuk menegosiasikannya. Berdasarkan definisi tersebut, yang ada pada individu manusia sebenarnya satu sistem kognisi. Sistem tersebut merupakan hasil proses kognitif yang terdiri dari kegiatan-kegiatan :
  1. Persepsi;
  2. Imajinasi;
  3. Berfikir (thinking);
  4. Bernalar (reasoning); dan
  5. Pengambilan keputusan.
3. Peta kognitif dan pemetaan kognisi
Peta mental mempunyai pengertian yaitu satu upaya pemahaman suatu tempat khususnya terhadap kota. Istilah diatas berpegang kepada definisi dan teori yang dirintis oleh David Stea dan Roger Down. Mereka mendefinisikan satu pengertian:

"Proses yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi relatif dan tanda-tanda tentang lingkungan
geografis kita" (Holahan, 1982).


Peta mental merupakan proses aktif yang dilakukan oleh pengamat, oleh karena itu penghayatan pengamat terhadap lingkungan perkotaan terjadi secara spontan dan langsung. Spontanitas tersebut terjadi karena pengamat selalu menjajaki (eksplorasi) lingkungannya dan dalam penjajakan itu pengamat melibatkan setiap
obyek yang ada di lingkungannya dan setiap obyek menonjolkan sifat-sifatnya yang khas untuk pengamat bersangkutan.
Holahan (1982), menyebutkan bahwa peta mental sebagai komponen dasar dalam manusia beradaptasi dengan lingkungan kotanya. Disamping itu peta mental dipandang sebagai persyaratan baik untuk kelangsungan hidup manusia maupun untuk perilaku spasial setiap harinya, dinayatakan pula bahwa peta mental adalah representasi individu yang tertata dari beberapa bagian lingkungan geografisnya.

Daya cipta akibat proses penghayatan, pengamatan dan pengenalan (kognisi) lingkungan kota terbentuk atas unsur-unsur yang diperoleh dari pengalaman langsung, apakah seseorang telah mendengar mengenai suatu tempat, dan dari informasi yang dia bayangkan (Neiser dalam Lang, 1987). Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pengamat tidak hanya seorang yang tinggal dan berada di dalam kota tertentu, dapat juga seorang pengamat yang tidak tinggal di kota tersebut tetapi mengetahui cukup banyak tentang kota tersebut apakah dari pengalaman langsung atau mendengar berdasarkan informasi tertentu sehingga ia mencoba untuk membayangkan. Informasi yang diperoleh melalui pengalaman langsung disebut dengan informasi pratama, menyajikan pengetahuan lingkungan perkotaan secara teraga kepada pengamat.

Sedangkan informasi yang diperoleh melalui komunikasi disebut sebagai informasi dwitia, meyajikan pengetahuan lingkungan perkotaan secara simbolik kepada pengamat, yang isinya merupakan pelaporan atau penilaian pengalaman orang lain tentang suatu tempat atau suatu ruang (Sudrajat, 1984).

Milgram, Evans, Lee, Michelson, Orleans dan Appleyard (dalam Holahan, 1982) mencoba untuk mengadakan penelitian pemahaman kota dengan menekankan kepada perbedaan kemampuan individual pengamat. Hasilnya adalah terdapat korelasi yang sangat erat antara sistem aktivitas individual dengan daya kognisi yang dimiliki individual tentang lingkungan fisiknya. Kemampuan individu pengamat dalam menghayati, memahami dan mengenali kota selalu berbeda-beda. Faktor-faktor yang membedakan antara lain:
1). Gaya hidup
2). Keakraban dengan kondisi lingkungan
3). Kekraban sosial
4). Kelas sosial
5). Perbedaan seksual

Masalah yang umum dalam pemetaan kognitif adalah "memberi nilai" detail dari gambaran tentang areal (konteks) yang dipersoalkan (sebuah lingkungan perkotaan). Kerancuan ini seringkali membuat realibilitas
rendah didalam "pemberian nilai" tersebut. Kerancuan lain adalah bahwa beberapa pengamat tidak menggambar "peta-peta"-nya dengan cukup baik untuk menginterpretasikan apa yang dimaksud. Bechtel (1987) memberi petunjuk bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini adalah melatih para peneliti yang menyimpulkan data dalam hal kejelasan dan konsistensi terhadap apa yang disimpulkan. Sedangkan Pocock (1978) memberi petunjuk bahwa akurasi hasil pemetaan kognitif seyogyanya tidak mendasarkan kepada pembuatan sketsa peta saja namun pengamat diberikan stimulus terlebih dahulu agar daya cipta tentang suatu lingkungan fisik tertentu dapat diingat, dihayati dan dikenali dengan lebih baik.

Menurut Bechtel (1987), responden/pengamat yang terlibat dalam penelitian pemahaman lingkungan (kota) disebut dengan isitilah "research participants", digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Mahasiswa yang berasal dari universitas (university samples), terdiri dari :
1). Mahasiswa bagian arsitektur, desain dan perencanaan;
2). Mahasiswa diluar bagian tersebut diatas
b. Kelompok ahli lingkungan (environmental professionals)
c. Warga yang bertempat tinggal (community samples)

4. Hubungan citra kota dengan identitas dan karakter kota
Menurut Pocock (1978), citra adalah merupakan hasil dari adaptasi kognitif terhadap kondisi yang potensial mengenai stimulus pada bagian kota yang telah dikenal dan dapat dipahami melalui suatu proses berupa reduksi dan simplifikasi. Lynch (dalam Pocock, 1978), berpendapat bahwa citra merupakan suatu senyawa dari atribut-atirbut dan pengertian fisik, tetapi secara sengaja memilih untuk berkonsentrasi pada fungsi bentuk, dengan mengembangkan hipotesis bahwa pengatahuan manusia mengenai kota merupakan fungsi dari imageabilitasnya. Citra kota ditentukan oleh pola dan struktur lingkungan fisik yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor: sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, adat isitiadat serta politik yang pada akhirnya akan berpengaruh pula dalam penampilan (performance) fisiknya.

Menurut Budihardjo (1991), terdapat 6 tolok ukur yang sepantasnya digunakan dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan citra kota , yaitu :
1). Nilai kesejarahan; baik dalam arti sejarah perjuangan nasional (Gedung Proklamasi, Tugu Pahlawan) maupun sejarah perkembangan kota (Kota Lama di Semarang, Kawasan Malioboro di Yogyakarta)
2). Nilai arsitektur lokal/tradisional; (terdapat keraton, rumah pangeran)
3). Nilai arkeologis; (candi-candi, benteng)
4). Nilai religiositas; (masjid besar, tempat ibadah lain)
5). Nilai kekhasan dan keunikan setempat; baik dalam kegiatan sosial ekonomi maupun sosial budaya
6). Nilai keselarasan antara lingkungan buatan dengan potensi alam yang dimiliki.

Kualitas fisik yang diberikan oleh suatu kota dapat menimbulkan suatu image yang cukup kuat dari seorang pengamat. Kualitas ini disebut dengan imageability (imagibilitas) atau kemampuan mendatangkan kesan. Imagibilitas mempunyai hubungan yang sangat erat dengan legibility (legibilitas), atau kemudahan untuk dapat dipamahi/dikenali dan dapat diorganisir menjadi satu pola yang koheren.

Citra terhadap suatu kota berkaitan erat dengan tiga komponen, yaitu: identitas dari beberapa obyek/elemen dalam suatu kota yang berkarakter dan khas sebagai jatidiri yang dapat membedakan dengan kota lainnya; struktur, yaitu mencakup pola hubungan antara obyek/elemen dengan obyek/elemen lain dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada; makna merupakan pemahaman arti oleh pengamat terhadap dua komponen (identitas dan struktur kota) melalui dimensi: simbolik , fungsional, emosional, historik , budaya, politik
(Sudrajat,1984).
".......... kota yang begitu mudah untuk dibayangkan ketinggian daya cipta yang ada didalamnya serta kehidupan sekitarnya dan kompleks gedung-gedungnya atau interior gedung-gedungnya adalah salah satu hal yang dianggap sebagai sistem komponen yang terstruktur secara baik yang saling berkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya" (Lynch dalam Lang, 1987).

Mengacu telaah teori Lynch, suatu bentuk kota merupakan produk dari konsep keteraturan berupa geometri dan organik , sedang falsafah yang mendasari adalah orientasi, dan orientasi dapat terbentuk melalui waktu dan jarak. Kota akan lebih tepat bila dipandang sebagai suatu loka (loci, place, tempat). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kota tersebut menyediakan ruang (space) untuk kegiatan, untuk orientasi, disamping mempunyai karakter (character) sebagai jiwa tempat, untuk identifikasi (Schulz, 1980). Karakter yang spesifik dapat membentuk suatu identitas, yang merupakan suatu pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah perkotaan, yang secara umum disebut a sense of place.

Identitas kota menurut Kevin Lynch :
".... tidak dalam arti keserupaan suatu obyek dengan yang lain, tetapi justru mengacu kepada makna individualitas yang mencerminkan perbedaannya dengan obyek lain serta pengenalannya sebagai entitas tersendiri" (Lynch, 1960)
" .... identitas kota adalah citra mental yang terbentuk dari ritme biologis tempat dan ruang tertentu yang mencerminkan waktu (sense of time), yang ditumbuhkan dari dalam secara mengakar oleh aktivitas
sosial-ekonomi-budaya masyarakat kota itu sendiri (Lynch, 1972).


Inti dari penelitian Lynch berkaitan dengan pengidentifikasian berbagai elemen struktur fisik sejumlah kota yang menjadikan kota-kota tersebut menjadi dapat digambarkan dan dibayangkan citranya. Lynch (1960) menyimpulkan bahwa ada lima kategori elemen yang dipergunakan orang untuk menstrukturkan
gambaran kognisi dari sejumlah tempat.

Elemen-elemen dasar tersebut adalah:

a. Tanda-tanda yang Mencolok (Landmark)
Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena mereka membantu orangorang untuk mengarahkan diri dan mengenal suatu daerah dalam kota. Sebuah landmark yang baik adalah elemen yang berbeda tetapi harmonis dalam latar belakangnya. Termasuk dalam kategori landmark adalah: gedung, patung, tugu, jembatan, jalan layang, pohon, penunjuk jalan, sungai dan lampu-lampu hias.
Menurut Portoeous (1977) (dalam Lang, 1987), landmark adalah merupakan rujukan (referensi) yang merupakan tanda-tanda atau petunjuk eksternal bagi para pengamat dan itu dibuat secara tunggal karena mempunyai maksud agar mudah dibedakan secara visual dengan yang lainnya.

b. Jalur-jalur Jalan (path)
Adalah jalur-jalur sirkulasi yang digunakan oleh orang untuk melakukan pergerakkan. Sebuah kota mempunyai jaringan jalur utama (major routes) dan sebuah lingkungan (minor routes). Sebuah bangunan mempunyai beberapa jalur utama yang digunakan untuk mencapainya dan bergerak darinya. Sebuah jaringan jalan raya kota adalah jaringan pathway untuk seluruh kota.

c. Titik Temu antar Jalur (nodes)
Sebuah nodes adalah pusat aktivitas yang sesungguhnya adalah sebuah tipe dari landmark tetapi berbeda karena fungsinya yang aktif. Nodes dapat juga berupa perempatan atau pertigaan.

d. Batas-batas Wilayah (edges)
Edges membedakan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya, misalnya daerah pemukiman dibatasi oleh sungai, daerah pertokoan dibatasi oleh gerbang-gerbang tol menuju tempat parkir, atau pagar lapangan golf yang luas membatasi wilayah perindustrian terhadap wilayah pemukiman.

e. Distrik (district)
Distrik adalah wilayah-wilayah homogen yang berbeda dari wilayah-wilayah lain, misalnya pusat perdagangan ditandai oleh bangunan-bangunan bertingkat dengan lalu-lintas yang padat dan daerah-daerah kantor-kantor kedutaan besar negara asing ditandai oleh rumahrumah besar dengan halaman-halaman luas serta jalan-jalan lebar bertipe boulevard (dengan taman atau pohon-pohon di jalur tengah) serta kawasan khusus atau bersejarah yang terdiri dari sekumpulan bangunan-bangunan kuno/bersejarah.

Suatu kontribusi khusus dari teori Gestalt mengenai pemahaman lingkungan merupakan aplikasi dari "prinsip-prinsip organisasi" yang melandasinya yang memungkinkan individu pengamat untuk melihat suatu kumpulan stimuli tersendiri sebagai satu pola yang holistik (Pocock, 1978).

Gambaran tentang teori organisasi visual Gestalt dapat diperinci sebagai berikut (Pocock, 1978):
  1. Proksimitas, memungkinkan individu pengamat untuk melihat elemen-elemen yang secara spasial dekat satu dengan yang lainnya apabila dikaitkan dalam satu pola;
  2. Similaritas, memungkinkan individu pengamat untuk melihat elemen-elemen yang serupa (mirip) dalam bentuk atau warnanya apabila dikaitkan dalam satu pola;
  3. Kontinuitas, memungkinkan individu pengamat untuk melihat beberap elemen yang dikelompokkan bersama-sama dalam satu barisan;
  4. Closure, memungkinkan individu pengamat untuk melihat elemen-elemen yang membentuk gap-gap kecil tertutup pada suatu kawasan dan melihatnya sebagai satu kesatuan.
Penggunaan hukum Gestalt mengenai organisasi visual dapat menjelaskan observasi Lynch tentang peta-peta kognitif. Path dan edges merupakan elemen-elemen kelanjutan (kontinuitas), district dapat dijelaskan sebagai elemen kedekatan dan kesamaan (proksimitas dan similaritas), sedangkan landmark terdiri dari sejumlah elemen yang tidak serupa atau berbeda dengan lingkungan sekitarnya (disimilaritas). Nodes sulit untuk dijelaskan dengan menggunakan terminologi hukum Gestalt, namun dalam keadaan tertentu nodes dapat dianalogikan sebagai district dalam skala lebih sempit (Lang, 1987).

Dari keseluruhan penelitian tentang peta mental dan orientasi manusia dalam tatanan lingkungan membuktikan bahwa teori organisasi visual Gestalt adalah merupakan pemerkira (prediktor) terhadap gambaran rinci (feature) dari sebuah kota yang mempunyai pengaruh penting bagi orang-orang yang akan mediami atau menyelidiki tentang elemen-elemen dan sistem yang terdapat dalam kota tertentu (

5. Aspek Pengukuran dalam Pemahaman Citra (image) Kota
Kemampuan pengamat dalam memahami citra (image) suatu kota selalu berbeda atau bersifat subyektif, karena daya kognisi sangat tergantung kepada pengalaman, akibatnya muncul masalah tentang cara pengukuran, dalam hal ini terdapat beberapa pendekatan, yaitu:
  1. Pendekatan fenomenologis, yaitu mengadakan telaah deskriptip dari pengalaman pengamat dalam menghayati suatu lingkungan kota;
  2. Pendekatan Fungsional, yaitu pengukuran laboratoris terhadap pengamat yang diberikan stimulus. Pendekatan ini bersifat kuantitatif;
  3. Gabungan pendekatan fenomenologis dan fungsional disebut dengan mekanisme persepsi kognisi.
Salah satu cara yang bermanfaat untuk melihat pada persoalan-persoalan mengenai interaksi pengamat dan lingkungan kota adalah dengan memandang pengukuran penghayatan citra (image) kota sebagai suatu proses pertanda (Rieser dalam Pocock, 1978). Dalam hal ini mengharuskan pengukuran pemahaman citra (image) dipandang sebagai suatu reaksi terhadap susunan stimuli tertentu. Mode presentasi dapat sangat bervariasi dalam bentuk dan derajat penstrukturannya.

Secara mendasar terdapat dua macam tipe pertanda (sign process) apabila berkaitan dengan stimuli, yaitu (Pocock, 1978):
a. Sinyal, merupakan stimulus langsung dari lingkungan; pengamat pada dasarnya berada di lapangan. Namun demikian terdapat kendala dan masalah yang berat yang berasosiasi dengan pendekatan ini, baik teknis maupun finansial;
b. Simbol, merupakan pengganti untuk sinyal secara langsung, sebagai contoh simbol dapat berupa foto, peta, sketsa atau label verbal yang berkaitan dengan suatu area atau tempat. Simbol digunakan untuk membangkitkan respon pengamat.

Craig (dalam Pocock, 1987), merumuskan adanya tipologi pada metode-metode presentasi stimulus yang disajikan kepada pengamat dalam pemahaman citra kota, yaitu:
  1. Realitas, pengamat dibawa ke lokasi untuk memberikan respon dan pengenalan terhadap obyek-obyek tertentu di kawasan tersebut.
  2. Ikonis, dengan cara memperlihatkan suatu seleksi dari sejumlah foto-foto area, pengamat diminta untuk mengenali obyek-obyek yang terdapat dalam foto tersebut;
  3. Grafis, dengan cara membuat sketsa-sketsa peta terhadap area kota dengan sedikit mengendalikan interpretasi pengamat mengenai jarak dan bentuk;
  4. Verbal, suatu cara penyingkapan dalam area aktual, menggunakan sejumlah pertanyaan yang diajukan terhadap pengamat yang menyangkut pengalaman/pengetahuan tentang area-area tertentu;

KESIMPULAN
Hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan perkotaan merupakan proses dua arah yang konstruktif, didukung baik oleh cirisifat yang dapat memberikan image (citra) lingkungan, maupun oleh ciri-sifat kegiatan dan kejiwaan manusia.
Salah satu upaya untuk mencoba memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara mengetahui peta mental manusia sebagai pengamat. Peta mental mempersoalkan cara pengamat memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan mengingat kembali informasi tentang lokasi, jarak dan susunan dalam lingkungan kota.
Citra terhadap suatu kota berkaitan erat dengan tiga komponen, yaitu: identitas dari beberapa obyek/elemen dalam suatu kota yang berkarakter dan khas sebagai jatidiri yang dapat membedakan dengan kota lainnya; struktur, yaitu mencakup pola hubungan antara obyek/ elemen dengan obyek/elemen lain dalam ruang kota yang dapat dipahami dan dikenali oleh pengamat, struktur berkaitan dengan fungsi kota tempat obyek/elemen tersebut berada; makna merupakan pemahaman arti oleh pengamat terhadap dua komponen (identitas dan struktur kota) melalui dimensi: simbolik , fungsional, emosional, historik , budaya, politik .
Penelitian tentang citra kota menjadi sangat penting untuk mengetahui apakah produk rancangan suatu kota berhasil/tidak berhasil dipahami oleh masyarakat luas sebagai pengamat.

bagus ardian, 6 September 2007, jam 17:28:48
dari : http://www.p2kp.org/forumdetil.asp?mid=29829&catid=23&

Model Pengembangan Rantai Pasok Rumput Laut oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guna Pemenuhan Kebutuhan Rumput Laut Dan Produk Turunannya

Denny Noviansyah Abstrak Indonesia sebagai negara Maritim mempunyai Panjang pantai seluas 95.181 km 2 . Pesisir pantai mempunyai berbagai je...